Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebatas Pengganti 04

**Seminggu kemudian, di kediaman keluarga Pratama...**

Arinta Pratama bergegas ke ruang tamu dengan napas yang terengah. Ponsel masih tergenggam erat di tangannya, seolah suara yang baru saja ia dengar masih terpantul di telinganya. Rasa tidak percaya bercampur harapan membuat tubuhnya sedikit gemetar.

"Papa, Adrian masih hidup!" serunya lantang, suaranya pecah oleh emosi yang tak terbendung.

Narendra Pratama, yang tengah duduk di kursi kulit hitam di ruang kerja, tertegun mendengar teriakan istrinya. Ia menurunkan koran yang sedang dibacanya, pandangannya langsung tertuju pada Arinta yang berdiri di ambang pintu dengan mata membelalak penuh air mata.

"Apa maksud Mama?" tanya Narendra dengan nada yang berat, tapi juga penuh keraguan. Sudah berbulan-bulan sejak kecelakaan itu, dan harapan mereka untuk menemukan Adrian hidup semakin tipis.

Arinta menggigit bibirnya, mencoba menahan gelombang emosi yang nyaris meluap. Ia menatap Narendra dengan mata berkilat-kilat. "Adrian, Pa," suaranya pecah lagi. "Dia baru saja menelepon Mama... dia minta kita jemput dia..."

Ruangan tiba-tiba terasa lebih sempit bagi Narendra. Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi ia tetap berusaha berpikir rasional di tengah badai yang dirasakan Arinta. "Kamu yakin itu suara Adrian?" Narendra berdiri dari kursinya, menghampiri Arinta. Wajahnya dipenuhi kecemasan, tapi sorot skeptis di matanya tak bisa disembunyikan. "Atau... mungkin itu cuma seseorang yang berpura-pura? Banyak penipu di luar sana yang tahu situasi kita, Arinta."

Arinta menggeleng kuat-kuat, air mata mulai mengalir di pipinya. "Tidak, Pa! Itu Adrian! Suaranya... suaranya begitu jelas... begitu familiar..." Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Mama tahu suara anak kita, Pa. Itu Adrian... dia masih hidup!"

Narendra mendekat, menggenggam bahu istrinya yang gemetar. Mata mereka bertemu, saling mencari kepastian yang sebenarnya sulit mereka temukan. Pikiran Narendra berputar dengan kecepatan yang memusingkan. "Jika itu benar-benar Adrian..." gumamnya, mencoba menenangkan dirinya sendiri.

Arinta menatap Narendra dengan penuh harap, seolah-olah dia memohon agar suaminya mempercayai intuisi seorang ibu. "Kita harus segera menjemputnya, Pa. Dia bilang dia ada di sebuah tempat, jauh dari sini, di sebuah desa terpencil. Adrian butuh kita..."

Narendra menatap ponsel di tangan istrinya sejenak, lalu pandangannya kembali pada wajah Arinta yang penuh keyakinan. Ia tahu, meski ada keraguan, suara yang ia dengar dari istrinya bukanlah kebingungan. Itu harapan yang membara—harapan yang hanya seorang ibu bisa miliki.

"Apa dia bilang di mana tepatnya?" Narendra akhirnya bertanya, suaranya lebih lembut namun penuh dengan tekad.

Arinta mengangguk cepat. "Dia tidak memberi tahu secara rinci, tapi dia bilang akan menelepon lagi nanti... untuk memberitahukan lokasinya."

Narendra menghela napas panjang, seolah sedang mencoba mengangkat beban yang tak terlihat dari bahunya. Meski hatinya masih ragu, ada sesuatu dalam kata-kata Arinta yang membuatnya ingin percaya. Percaya bahwa keajaiban itu mungkin terjadi.

"Baiklah," Narendra berkata dengan nada yang lebih tegas, meski matanya masih menyiratkan keraguan. "Kita akan menunggu telepon berikutnya. Jika itu benar Adrian... kita akan segera menjemputnya."

Arinta tersenyum lemah, rasa lega perlahan menyusup di tengah kegelisahannya. Dia menarik napas panjang, menggenggam tangan Narendra dengan erat. "Terima kasih, Pa," ucapnya lirih.

Narendra menatap istrinya, hatinya diliputi kecamuk emosi. Mungkin, hanya mungkin, putra mereka benar-benar masih hidup.

Setelah panggilan kedua dari Adrian, keputusan Arinta dan Narendra sudah bulat. Mereka tidak akan menunda lebih lama. Dengan beberapa pengawal setia di belakang, mereka mulai berangkat ke alamat yang disebutkan oleh Adrian. Mobil-mobil mewah melaju kencang menembus gelapnya malam, membawa harapan dan rasa rindu yang tak tertahankan.

Sementara itu, di rumah Pak RT, Adrian duduk di teras kayu, menatap kosong ke arah hutan yang gelap di kejauhan. Udara malam menusuk dingin, dan di dalam hatinya, ada rasa perih yang tak bisa ia pahami. Bukan karena ketidakpastian nasibnya, tapi karena kepergian yang akan segera tiba.

"Rindi..." bisik Adrian pada dirinya sendiri, bayangan gadis itu muncul di benaknya. Dengan berat hati, ia tahu, tak ada pilihan lain. Ia harus pergi. Tapi meninggalkan Rindi terasa lebih sulit dari yang ia duga.

Di dalam rumah, Rindi duduk di samping meja kecil dengan wajah kosong, menatap cahaya redup dari lampu minyak. Ada perasaan aneh yang menggantung di hatinya, semacam kehampaan yang perlahan mulai menyelimuti.

Saat Adrian mendekatinya, Rindi mengangkat kepalanya. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, keheningan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang pernah mereka ucapkan.

"Maafkan aku," kata Adrian dengan suara serak, menghampiri Rindi. "Aku tidak bisa mengenalkanmu pada kedua orang tuaku untuk saat ini. Mereka tidak akan mengerti. Tapi... aku berjanji, aku akan kembali. Suatu hari nanti."

Rindi tersenyum lemah, meskipun hatinya terasa hampa. "Tidak masalah, Tuan," jawabnya dengan nada lembut. "Bisa menolongmu hingga saat ini saja sudah membuatku senang." Tapi di balik senyumnya, ada rasa kehilangan yang mulai meresap.

Mereka berdua terdiam, suara angin malam yang berdesir di antara pepohonan hutan mengisi keheningan. Rindi tahu, janji Adrian bukanlah janji yang bisa ia pegang erat. Tapi ia memilih untuk mempercayainya—meskipun dalam hatinya, ia sadar, pertemuan mereka mungkin takkan pernah sama lagi.

Waktu berlalu, hingga akhirnya deru mobil-mobil terdengar memasuki halaman rumah Pak RT. Cahaya lampu mobil memecah gelap, membanjiri rumah kecil itu dengan sorotan terang yang tiba-tiba.

"Adrian! Anakku!" Teriak Arinta dengan suara bergetar, seolah ketakutan bahwa apa yang dilihatnya hanyalah ilusi. Dia berlari ke arah Adrian, memeluknya dengan erat seolah tak ingin melepasnya lagi.

Narendra menyusul, meski lebih tenang, tapi jelas ada kekhawatiran yang tersirat dalam tatapannya. "Adrian," sapanya pelan, menatap putranya dengan penuh kelegaan.

Sementara itu, Rindi, yang menyaksikan momen itu dari sudut rumah, perlahan beringsut mundur. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan keluarga itu dengan keberadaannya. Perlahan, tanpa suara, dia meninggalkan halaman rumah Pak RT, berjalan kembali ke gubuknya yang sunyi di tengah hutan. Angin malam menghembus lembut, seakan membisikkan kepergian Adrian di telinganya.

Setelah cerita panjang dan berbagai ucapan terima kasih, Adrian bersiap pulang bersama kedua orang tuanya. Matanya menatap sekeliling, seolah sedang mencari sesuatu yang tidak ia temukan.

Pak RT, yang memahami gelisahnya Adrian, mendekatinya dan berbisik, "Saya dan Bu Bidan meminta maaf jika ada salah selama ini."

Adrian menatap Pak RT, menggeleng pelan. "Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pak," balasnya, tapi ada sesuatu yang lain yang ia ingin tahu. "Ke mana Rindi? Kenapa aku tidak mendengar suaranya?" tanyanya pelan, seolah takut ada yang mendengar selain Pak RT.

Pak RT tersenyum tipis dan menjawab dengan berbisik juga, "Dia sudah pulang... ke gubuk."

Adrian terdiam sejenak, hatinya berdesir mendengar jawaban itu. Dia tahu, meninggalkan Rindi adalah keputusan yang tak bisa dihindari. Tapi rasa bersalah dan janji yang terucap masih menggantung di antara mereka, seperti malam yang tak pernah benar-benar gelap. Sebelum masuk ke dalam mobil, Adrian menatap sejenak ke arah jalan setapak yang menuju hutan, seolah berharap bisa melihat bayangan Rindi di sana.

Tapi tidak ada. Hanya gelap dan sunyi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel