Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebatas Pengganti 05

Keluarga Pratama merayakan kepulangan Adrian dengan haru. Meski kenyataan pahit harus mereka hadapi—Adrian kini buta—tetapi sukacita atas keselamatannya mengalahkan segalanya. Senyum tipis selalu terlihat di wajah Arinta, meski matanya tak bisa menyembunyikan kekhawatiran yang mendalam.

Kepulangan Adrian disambut dengan hangat, tetapi dalam diam, mereka menyimpan rahasia besar tentang kebutaannya. Publik tak tahu, dan keluarga Pratama sepakat untuk merahasiakan kondisi Adrian. Setidaknya, hingga waktu yang tepat tiba—walaupun mereka sadar, kebutaan Adrian tak mungkin selamanya disembunyikan. Sebagai pewaris keluarga Pratama, Adrian harus kembali bertemu dengan kolega-kolega bisnisnya, dan kondisi ini akan menjadi pertanyaan besar nantinya.

Di tengah kesibukan, Sela, kekasih Adrian, datang dengan langkah cepat dan penuh percaya diri. Tubuhnya dibalut gaun mewah, rambutnya ditata sempurna. Senyum di wajahnya tampak cerah, tetapi bagi Adrian, senyum itu tidak lagi sama.

"Sayang! Akhirnya kamu kembali! Aku merindukanmu!" Sela berteriak kegirangan sambil menghambur ke dalam pelukan Adrian.

Adrian tersenyum pahit, meskipun mata kosongnya tidak melihat wajah wanita yang pernah ia cintai. "Rindu?" Suaranya datar, penuh sarkasme. "Apa kamu yakin?"

Sela tersentak mendengar nada suaranya, tapi tetap berusaha tersenyum. "Sayang, tentu saja aku merindukanmu. Aku sangat khawatir," jawabnya dengan lembut, meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya.

Adrian menggeleng pelan, melepaskan pelukan Sela dengan halus namun tegas. "Tidak perlu berusaha bersandiwara di depanku, Sela. Aku tahu semuanya." Napasnya terasa berat saat ia melanjutkan. "Aku tahu tentang perselingkuhanmu... Tega kau lakukan itu ketika hari pernikahan kita sudah ditetapkan."

Wajah Sela berubah, ekspresinya menegang. Ia tidak menyangka Adrian mengetahui rahasia gelapnya. Sebelum sempat berbicara lebih jauh, suara langkah terdengar dari arah pintu.

"Sela! Sudah lama di sini?" Suara lembut Arinta memecah ketegangan. Ia baru saja keluar dari kamarnya, menatap ke arah Sela dengan tatapan lembut namun penuh pengamatan.

Sela buru-buru merapikan gaunnya, seolah mencoba menyembunyikan kegugupan. "Baru saja, Tante. Aku langsung ke sini begitu Gandi memberi tahu kalau Adrian sudah kembali," jawabnya, berusaha tenang.

Gandi, sahabat dekat Adrian sekaligus asistennya, adalah orang yang pertama memberi kabar kepulangan Adrian kepada semua kolega dan kerabat.

"Iya, Tante sangat bersyukur Adrian bisa kembali, meski dalam keadaan yang... berbeda." Arinta melirik Sela sejenak, ingin melihat bagaimana reaksi gadis itu ketika tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan dari publik. "Adrian sekarang... buta."

Kata-kata itu menghempas seperti angin dingin di ruangan. Sela terkejut. "Buta? Adrian... buta?" Suaranya bergetar, hampir tak percaya.

"Iya," jawab Arinta, kali ini lebih tegas. "Kecelakaan itu membuatnya kehilangan penglihatannya."

Sela terdiam, wajahnya berubah pucat. "Dan... dan apakah ada harapan... untuk pulih?" tanyanya ragu.

Narendra, ayah Adrian, yang baru saja bergabung dalam percakapan, menatap Sela dengan dingin. "Kami sudah berusaha mencari donor mata yang cocok," jawabnya singkat, "tapi sampai sekarang, belum ada yang sesuai."

Keheningan menyelimuti ruangan. Sela tampak gelisah, jari-jarinya tak henti meremas ujung gaunnya. Dalam diam, pikirannya berkecamuk, mencoba mencerna kenyataan yang baru saja ia dengar. Adrian, calon suaminya, kini buta. Dan dunia Sela yang penuh dengan kesempurnaan dan penampilan, mulai terguncang.

"Maaf, Tante... Om... Untuk rencana pernikahan kami, aku rasa..." Suara Sela terdengar semakin pelan, hampir tak terdengar. "Aku harus mendiskusikannya dulu dengan Papa dan Mama."

Arinta menatapnya tajam, seolah sudah mengetahui ke mana arah pembicaraan ini. Sementara Narendra, dengan nada yang lebih tenang namun penuh makna, berkata, "Ya, kami paham, Sela. Bahkan jika kamu ingin membatalkan pernikahan ini, kami tak akan mempersalahkannya."

Sela terdiam, tak mampu berkata-kata. Sementara Adrian, yang sejak tadi mendengar setiap percakapan tanpa melihat, hanya bisa menghela napas panjang. Ia tahu, cinta yang dulu ia percaya, kini hanyalah ilusi belaka.

Sejak ia mengenal Rindi, sesuatu dalam diri Adrian mulai berubah. Keraguan menguasai hatinya setiap kali ia memikirkan Sela. Cinta yang dulu ia yakini untuk kekasihnya kini terasa memudar, digantikan oleh perasaan hangat yang selalu hadir ketika ia mengingat Rindi—gadis sederhana yang tanpa pamrih menolongnya, merawatnya dengan ketulusan yang jarang ia temui di dunia yang penuh kemewahan dan kepalsuan.

Saat ini, bahkan ketika dia duduk di dalam kamarnya yang mewah, di kediaman Pratama yang megah, pikirannya tidak berada di sana. Bayangan Rindi yang senantiasa tersenyum lembut, suaranya yang menenangkan, dan ketulusan yang terpancar dari setiap gerak-geriknya memenuhi pikirannya.

Adrian menghela napas panjang. Di tengah keheningan malam, hatinya berbicara. "Rindi...," bisiknya pelan, seolah memanggil gadis itu yang berada jauh di sana, di gubuk tua di pinggir hutan.

Ia melirik ke arah jendela, meski matanya yang kini buta tak bisa melihat keindahan langit malam. "Baru beberapa hari jauh darimu, tapi aku sudah merindukan suaramu... ceritamu tentang angin yang berbisik di antara pepohonan, tentang sungai yang jernih mengalir di bawah sinar matahari..." Monolog Adrian terdengar lirih, hampir seperti gumaman.

Kenangan tentang Rindi terus menghampirinya, seperti aliran sungai yang tak bisa ia hentikan. Gadis itu bukan sekadar penyelamat baginya; ia adalah sumber ketenangan yang Adrian tak pernah temukan di dunia penuh kebisingan yang ia tinggalkan. Ada sesuatu yang murni dan indah pada setiap kata yang diucapkan Rindi, pada cara ia bercerita tentang alam sekitarnya, seolah dunia di sekeliling mereka adalah tempat yang lebih baik ketika mereka bersama.

Adrian mengusap wajahnya dengan tangan gemetar. "Aku rindu..." kata itu menggantung di udara, tanpa perlu dilanjutkan. Rindi-lah yang ada dalam pikirannya, bukan Sela, bukan gadis yang dulu ia kira akan menjadi pendamping hidupnya. Kini, semuanya terasa berbeda.

Perasaan itu mengalir seperti angin lembut di malam hari—hampir tak terlihat, tetapi menyentuh hati Adrian dengan kekuatan yang tak terelakkan. Dia tahu, apa yang dia rasakan untuk Rindi jauh lebih dalam daripada yang pernah ia rasakan untuk Sela. Dan meskipun dia belum mengucapkan perasaannya secara langsung, dia tahu suatu hari nanti dia harus kembali. Kembali bukan hanya untuk berterima kasih, tetapi untuk mengungkapkan apa yang kini membebani hatinya.

Adrian berbaring di tempat tidurnya yang luas, namun pikirannya melayang jauh dari kenyamanan rumah keluarga Pratama. Bayangan tentang Rindi, gadis sederhana yang telah mengubah dunianya, memenuhi benaknya. Di tengah kerlip bintang yang tak lagi bisa ia lihat, hanya satu hal yang terus terngiang dalam kepalanya—janji yang belum terucapkan.

“Rindi...” gumamnya pelan, suaranya serak oleh kerinduan yang dalam. Meski matanya kini tak mampu menatap dunia, ia bisa dengan jelas membayangkan wajah gadis itu, senyumnya yang hangat, dan ketenangan yang selalu ia bawa dalam setiap detik kebersamaan mereka.

Angin malam yang lembut menerobos melalui jendela, seolah membisikkan rasa sepi yang semakin memperdalam kerinduannya. "Tunggu aku," bisiknya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh keheningan. "Aku akan datang... Aku berjanji akan membawamu ke dalam hidupku."

Adrian menghela napas panjang, merasakan beban janji itu mengisi dadanya dengan harapan baru. "Aku akan berusaha... mencari donor mata," lanjutnya, suaranya mulai bergetar. "Aku ingin melihatmu, Rindi... bukan hanya mendengar suaramu yang merdu. Aku ingin melihat senyummu. Senyum yang dulu hanya bisa kurasakan melalui getar suaramu, kini harus kulihat dengan mataku sendiri."

Pikirannya terus berputar, seolah mempersiapkan dirinya untuk perjuangan yang belum usai. Ia tahu, hidupnya di tengah kota dengan segala kemewahan tak lagi berarti tanpa Rindi di sisinya. Gadis itu telah menjadi cahaya dalam kegelapan yang selama ini menghantuinya.

Dengan tatapan kosong, Adrian memejamkan mata yang kini tak lagi bisa melihat dunia luar, tetapi masih bisa merasakan kehangatan kenangan tentang Rindi. “Aku berjanji...” gumamnya lagi, sebelum akhirnya rasa kantuk perlahan menariknya ke dunia mimpi.

Dalam mimpi itu, dia melihatnya—Rindi, berdiri di tepi sungai yang jernih, dengan senyum yang begitu jelas di wajahnya. Dia berjalan ke arahnya, dan untuk pertama kalinya, Adrian bisa melihatnya, bukan hanya mendengarnya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel