Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Sebatas Pengganti 08

"Siapa yang berani menentang perintahku!" Tegas Arinta.

Rindi pun hanya bisa menghela nafas, dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Di hadapan Arinta, Rindi menyuapi Adrian makan. Sekuat tenaga dia menahan agar tangannya tidak gemetar dan air matanya tidak mengalir. Sungguh hari-hari yang sudah berlalu kini terlintas kembali diingatannya.

Setelah selesai menyuapi Adrian dan makanan pun habis tak bersisa, Rindi membawa peralatan makan ke dapur.

"Rindi," panggil Arinta.

"Bersabarlah menghadapi Adrian. Banyak masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Dia bersikap kasar karena dia tidak tahu jika kamu adalah Rindi." Tutur Arinta.

"Saya mengerti, Nyonya." Ucap Rindi.

Arinta mengajak Rindi untuk makan siang, setelah itu Rindi pun kembali ke kantor.

Di sisi lain,

"Apa kamu yakin memutuskan hubungan dengan mesin uangmu, Sela?" Tanya Mario, laki-laki yang selama ini menjadi selingkuhan Sela.

"Untuk apa aku bertahan dengan pria buta seperti dia, sayang. Lagi pula, aku mendekatinya hanya karena perintah papa." Jawab Sela.

"Aku tidak benar-benar mencintai pria dingin dan tidak bisa memanjakan perempuan itu." Imbuhnya.

"Tapi, kamu tetap harus hati-hati. Jangan sampai keluarga Pratama tahu tentang hubungan kita." Kata Mario.

"Dia sudah tahu, Mario. Saat kita pergi liburan waktu itu, aku beralasan pergi bekerja. Dia datang hendak memberi kejutan, dan dia benar-benar terkejut karena melihat kita berdua keluar dari kamar hotel." Jelas Sela.

"Itu bukan alasan yang kuat untuk menuduh kita selingkuh," ujar Mario.

"Bukan sekali itu dia memergoki kita, dan mungkin Tuhan merestui hubungan kita. Sehingga dia mengetahui semua tentang kita," kata Sela.

Ya, bukan hanya sekali Adrian memergoki Sela sedang berduaan dengan Mario. Tapi, berulang kali dan Adrian selalu lemah menerima penjelasan dari Sela. Namun, saat melihat Sela keluar dari kamar hotel dengan pria lain dan informasi yang dia dapat dari mata-mata yang dia kirim. Adrian yakin jika Sela mendua.

Pada malam itu pula pesawat yang ditumpangi oleh Adrian mengalami kecelakaan dan menyebabkan dia kehilangan penglihatannya.

Di sebuah rumah sakit,

"Kami sudah menemukan mata yang cocok untuk Adrian. Kami tinggal menunggu persetujuan dari pihak keluarga Pratama," tutur Dokter.

"Benarkah?" Mata Arinta terlihat berbinar saat mendengar kabar baik yang disampaikan oleh dokter.

"Kapan operasinya akan dilaksanakan?" Tanya Arinta tak sabar.

"Jika Adrian siap, maka kita akan melakukan operasi secepatnya." Jawab dokter.

Arinta sudah tidak sabar untuk pulang. Dia ingin menyampaikan berita bagus ini pada putranya.

Di rumah Adrian,

"Jika operasinya berhasil, rahasiakan hingga hari pernikahanku." Pinta Adrian setelah mendengar penjelasan Arinta.

"Kamu tenang saja," kata Arinta.

Arinta menatap bahagia ke arah putranya. Dia sudah tidak sabar melihat Adrian bisa melihat seperti semula.

"Rahasiakan dari semua orang, Ma. Tugasku belum selesai," pinta Adrian lagi.

"Biar Gandi yang menangani semua itu nak. Meskipun operasinya berhasil, matamu tidak boleh terlalu lelah." Ucap Arinta.

"Hanya sampai pengkhianat itu tertangkap, Ma. Setelah itu aku akan kembali seperti biasa," ujar Adrian.

Arinta memahami apa yang sedang dirasakan oleh putranya. Pengkhianatan yang dilakukan oleh orang di perusahaannya, ditambah lagi pengkhianatan calon istrinya menambah goresan luka yang cukup dalam.

"Siapa orang pertama yang ingin kamu lihat saat matamu sembuh?" Pancing Arinta.

Terlihat Adrian tersenyum, senyuman yang sangat manis. "Tidak ada," ucapnya bohong.

"Baiklah, mama tidak akan memaksa." Kata Arinta.

Ruang keluarga mendadak hening. Hanya sesekali terdengar helaan nafas panjang dari arah Adrian.

"Ma," sebut Adrian.

"Kamu ingin mengatakan sesuatu?" Tebak Arinta.

Adrian tidak langsung menjawab pertanyaan Arinta. Dia terlihat ragu untuk mengutarakan apa yang ada di hatinya.

"Katakanlah! Apa pun itu permintaanmu, akan mama kabulkan. Anggap saja itu hadiah dari mama atas kesembuhanmu." Tutur Arinta seolah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh putranya.

"Aku ingin ke kampung tempat di mana aku di selamatkan," cetus Adrian penuh harap.

"Kamu ingin menemui pak RT yang menemukanmu, Bu bidan yang mengobati lukamu, atau sungai yang menenangkan?" Cecar Arinta.

"Semuanya. Aku ingin mengucapkan terima kasih dan ingin mengenal wajah mereka. Melihat wajah yang sudah berjasa menolong dan merawatku tanpa pamrih," jelas Adrian.

"Pergilah! Supir akan mengantarmu," kata-kata Arinta bagai oase di gurun pasir. Menyejukkan.

Seminggu berlalu,

Hari ini Adrian akan menjalani operasi.

Hanya Narendra dan Arinta yang mendampinginya. Untuk sementara biarlah kesembuhan Adrian menjadi rahasia.

Semenjak mendapat kabar tentang donor mata, Rindi sudah tidak lagi datang ke rumah Adrian. Dia disuruh fokus membantu Gandi di kantor.

"Persiapkan dirimu, lima belas menit lagi kamu ikut denganku menemui klien." Kata Gandi pada Rindi.

"Baik, pak." Sahut Rindi.

Rindi mengemasi berkas-berkas yang akan dibawa meeting. Entah kenapa seminggu belakangan ini Gandi selalu membuatnya sibuk.

"Ayo berangkat!" Ajak Gandi.

"Apa kita meeting di luar?" Tanya Rindi dan Gandi hanya mengangguk saja.

Meskipun hanya gadis kampung, namun kemampuan Rindi dalam bekerja tidak perlu di ragukan lagi. Dengan cepat dia bisa menguasai semua yang diajarkan Gandi padanya.

"Kali ini kamu yang presentasi. Aku ingin lihat sejauh mana perkembangan mu dalam menerima pelajaran dariku." Ujar Gandi.

"Tapi, aku takut salah, pak." Kata Rindi.

"Proyek kali ini tidak terlalu penting. Jika presentasimu tidak bisa membuat mereka tertarik, itu tidak masalah." Balas Gandi.

"Aku takut merugikan perusahaan. Lagi pula nanti pak Adrian akan marah besar," lirih Rindi.

Jantung Gandi berdesir saat mendengar perkataan Rindi. Dia melihat begitu ketusnya Adrian setiap berbicara dengan Rindi. Andai Adrian tahu ...

Gandi dan Rindi sudah sampai di restoran tempat mereka bertemu dengan klien. Orang yang akan mereka temui sudah berada di sana. Tanpa mengulur waktu, mereka langsung mempresentasikan proyek kerja masing-masing.

Rindi berhasil meyakinkan orang tersebut, dan Gandi bangga padanya.

"Aku tidak salah mengajarimu banyak hal. Kamu memang hebat!" Puji Gandi.

"Itu semua berkat bapak," balas Rindi.

"Kalo boleh tahu, sejak kapan kamu yatim piatu?" Tanya Gandi sambil menyeruput kopi hitam miliknya.

"Ayahku meninggal saat aku masih kecil, kalo ibuku sekitar tiga tahun yang lalu." Jawab Rindi jujur.

"Kamu tinggal di gubuk itu sendirian sejak ibumu meninggal?" Tanya Gandi lagi dan Rindi menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Selama ini siapa yang membiayai hidupmu? Emm ... Maaf jika aku lancang," ucap Gandi.

"Aku bekerja di rumah Bu bidan dan gajinya cukup untuk membiayai hidupku di kampung," jawab Rindi.

"Rindi, Adrian orang baik. Mungkin dia bersikap kasar padamu karena dia tidak tahu jika Putri dan Rindi adalah orang yang sama," jelas Gandi.

Rindi tersenyum kecut, apa yang dikatakan oleh Gandi mungkin ada benarnya. Tapi, dia tidak mau terlalu berharap.

"Adrian akan menikah setelah operasi pada matanya selesai." Kata-kata Arinta kembali terngiang diingatan Rindi.

"Rindi, meskipun aku baru mengenalmu. Tapi, aku merasa nyaman di dekatmu. Rindi, setelah aku pulang nanti dan mataku sudah bisa melihat lagi. Orang luar yang ingin kutemui adalah kamu. Setialah menungguku. Aku mencintaimu!" ucapan Adrian kembli terngiang memenuhi memori ingatan Rindi.

"Rindi? Kamu melamun?" Suara Gandi membuyarkan lamunan Rindi.

"Apa kita bisa kembali ke kantor sekarang?" Rindi malah balik bertanya.

Gandi tidak menjawab pertanyaan Rindi, dia malah tersenyum sambil menggelengkan kepala.

"Besok saja kita kembali ke kantor, karena sekarang sudah malam." Ucap Gandi.

Rindi mengedarkan pandangannya ke sekeliling, dan benar saja hari sudah malam.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel