Bab 4 Bertemu Pria Misterius
Maya menoleh cepat ke arah Indah setelah mendengar suara wanita itu. Ia mengingat nama yang disebut Indah seperti pernah mendengar di suatu tempat. Ketika dua pria mempesona tadi tiba-tiba bergabung dengan mereka, Maya seketika disegarkan ingatannya.
Ini adalah pria yang dibilang Indah sebelumnya. Pria berduit yang pernah memelihara dengan memberikan uang kepadanya melalui imbalan sesuatu yang bahkan tidak sanggup dipikirkan Maya.
Lalu mengapa pria ini hadir bersama mereka sekarang? Maya benar-benar merasa tidak enak.
“Mereka tinggal di hotel ini, wajar kan kalau aku menawari untuk bergabung?” ujar Indah seolah memahami wajah Maya yang mencurigainya.
Pria yang dipanggil Andrew mengambil tempat di kursi yang berdekatan dengan Maya. Sedangkan yang satu lagi menjadi duduk dekat dengan Indah. Meskipun begitu, Maya bisa melihat kalau pria yang di dekat Indah, memberi jarak antara dirinya dan temannya itu.
Berbeda dengan Andrew, yang sepertinya tidak berniat memberi batasan. Andrew duduk sangat dekat dengannya. Justru Maya yang menciut dan berupaya sedikit menjauhi pria itu.
Andrew memang menawan. Rupawan meski terlihat jejak aura kejam. Wanginya luar biasa menggoda. Pria ini menguarkan aroma kombinasi antara teh, jeruk mandarin, amber, ditambah sedikit lavender dan musk, setiap kali ia bergerak. Wangi Andrew memberikan aroma yang menenangkan dan maskulin.
Maya menjadi kebingungan saat penampilan pria tersebut terasa kejam dan mengintimidasi tetapi aromanya malah menenangkan. Tenang yang memabukkan. Maya jadi sering meminum air yang disediakan untuk melegakan tenggorokan supaya bisa fokus dan tidak terus-terusan terpesona pada Andrew.
“Maya, ini Tuan Andrew dan Tuan Michael.” Kalimat Indah mengembalikannya ke meja makan.
“Y-ya?” Maya tergeragap dan mencoba berani untuk menatap mata Andrew.
Mata pria itu memincing seolah menilai Maya. Ia bisa melihat sudut bibir Andrew berkedut lalu tertarik ke atas. Sepertinya ia tersenyum. Sayangnya, senyum Andrew tidak sampai ke matanya.
Maya gentar. Ia belum pernah takut pada orang. Tetapi dengan pria ini, ia merasa gentar.
“Ma-Maya,” ujarnya rikuh menutupi kegentarannya dan mengulurkan tangan sebagai kesopanan. Andrew menerima tangan Maya, lagi-lagi wanita ini terkejut. Berbanding terbalik dengan wajahnya yang dingin, tangan Andrew yang besar terasa panas. Tangan Maya yang mungil dengan segera lenyap ketika Andrew menggenggam untuk membalas jabatan tangannya.
“Andrew Wijaya Collins, Nona Maya,” katanya kemudian.
Seluruh bulu di permukaan kulit Maya, bulu yang masih tersisa setelah perawatan spa, berdiri dan bergetar ketika mendengar suara Andrew. Jenis suara berat dan dalam yang dimiliki oleh para penyiar radio. Tetapi dingin dan datarnya membuat Maya bergidik.
“Maaf.” Spontan Maya meminta maaf sambil menarik tangannya. Karena ia merasa tubuhnya bergidik dan hampir yakin, Andrew pasti menyadarinya.
“Kenapa minta maaf, Nona?” tanya Andrew dimaksudkan untuk ramah. Namun, bagi Maya seperti putusan hakim dalam memberi sebuah hukuman.
“Tidak, saya hanya ....” Maya kebingungan sendiri. Hanya apa?
Andrew menatap ke arahnya, menunggu. Namun, saat Maya malah semakin salah tingkah akhirnya Andrew mengalihkan pandangan pada Mike. “Kita mulai saja makannya.”
Pria yang dipanggil sebagai Mike itu mengangkat tangan dan menjentikkan jari. Segera beberapa pelayan, pria dan wanita keluar beriringan mengirimkan menu untuk empat orang dalam sekali jalan.
Piring-piring berisi makanan ditebar di atas meja kemudian para pelayan menghilang secepat datangnya.
“Silakan,” kata Andrew datar. Maya segera menyatukan tangan hendak mengucapkan doa, mendadak berhenti dan menatap heran ke tiga orang di depannya yang langsung makan tanpa berdoa. Ia bergerak canggung, mengikuti tiga orang di dekatnya.
Mike tertawa pelan, “Kalian memang tidak punya aturan.”
Indah dan Andrew yang baru memulai makan, menatap heran ke arah Mike. Pria yang wajahnya memiliki kulit seperti bayi itu menunjuk Maya menggunakan dagunya.
“Peka sedikit. Maya tadi siap berdoa sebelum makan. Kalian malah langsung gas saja,” kekeh Mike.
Andrew menatap ke arah Maya dengan matanya yang sedalam lautan. Maya yang berada di dekatnya spontan menoleh dan bisa melihat iris mata Andrew memiliki warna coklat yang lagi-lagi berbeda dengan penampilannya. Mata Andrew menenangkan. Alis yang rapi dan tebal milik pria itu, naik dua senti saat Maya balas menatapnya.
“Apakah kamu takut denganku?”
Suara Andrew berpengaruh besar pada Maya. Seketika ia mengigil. Bukan karena dingin. Tetapi sesuatu di suara Andrew menghantamnya lebih keras dari kesadarannya sendiri.
“Ti-tidak!” jawab Maya berani. Berusaha berani lebih tepatnya. Maya meneguhkan diri. Mengapa ia takut pada Andrew? Pria itu bukan bangsawan era Romawi yang kejam, bukan?
“Bagus.” Andrew tersenyum ke arahnya. Maya membeku.
Andrew sebaliknya, kembali makan dan mengabaikan Maya yang berusaha menata kembali detak jantungnya ke irama normal.
Sesuai dengan rencana di kepala Maya, untuk menutupi ketidaktahuannya. Ia makan lambat dan memperhatikan ketiga orang di dekatnya. Segera Maya menyadari, selain dari cara makan yang memang sengaja ia amati. Ia juga melihat cara berkomunikasi ketiganya.
Andrew selalu berbincang dengan Mike saja. Sedangkan Indah selalu berusaha mendesakkan dirinya masuk ke percakapan yang hanya direspon oleh Mike. Andrew sama sekali mengabaikan Indah. Hanya menjawab Indah jika didahului oleh Mike. Andrew, malah hampir tidak pernah menatap ke arah Indah.
Maya tidak ikut berbincang bersama mereka. Selain tidak mengerti topik yang diangkat ketiganya, Maya sibuk memikirkan keberadaan tiba-tiba dua pria bersama dirinya dan Indah. Insting Maya mengirimkan tanda bahaya dan logikanya mengetuk-ngetuk kepala guna menyadarkannya.
Maya susah mempercayai kalimat Indah karena berlawanan dengan penjelasannya kemarin. Bukankah Indah mengatakan kalau Tuan Andrew adalah orang yang sibuk?
Ia lebih percaya jika kehadiran mereka disengaja. Masalah, jika hal itu benar. Maka Maya mendeteksi suatu bahaya yang mengancam dirinya. Hanya saja, ia tidak tahu. Bahaya apa yang mengintai itu.
Semakin lama mereka duduk berempat, semakin Maya merasakan pikirannya susah fokus. Berkali-kali ia minum untuk melegakan tenggorokannya. Yang anehnya, semakin banyak air yang ia minum, semakin haus saja dirasa.
Saat makan siang usai, Maya tidak menjadi lebih tenang. Ia merasakan denyut jantungnya meningkat. Napasnya menjadi lebih berat dan cepat. Ia sampai harus sekuat tenaga mengendalikan diri agar ketiga orang di dekatnya tidak tahu.
Maya merasa semua ini terjadi karena dia terlalu lama berada di sebelah Andrew dan gugup akan kehadiran pria itu.
Saat-saat yang dirasa sulit oleh Maya semakin berat ketika ia melihat Andrew yang menyelesaikan pembayaran dan Indah bersiap untuk pergi. Tentu saja Maya berniat melakukan hal yang sama.
Ia datang bersama Indah. Sudah sepatutnya ia pulang bersama Indah.
Masalahnya, ia duduk di sudut dan terhalang oleh Andrew. Ia ingin berdiri tetapi akan sulit jika Andrew tidak berdiri terlebih dahulu. Sedangkan untuk membuka suara sekedar mengucapkan permisi, Maya merasa kesulitan dengan denyut jantung dan napasnya yang berat.
Ia tahu, waktu tidak akan menunggunya. Kesempatan tidak akan datang dua kali. Jika ia terus mengelem mulutnya, Indah yang tidak memiliki simpati, akan meninggalkannya.
“Tuan Andrew, permisi?” desahnya dan Maya terkejut sendiri dengan suara yang keluar dari mulutnya. Ia menutup mulut dengan telapak tangan dan mata membelalak. Tak pernah seumur hidup Maya mengeluarkan suara sesensualitu.
“Apa yang terjadi padaku,” pikir Maya panik. Ia masih menutup mulutnya dan hanya kedua matanya saja yang berkedip-kedip, dua kali lebih sering.
Sepertinya bukan cuma suara Andrew yang berpengaruh padanya. Maya bisa melihat mata Andrew terpejam dan punggungnya menegang saat Maya bersuara. Menyadari hal itu, Maya jadi menyesal telah mengeluarkan suaranya.
“Kenapa?” tanya Andrew dingin. Pria itu menoleh ke arahnya tetapi tidak bergerak sama sekali, sedangkan Indah dan Mike sudah berdiri. Indah karena akan pergi sedangkan Mike berdiri demi kesopanan karena wanita di sebelahnya akan pulang.
“Saya harus pulang bersama Indah,” jawab Maya susah payah, berusaha bersuara biasa. Tidak mendesah-desah aneh.
“Kata siapa harus?” tanya Andrew lembut. Jenis lembut yang mematikan. Saat Maya gemetar, Indah malah tertawa.
“Kalau harus. Maka kamu harus pulang dengan Tuan Andrew, May,” katanya kemudian membuat jantung Maya naik ke tenggorokan karena saking terkejutnya.
“Bagaimana?” tanyanya berusaha bersuara jelas karena lidahnya benar-benar telah menjadi kelu.
“Uangnya sudah saya cairkan dan saya serahkan kepada orang tua Maya, Tuan Andrew. Jadi saya bebas tugas, kan?” tanya Indah dengan mimik wajah mengejek ke arah Maya. Seolah Maya adalah wanita tolol yang tidak mengerti satu ditambah satu sama dengan dua.
Yang makin membuat Maya kalut, Andrew mengangguk tanpa ekspresi.
“Nah, kau dengar Maya. Kamu adalah milik Tuan Andrew sepanjang akhir pekan. Kerja yang bagus dan kamu mungkin akan dikembalikan dalam keadaan utuh. Hahaha ... saya permisi dulu. Tuan Andrew, Tuan Mike.”
Indah berlalu tanpa melihat ke arah Maya lagi. Sedangkan Maya, seakan dijebloskan ke dalam sumur gelap yang paling dalam.
Maya berteriak. Maya memaki. Maya menendang meja dan melompatinya sekalian lalu menerjang Indah, menjambak rambutnya sekuat mungkin. Jika bisa, ia akan membanting Indah ke lantai.
Alih-alih melakukan secara nyata. Maya hanya membayangkan melakukan semua itu di dalam kepalanya yang awut-awutan. Karena pada kenyataannya, ia sedang kesulitan mengendalikan diri.
Sekarang, bukan lagi denyut jantung yang cepat dan napas berat yang mendera Maya. Ia mulai merasakan suhu tubuhnya naik dengan cepat. Maya mulai kebingungan dengan panas yang menyerang.
Maya merasa sekitarnya menjadi hitam. Ia tidak bisa melihat atau mendengarkan orang lain. Hanya denting piano yang mengisi ruang di telinganya.
“Ayo,” ajak Andrew.
Susah payah Maya menggerakkan kepala untuk menoleh ke arah Andrew yang sudah berdiri dan mengulurkan tangannya. Mike juga sudah berdiri. Badannya serong ke arah Andrew dan dirinya. Sepertinya Mike sudah siap berjalan tetapi menunggu Maya dan Andrew.
Maya ingin berdiri. Tetapi rasa baru membuatnya panik. Tiba-tiba ia ingin buang air seni. Di saat yang sama, ia juga menjadi lebih basah. Hal itu yang membuatnya ragu untuk berdiri.
“Nona Maya.”
“Ya?” jawabnya lembut, matanya menatap sayu ke arah Andrew. Entah bagaimana Maya merasa pria ini makin menarik.
“Ikut aku, Nona. Aku akan membantumu melepas semua penderitaan.”
Suara itu dianggap undangan oleh Maya. Perasaannya meledak dalam sukacita. Saat kepalanya bingung, badannya otomatis menerima ajakan Andrew. Tangannya bahkan gemetar saat ia ulurkan ke arah Andrew. Karena pikirannya sekuat tenaga melawan badannya yang seperti memiliki kemauan sendiri. Tetapi pikirannya kalah kuat.
Pria itu menangkap tangannya dan meremas. Maya meringis lalu sedetik kemudian ditarik tak kalah kuat sampai Maya merasa tubuhnya sempat melayang beberapa detik sebelum kedua kakinya kembali menjejak tanah lalu melangkah cepat mengikuti langkah lebar-lebar dari kaki Andrew yang panjang.
Anehnya, di saat badannya memanas, ia bisa merasakan tangannya yang dingin berada di dalam genggaman tangan Andrew yang hangat. Maya terseret-seret di belakang Andrew, sekuat tenaga menahan agar tidak memeluk punggung pria itu.
Maya menggelengkan kepala tak percaya atas selintas pikiran barusan. Susah payah Maya berusaha untuk sadar, saat badannya malah melawan dirinya sendiri. Sekarang pandangannya yang mengabur menangkap Mike yang membuka pintu lift. Maya diseret masuk.
“Tuan Andrew, tolong saya.” Maya sudah tidak tahan, bibirnya mengucap di luar kendalinya. Ia berdiri dengan satu tangan di dalam genggaman Andrew. Kedua kakinya gemetar dan Maya melipat kedua lutut dalam upaya menjepit pertigaan tubuhnya yang serasa akan mencair.
“Sudah mulai tuh,” kata Mike sambil memindahkan matanya dari Maya ke papan angka lift.
“Hm.” Andrew hanya menggeram dan menatap mata Maya yang mulai sayu. “Kuharap Indah tidak gila dengan memberinya banyak obatperangsang.”
Mike tertawa pelan, “Kenapa? Tidak sanggup kau?”
Maya bisa melihat dari balik kelopak matanya yang berat, Andrew masih menatapnya sambil menggelengkan kepala. Dan Maya mengerang, berharap Andrew tidak hanya menatapnya, tetapi melakukan sesuatu agar panas yang membakarnya sekarang segera hilang.
“Kurasa aku bisa mengatasinya.” Kalimat pria itu dirasa sangat jauh oleh Maya. Pikirannya mulai bergoyang, antara tetap diam atau melompat memeluk Andrew saja. Dia hanya berpikiran ke arah Andrew karena pria itulah yang memegang tangannya sekarang.
Mendadak rasa panas semakin berkobar, Maya terkesiap lalu meraih pergelangan tangan Andrew yang lain, “Tuan Andrew, tolong saya. Panas. Rasanya panas sekali.”
Hanya itu yang bisa diucapkan Maya. Detik selanjutnya, kedua kakinya berubah menjadi jelly dan Maya akan tersungkur. Tetapi Andrew lebih cepat, meraih pinggang ramping wanita itu lalu menggendongnya.
Pintu lift terbuka dengan denting lembut. Maya merasakan badannya berayun, setengah menyadari kalau Andrew menggendongnya dengan sangat posesif lalu membawanya maju memasuki sebuah ruangan yang keseluruhan dindingnya berwarna putih bersih.
Interior yang mewah, perpaduan warna putih, hitam dan perak yang elegan menyambut mereka. Kepala Maya berayun ke belakang dan bisa melihat huruf P besar tercetak di dinding sebelah pintu lift.
“P? Penthouse?” Otak Maya yang bergoyang masih bisa menganalisa dengan cepat. Setelah itu ia tidak kuat lagi mempertahankan kesadaran dan kepalanya terkulai ke dada Andrew.