Bab 3 Dimanipulasi
Indah bergegas mendekati Andrew setelah merasa mendapat ijin dari pria itu. Ia menunjukkan foto Maya yang sudah ada di ponselnya.
Andrew mendorong Indah sedikit menjauh karena wanita itu berdiri terlalu dekat, tetapi merampas ponselnya. Ia melihat seorang wanita berwajah lembut sedang tersenyum menatap Indah yang tertawa lebar. Wanita itu berkulit bersih dan memiliki rambut tebal yang panjang. Garis hidungnya tegas serta tinggi membuat wajahnya memiliki fitur seorang aristokrat.
“Tidak buruk,” kata Andrew, kepalanya miring saat menilai Maya. sesaat kemudian ia mengembalikan ponsel Indah.
“Apa saya bilang, Tuan,” ujar Indah lebih percaya diri. Andrew berbalik sambil mengenakan jas.
“Masalahnya aku mau ditunjukkan aslinya, bukan sekedar foto. Aku tidak percaya denganmu, Ndah. Bisa saja foto itu memakai filter atau aplikasi editing yang lain.” Suara Andrew dingin terdengar tidak menghargai lawan bicaranya.
“Hal itu sudah saya duga. Saya sudah siapkan karena saya kenal banget Tuan Andrew, pasti minta sample ada di tempat. Dia ada di lobi. Mari,” ajak Indah penuh semangat.
Andrew yang telah selesai berpakaian, kini berdiri di dalam setelan mahal mencari sepatunya yang tak kalah eksklusif lalu mengenakannya.
“Bawa aku padanya.”
Indah keluar dari kamar Andrew dengan diiringi pria itu bersama sahabatnya. Selama berjalan menyeberangi ruangan, untuk menuju ke lift, Indah menjelaskan situasinya.
“Dia mahasiswi di kampus yang sama dengan saya, semester tujuh jurusan manajemen bisnis. Dia cukup cerdas tetapi lugu dan naif. Menurut saya sih, hanya berpura-pura. Sok jual mahal lah karena dia cantik.” Indah mempromosikan Maya tetapi tetap ada jejak kedengkian di sana. Andrew dan Mike sama-sama menutup mulut selama Indah mencerocos hingga lift terbuka di lantai dasar.
“Itu dia, Tuan.” Indah menunjuk Maya yang sedang duduk di salah satu sofa dan sibuk mengerjakan sesuatu di atas buku dan diktat yang dibawanya.
Andrew mengamati Maya dari kejauhan. Mike di belakangnya, ikut memperhatikan wanita yang ditunjuk Indah. Mereka berdua bisa melihat Maya sedikit membungkuk di atas meja. Wanita itu sedang sibuk menulis sesuatu di atas buku. Rambutnya yang legam, terikat tinggi-tinggi di belakang kepala, memperlihatkan leher jenjang yang mulus dihiasi oleh anak-anak rambut yang lepas dari ikatan.
Mike mendekat untuk berbisik kepada sahabatnya. “Terlalu kurus, terlalu lusuh. Satu-satunya kelebihan sepertinya dia cerdas.”
Andrew tidak menunjukkan respon apapun atas bisikan Mike di telinganya. Ia tetap menatap ke arah Maya.
“Deal dua miliar. Uang itu termasuk biaya untuk memolesnya. Kamu harus bisa merubah penampilannya. Jika tidak, aku akan minta uang itu kembali,” kata Andrew kepada Indah dan tanpa menunggu wanita itu menjawab, ia segera berlalu bersama Mike.
Indah tersenyum girang dan nyaris melompat-lompat saat melangkah menghampiri Maya.
“Hei, maaf lama nunggu, ya?” Indah telah tiba di dekat Maya kembali. Wanita itu mendongak dari buku catatan dan diktatnya. Ia menoleh ke belakang Indah untuk mencari orang yang mau ditemui kawannya itu. Tetapi tidak menemukan siapapun. Hanya tamu-tamu hotel yang berlalu lalang, mengacuhkan keberadaan Indah dan dirinya.
“Mana tuanmu?” tanya Maya seraya membereskan dan memasukkan buku catatan dan diktat kembali ke dalam tas.
“Sudah pergi. Apa kubilang, dia sangat sibuk!”
“Lho? Jadi aku gimana, dong?” tanya Maya kalut.
“Tenang saja. Dia akan menyiapkan. Uang sebanyak itu, sulit kalau ditransfer semua. Nanti terpotong pajak. Ia juga tidak membawa tunai sebanyak itu di kantung celananya, kan?! Nanti Tuan Andrew akan mengirimkan cek setiba di kantor! Sekarang kamu ikut aku dulu, oke?” Indah menggamit lengan Maya dan menariknya.
“Eeh, ke mana? Aku harus kerja paruh waktu di kafe, Ndah.” Maya berusaha menolak tetapi Indah berdecak kesal di dekatnya dengan raut muka tidak suka.
“Mau dapet duit enggak!” sergahnya seraya menepis lengan Maya yang baru saja ditariknya.
“Y-ya, mau. Tapi aku harus kerja, Ndah. Nanti aku gak bisa bayar hutang ke kamu, gimana?” tanya Maya memastikan kawannya memahami maksudnya. Indah tidak punya pilihan. Maka ia harus melepaskan Maya.
“Ya sudah, aku antar ke kafemu! Tapi, Jumat besok, sepulang kuliah, kamu ikut aku. Harus!” paksa Indah.
“Uangnya dikasih ke aku, kapan?” tanya Maya takut-takut ke arah Indah yang menampakkan wajah sebal.
“Tck! Nanti kalau sudah terima cek dari Tuan Andrew!”
“Ndah ... rumahku akan disita Senin depan kalau kami tidak membayar.” Maya berkata dengan suara tertekan. Hatinya memang sedih saat ia mengeluarkan kalimat itu.
“Haduuh! masih ada waktu, besok aku bisa ke kantor Tuan Andrew. Sudah, jangan khawatir!”
Indah mengantarkan Maya hingga ke Kafe Pelukis yang berada di pusat area perkantoran. Tidak sekedar mengantar, tetapi Indah juga turun. Berdalih ingin santai sejenak di kafe, Indah memperhatikan Maya sambil sesekali mengambil gambar wanita itu secara diam-diam untuk ia kirimkan kepada Andrew.
[Namanya Maya Suharyo, usianya 22 tahun. Sekarang sudah semester tujuh dan sedang menyiapkan skripsi] ketik Indah kepada Andrew sembari mengirimkan lima foto Maya yang diambil secara acak tetapi tampak jelas wajah dan posturnya karena memakai fitur zoom.
[Oke] Andrew hanya mengetikkan jawaban sebanyak tiga huruf saja.
[Maaf. Jangan hanya oke, Tuan. Bagaimana dengan pembayarannya. Dia wanita istimewa, harus dibayar di muka] balas Indah terlalu bersemangat.
Indah mengetuk-ngetuk meja saat matanya menatap nanar ke layar ponsel. Pesannya kepada Andrew sudah dibaca setengah jam lalu, tetapi pria itu tidak kunjung membalas. Ia ingin mengirimkan pesan lagi tetapi takut dirasa terlalu mendesak dan malah berakibat Andrew membatalkan transaksi.
Tetapi menunggu juga membuatnya blingsatan. Karena ia sudah tidak sabar membayangkan keuntungan di depan mata yang didapat dengan mudah. Dua miliar tanpa bekerja sedikitpun, hanya sekedar mengobral kata kepada multibilyuner tolol haus wanita.
Indah tersenyum miring, menyadari kepandaiannya sendiri, “Damn, you so good, Indah!”
Dan menambah kebahagiaan wanita licik itu, Andrew menuliskan pesan yang baru saja masuk ke ponsel Indah.
[Periksa rekening. Aku sudah transfer 500 juta. Sisanya, ambil di kantor dalam bentuk cek. Temui Yohana]
Indah gegas berdiri. Ia menyambar tas nya yang mahal lalu mendekati Maya di konter pelayanan.
“May, uang sudah masuk. Aku ambil ke bank dulu. Uang akan aku antar ke rumahmu Jumat pagi. Lalu kamu harus menemaniku Jumat, Sabtu dan Minggu. Dapatkan ijin orang tuamu. Kalau tidak, aku tidak akan memberikan uangnya,” kata Indah tegas dan tidak menerima jawaban tidak.
Maya bisa apa selain mengiyakan kemauan temannya. Ketika temannya itu menjadi harapan terakhir untuk menyelamatkan harta satu-satunya milik keluarga.
Jumat pagi, Indah benar-benar muncul di rumah sederhana Maya. Ia berhasil menyakinkan keluarga Maya kalau ia membutuhkan teman sepanjang akhir pekan karena keluarganya sedang pergi keluar kota.
Kebetulan Maya memiliki alibi. Ia sedang melakukan riset untuk skripsi dan Indah yang memiliki pergaulan yang luas, bisa membawa Maya untuk menemui para pengusaha muda di waktu senggang mereka saat akhir pekan.
Dewi yang naif, mempercayai teman puterinya begitu saja. Sedangkan Suharyo sudah menaruh curiga, tetapi karena ia tahu dari cerita Maya, bahwa yang membantu memberi hutang adalah Indah, membuat Suharyo tidak bisa berbuat banyak.
Pria paruh baya itu tampak menatap sedih ke puterinya yang akan dibawa Indah pergi.
“Ayah minta maaf, ya? Jadinya malah Maya yang menyelesaikan semua masalah.”
“Enggak selesai juga sih, Yah. Cuma mindahin hutang. Kita tetap kudu nyicil ke Indah. Tetapi lebih ringan karena gak pake bunga, ‘kan,” kata Maya berusaha terdengar ceria agar ayahnya tidak terlalu bersedih.
“Ya, tetap saja. Kalau bukan karena Maya, mungkin kita sudah diusir saat ini.” Suharyo berkata sambil menoleh ke arah Dewi yang membawa masuk satu kardus mie instant yang berisi uang tunai dalam pecahan seratus ribu rupiah. Selama menaiki tangga, Indah tampak berbincang dengan istrinya.
“Ayah berharap kamu tidak melakukan hal negatif untuk ini,” kata Suharyo kelu.
“Ayah! Enggak ada, ya! Maya beneran utang sama Indah!” desis Maya seraya melirik ke arah yang sama dengan Suharyo.
“Baiklah, Ayah percaya padamu.”
Maya pergi bersama Indah setelah menyerahkan uang tersebut. Suharyo dan Dewi begitu percaya sehingga tidak menghitung uang yang didapat dari Indah. Sekarang, Maya telah bersama Indah di dalam Mini Cooper biru yang membelah jalanan ibukota.
“Kita mau ke mana, sih?” tanya Maya.
“Aku akan mengajarkanmu cara bersenang-senang wanita berduit!” jawab Indah sambil mengedipkan satu matanya.
“Apaan? Nonton? Hang out di kafe? Kamu bisa hang out di kafeku saja, Ndah? Jadi aku bisa menemanimu sambil kerja,” gelak Maya.
“Bersenang-senang model apa itu?” cibir Indah.
“Lalu apa, dong?” tanya Maya mulai gemas.
“Kamu suka dengan penampilanku dan bauku yang harum, kan? Aku akan mendandanimu menjadi seperti aku,” ujar Indah seraya tersenyum manis. Maya tergelak.
“Aku gak punya duit, Ndah!” ujar Maya tertawa dalam ironi.
“Tck! Aku traktir!” tukas Indah cepat.
“Eh, serius? Aku punya hutang padamu, kamu malah mentraktirku?”
“Serius. Aku cuma mau punya teman hang out bareng dan bisa aku ajak ngobrol selama perawatan di salon,” kata Indah kemudian. Maya bertepuk tangan gembira.
Hari itu, Indah membawa Maya kemana-mana. Perawatan di salon mahal yang bagai mengupas Maya dari kulit arinya. Wanita itu mendapat paket perawatan lengkap untuk sekujur badan bahkan sampai dengan layanan brazillian wax.
Maya yang semula menolak karena tidak bisa membayangkan bagaimana malu dan sakitnya. Harus menyerah karena Indah terus memaksa. Meskipun akibatnya Maya menjadi bahan tertawaan karena terus berteriak kesakitan selama metode pencabutan bulu dilakukan.
Untungnya setelah itu, perawatannya benar-benar memanjakan Maya. Mulai dari spa lengkap dengan lulur dan pijat, paket pembersihan kulit mati dan detok, wajah maupun rambut Maya juga mendapatkan perawatan yang sama.
Hasilnya, Maya menjadi harum dan secemerlang Indah.
“Bagaimana rasanya?” tanya Indah manis saat mereka berdua sudah selesai melakukan perawatan dan kawan Maya itu sedang membayar di kasir.
“Luar biasa. Sakit cuma sekali selanjutnya enak, Ndah,” ujar Maya gembira. Bagaimana tidak, badannya terasa segar dan relaks luar biasa.
“Apa kubilang?” Indah berkata sombong sambil menerima kartu debitnya kembali. Maya bersiul, Indah bahkan membayar dengan uang tanpa cicilan.
“Habis berapa?” bisik Maya berusaha mengintip tanda terima pembayaran.
“Aduh, sedikit ini. Cuma 68 juta berdua,” jawab Indah sambil menunjukkan tanda terima pembayaran.
“Enam puluh delapan juta?!” Maya memekik membuat Indah mendesis menyuruhnya diam dengan wajah malu karena kenorakan Maya. Sementara petugas kasir malah sudah mentertawakan secara sembunyi-sembunyi.
“Norak! Diem kamu!” bentak Indah kesal.
“Duh, Ndah ... mendingan uangnya dikasih ke aku. Kan bisa aku pake nyicil hutangku ke kamu,” keluh Maya sedih. Mendadak ia menyesal telah menikmati pelayanan tadi. Indah tergelak.
“Ini belum selesai, Maya. Budgetnya masih tersisa banyak untukmu,” kekehnya.
“Budgetnya?” tanya Maya heran saat mengikuti langkah Indah keluar dari salon perawatan.
“Maksudku, budgetku!” tukas Indah cepat. Ia hampir keceplosan mengatakan kalau seluruh uang untuk merombak Maya adalah dari Andrew.
“Ngapain kamu nge-budgetin aku? Budget apaan?” tanya Maya curiga.
“Kan, sudah aku bilang, aku pengen punya temen setara. Masuk,” ajak Indah menunjuk pintu mobilnya.
Maya yang bersungut-sungut mengomel sendiri, “Kok baru sekarang, saat aku punya hutang sama kamu. Dulu waktu aku sering bantuin kamu ngerjain tugas, gak pernah aku dianggap teman.”
Setelah dari spa, Indah membawanya ke butik dan membeli pakaian-pakaian cantik untuk mereka berdua. Ini termasuk juga dengan sepatu dan aksesorinya. Maya tidak bisa berkelit dan hanya berhasil menolak saat Indah akan membelikannya tas berlabel merk ternama.
“Ini terlalu berlebihan, Ndah,” kata Maya tidak nyaman.
“Berlebihan apanya? Ini sudah satu paket untuk menjadi fashionita, hei!” tegur Indah.
“Tidak. Aku merasa tidak enak hati. Sudah terlalu banyak yang aku terima dan sudah terlalu banyak membuang uang. Rasanya seperti kamu membeliku untuk menjadi temanmu,” cetus Maya sambil melipat tangannya. Indah berdehem canggung.
“Ya sudahlah kalau kamu tidak mau. Sekarang kita makan, kamu pasti sudah lapar, kan?” rayu Indah berubah manis kembali. Maya menyerah dan mengangguk.
Dua wanita cantik dalam balutan fashion mahal keluar dari butik ternama menuju ke Mini Cooper yang diparkir di dekat sana. Maya memang telah memakai langsung pakaian dan aksesori yang dibelikan Indah.
“Ini karena aku akan membawamu makan di restoran mahal,” bisik Indah dengan raut wajah bangga memamerkan gaya hidupnya. Dan memang terbukti, bagaimana Maya berkali-kali tercengang setelah nyaris seharian dengannya.
Oh, bahkan belum melewati satu hari karena sekarang mereka akan berangkat makan siang, walau sedikit terlambat.
Restoran yang didatangi Indah bersama Maya ternyata berada di hotel yang sama ketika Indah membawa Maya dua hari sebelumnya. Sama seperti lobi. Restoran ini memiliki langit-langit tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal yang berkilauan, memancarkan cahaya lembut yang berkerlip indah selaksa yang digantung di sana adalah butiran permata. Dinding-dindingnya dilapisi dengan panel kayu mahoni yang dipernis mengkilap.
Di tengah ruangan, terdapat meja-meja bundar yang ditutupi dengan taplak sutra putih bersih, dihiasi dengan rangkaian bunga segar yang indah. Setiap meja dilengkapi dengan peralatan makan perak yang berkilau dan gelas kristal yang tertata rapi. Kursi-kursi berlapis beludru dengan sandaran tinggi menambah kesan mewah dan nyaman.
Maya menelan ludahnya sendiri. Ia berusaha mengingat-ingat aturan makan di restoran seperti ini. Sesuatu seperti gunakan alat makan dari sisi luar?
Maya bertekad akan makan perlahan dan mencontoh Indah saja.
Maya melihat di sudut ruangan, terdapat sebuah grand piano hitam mengeluarkan alunan musik klasik yang lembut, dimainkan oleh seorang pianis berbakat. Suara musik tersebut berpadu harmonis dengan suara gemericik air dari air mancur kecil yang terletak di dekat pintu masuk. Namun, tidak membuat Maya merasakan tenang ataupun damai saat pikirannya berusaha menggali etiket makan di tempat mewah.
Seolah belum puas menggoda Maya, pelayan-pelayan berpakaian rapi dengan seragam hitam putih bergerak dengan anggun di antara meja-meja, menyajikan hidangan dengan penuh kehati-hatian. Saat melewati meja yang telah dihuni, Maya melihat setiap hidangan disajikan dengan presentasi yang artistik, seperti sebuah karya seni. Bukan untuk disantap.
Maya mengeluh dalam hati. Akan banyak aturan saat makan, lebih asyik makan di restoran biasa. Namun, aroma makanan lezat yang memenuhi udara, menggugah selera Maya. Membuatnya menutup mulut dan menurut pada langkah Indah.
“Silakan, Nona Indah, Nona Maya.” Pelayan yang mengantarkan mereka, mempersilakan untuk duduk di sudut yang terlihat sangat pribadi. Maya heran karena sepertinya pelayan tersebut mengenal dirinya dan Indah. Padahal tadi mereka hanya masuk-masuk saja tidak ada pendataan nama.
Maya duduk di satu meja bersama Indah, sesuai yang ditunjuk pelayan tersebut. Ia merasakan fasilitas yang tak pernah ia bayangkan akan pernah menghampiri hidupnya. Namun, pelayan tersebut malah meninggalkan mereka begitu saja.
“Dia tidak menunggu kita memesan?” tanya Maya heran. Ia menoleh ke sana kemari. Mungkin restoran ini bertema prasmanan?
Saat mengedarkan pandangan itulah, Maya menangkap dua orang pria dengan postur tubuh menawan dan berpenampilan luar biasa dengan setelan mahal mereka. Tinggi mereka setara, dan memiliki wajah bergaris keras yang sama-sama dingin. Satu pria dengan mata yang dalam, bekas cukuran di wajahnya memberikan kesan maskulin dan sedikit misterius. Sedangkan satu lagi, memiliki mata yang sedikit ramah dan wajah bersih laksana kulit bayi. Maya terpesona menatap mereka saat tiba-tiba Indah berdiri dan berkata.
“Tuan Andrew, di sini.”