Pustaka
Bahasa Indonesia

Satu Miliar Saja

146.0K · Tamat
Lara Aksara
82
Bab
723
View
9.0
Rating

Ringkasan

Warning! Mature Content 21+ perlu kebijakan dan kecerdasan emosi untuk memahami karya ini. “Kenapa Anda melakukan ini, Tuan? Saya pikir Anda hanya ingin membantu saya,” ujar Maya pelan. “Membantumu? Tidak, Nona Maya. Aku menggantimu dengan nilai. Dan sekarang, kamu milikku.” Suara Andrew yang datar dan dingin serasa mencekik Maya. “Aku bukan barang, Tuan Andrew. Aku manusia.” “Kamu benar, Nona Maya. Tapi dalam dunia ini, semua orang punya harga. Dan aku sudah membayar mahal untukmu.” “Apa yang kamu inginkan dariku?” “Kebenaran. Dan mungkin, sesuatu yang lebih.” Maya Suharyo, gadis jelita berusia 22 tahun, hidupnya berubah drastis ketika ayahnya terjerat hutang besar. Demi membantu ayahnya, Maya rela melakukan apa saja. Namun, kepercayaannya dikhianati oleh seseorang yang dia anggap teman, dan dia diserahkan kepada pria misterius bernama Andrew Collins. Andrew Collins, seorang pria dengan masa lalu kelam dan kekayaan yang tak terhitung, mendapatkan Maya bukan hanya untuk membayar hutang ayahnya, tetapi juga untuk alasan yang lebih dalam dan gelap. Di balik sikap dinginnya, Andrew menyimpan rahasia yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan Maya.

RomansaBillionaireDewasaOne-night StandMemanjakanMetropolitanPresdir

Bab 1 Satu Keputusan Merubah Segalanya

“Satu miliar saja? Saja?”

Suara Maya meninggi sekaligus bergetar saat mengulang angka yang baru saja disebutkan Suharyo—ayahnya.

"Ayah meminjam lima ratus juta dengan menggadaikan rumah kita lalu terlambat membayar, sekarang bunganya sudah tertunggak menjadi satu miliar?" Ulangnya seolah telinganya salah mendengar.

Seumur hidup Maya tidak pernah melihat uang sejumlah itu. Kini tiba-tiba jumlah itu datang cuma sebagai momok untuk keluarganya?

Maya menatap tak percaya kepada ayah dan ibunya. Dewi, sang ibu, menutup mulutnya mendapati kenyataan bahwa hutang sang suami, yang ia setujui awalnya telah membengkak sebesar itu.

Melihat ekspresi ibunya sudah cukup membuat Maya tahu, kalau ibunya menyetujui perbuatan sang ayah akan tetapi tidak menyangka kerugian menghampiri keluarga mereka sedemikian hebat.

“Kita cuma punya waktu dua minggu untuk menyelesaikan deadline, cicilan terendah. Atau ....” Suharyo seperti butuh tenaga ekstra untuk mengeluarkan kalimat selanjutnya. "Rumah ini akan disita bank.”

“Apa?!” Wajah Maya memucat dengan cepat. Matanya bergerak panik ke arah adik satu-satunya yang bersimpuh di lantai dan hanya bisa menatap bingung ke arah kedua orang tuanya.

Dewi telah menutup wajahnya dan mulai menangis sedih dengan ditatap Maya. Ia dapat merasakan hati ibunya. Dunia mereka seolah-olah terasa runtuh ketika mengetahui harta satu-satunya hasil tabungan selama bertahun-tahun akan di sita oleh bank.

“Lalu kita akan tinggal di mana, Yah? Ke rumah Mbah Putri? Sekolah Revan gimana? Pindah juga?” Bungsu keluarga Suharyo, memikirkan satu-satunya dampak terbesar baginya adalah putus sekolah atau mendadak pindah yang berarti ia akan kehilangan sahabat-sahabatnya.

Sejauh yang Maya tahu, ayahnya memang tergiur investasi yang menjanjikan hasil besar. Ternyata hanyalah sebuah investasi yang dijalankan sekelompok orang dengan memanfaatkan skema ponzi. Ayahnya, pekerja kantoran biasa mencoba mempertaruhkan keberuntungan malah ditipu besar-besaran.

Investasi bodong yang diikuti oleh ayahnya ini mulai runtuh ketika semakin banyak investor yang menarik dana mereka karena krisis keuangan yang disebabkan merebaknya epidemik Covid-19.

Broker tidak dapat memenuhi permintaan penarikan dana, dan skema Ponzi-nya terungkap. Armando Hardiyanto—broker yang merugikan Suharyo—ditangkap dan kemudian dihukum penjara atas penipuan investasi. Ribuan investor kehilangan seluruh tabungan mereka, dengan total kerugian diperkirakan mencapai puluhan miliar.

Banyak korban mengalami tekanan emosional yang berat, termasuk beberapa yang mengalami depresi dan bahkan bunuh diri. Reputasi lembaga keuangan dan individu yang terlibat dalam skema ini hancur.

Termasuk Suharyo.

Maya mengira ayahnya telah melakukan tindakan antisipasi saat masalah investasinya mulai timbul. Terus terang kala itu Maya sedang berkonsentrasi pada ujian semester dan sedikit mengabaikan masalah yang dihadapi Suharyo. Maya berpikir ayahnya cukup paham sistem kerja investasi. Ternyata semua tidak sesuai seperti yang ia bayangkan.

“Kita harus apa supaya rumah tidak disita?” tanyanya dengan gigi mengatup.

“Ya dibayar utangnya, May,” tangis Dewi. Tak pernah tersirat dalam pikirannya akan terusir dari rumah mereka sendiri.

“Ibu, kita punya tabungan berapa?” tanya Maya pada ibunya yang terisak dengan napas sesak.

“I-tu uang bu-at kuliah Revan,” jawab Dewi terisak-isak. Maya menatap sedih ke arah adiknya yang balas menatap dengan mata kosong.

“Revan coba mundurin jadwal deh. Lulus SMA gak usah kuliah dulu, nyari kerja sambil nyari-nyari beasiswa kuliah,” kata adiknya dengan suara pelan. Revan merasa ikut terbebani karena kakak satu-satunya telah mengalah dengan mencari sendiri biaya kuliah lewat beasiswa yang ditawarkan lembaga pemerintah, menutup sisanya dengan kerja paruh waktu. Semua dilakukan Maya agar adiknya bisa kuliah tanpa kesulitan biaya.

Sekarang semua terancam hancur lebur karena kecerobohan Suharyo.

Maya melirik marah ke arah Suharyo. Ayahnya itu duduk bersandar sambil melipat lengan, kedua kelopak matanya memejam. Sungguh Maya kecewa padanya. Bisa saja ayahnya bersikap seperti itu karena malu menatap keluarga yang dikecewakannya.

“Ayah!” tegurnya jengkel. Suharyo membuka mata tetapi menolak melihat ke arah keluarga yang telah dikecewakannya.

“Ayah tidak bisa melakukan pinjaman lain karena nama ayah dan ibu sudah diblokir oleh perbankan. Tidak ada cara lain. Besok kita mulai menginventaris barang berharga yang bisa dijual. Lalu kita gabungkan dengan tabungan darurat kita,” kata Suharyo pelan, terdengar beban berat di hatinya.

“Dan kalau masih tidak cukup?” tanya Maya dengan suara kering.

“Sudah. Besok kita pikir lagi,” sahutnya pendek.

Suharyo berdiri dan masuk ke dalam kamar tidurnya. Dewi tidak tinggal diam, segera mengejar sang suami lalu menutup pintu di belakangnya. Rahasia yang ia sembunyikan bersama Suharyo di depan anak-anak mereka, membuatnya malu menghadapi anak-anaknya sendiri.

Maya masih berdiri di ruang keluarga mereka yang sempit. Revan, masih duduk termangu di lantai.

“Tidur sana, besok kamu sekolah,” kata Maya lembut. Ia hanya memiliki satu saudara yang ia sayangi sepenuh jiwa. Dan Revan pun sama. Sangat sayang dan memuja kakak satu-satunya.

“Trus, kita gimana kalo beneran diusir, Mbak?” tanya Revan kelu. Ia tidak beranjak dari duduknya dan menengadah ke arah Maya. Tinggi Maya hanya 165 sentimeter, maka Revan yang memiliki tinggi 175 sentimeter memilih tetap bersimpuh sebagai bagian dari kesopanan.

Maya mengembuskan napas. Ia sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Hidup keluarganya selama ini masih kurang dari kata berkecukupan. Mereka tidak miskin, tetapi juga bukan tipe keluarga yang bisa bergaya mewah. Sebatas cukup dan sesekali berhemat.

Maya dan Revan tidak pernah mendapatkan keinginan mereka secara seketika. Harus ada usaha yang dilakukan saat mereka menginginkan sesuatu. Entah menabung atau bekerja paruh waktu.

Kini, saat dihadapkan bahwa panutan utama, teladan mereka, malah memiliki sejumlah hutang besar di bank sehingga berpotensi menggusur mereka dari rumah, Maya pun kelu, tak sanggup menjawab pertanyaan adiknya.

“Istirahat dulu. Kita pikir lagi besok. Mau dipaksa mikir sekarang sampai kepala meletus pun, gak akan ketemu jalan keluarnya,” dengus Maya kesal. Ia berbalik arah dan masuk ke kamarnya sendiri.

Maya bisa merasakan Revan yang mengerang lalu berdiri masygul dan mengikuti langkah sang kakak. Masuk ke kamarnya yang berada di sebelah kamar Maya. Berseberangan dengan kamar kedua orang tua mereka.

“Matiin lampu! Kamu yang trakhir di ruang tengah!” teriak Maya dari dalam kamar tidurnya membuat Revan terbirit keluar lagi dari kamar dan mematikan lampu ruang tengah.

Sehemat itulah mereka.

Maya mengembuskan napasnya lagi saat berada di dalam kamar tidurnya. Matanya mengedar menatap kamarnya yang mungil tetapi telah menjadi tempat ternyaman selama bertahun-tahun.

Ia memenuhi kamarnya dengan sentuhan pribadi yang membuat terasa nyaman dan hangat. Dindingnya walau kusam tetapi Maya menghiasnya dengan poster-poster band favoritnya. Di sudut kamar, ada meja belajar yang rapi dengan tumpukan buku dan lampu baca yang selalu menemani malam-malam belajarnya. Tempat tidurnya yang sederhana tetapi nyaman, dengan selimut berwarna cerah, hadiah neneknya yang tinggal di Yogya. Saat Maya berdiri di tengah kamarnya, hatinya terasa berat. Ia menyadari bahwa kenangan dan rasa aman akan hilang jika rumah mereka disita bank. Perasaan cemas dan takut menyelimuti dirinya.

Hatinya sakit bukan main. Ia bahkan mengalah pada Revan dan mencari penghasilan sendiri untuk biaya kuliah di samping bea siswa yang ia dapatkan dari usahanya bertahun-tahun mengikuti segala penilaian untuk mendapatkannya selama SMA.

Kini, Maya yang berada di semester tujuh dan sedang mempersiapkan skripsi di bidang manajemen bisnis masih harus dibebani masalah keluarga seperti ini.

Jika boleh, ingin rasanya Maya cuek saja. Tetapi mana tega ia membuat ibu dan adik semata wayangnya memikirkan masalah ini tanpa ia turut membantu.

Keesokan harinya, suasana pagi di rumah Maya masih berlangsung seperti biasa. Dewi tetap bangun paling awal dan menyiapkan sarapan sekaligus bekal untuk suami dan kedua anaknya.

Maya perhatikan, yang berbeda adalah mata sembab ibunya dan wajah murung ayahnya. Jangan berharap lebih pada Revan. Remaja tanggung itu belum terlalu mengambil berat masalah keluarga karena ia punya tiga orang yang memikirkan jalan keluar masalah mereka.

Tekanan baru mereka rasakan dua hari pasca Suharyo menceritakan beban masalahnya. Rumah mereka didatangi oleh debt collector beberapa kali. Jika hanya ada Dewi di rumah yang menemui para debt collector, Maya bisa melihat ketika ia pulang, kening ibunya akan berhias koyo tempel dan wajah ibunya menjadi lebih tua beberapa tahun.

Itu berarti Dewi baru saja ditekan oleh segerombolan debt collector.

Keesokan harinya, Maya sedang tidak ada jadwal kuliah. Ia membantu sang ibu yang mencari rezeki dengan berjualan makanan. Sementara Dewi di dapur, Maya duduk bersimpuh di ruang tengah untuk memasukkan jajanan buatan ibunya ke dalam plastik-plastik kemasan.

Terdengar ketukan di pintu dan Maya spontan berdiri untuk membukakan. Dewi melongok dari dapur dengan wajah kalut lalu mencoba meneriaki Maya.

“Maya, jangan!” Sia-sia saja Dewi mencegah karena Maya sudah membuka pintu.

Seketika daun pintu digebrak keras sampai Maya terloncat kebelakang. Sesudahnya daun pintu didorong hingga menghantam dinding di sampingnya dengan suara keras. Maya melompat mundur tetapi menahan mulutnya dari teriakan. Dewi segera berlari dari dapur ke ruang tamu untuk memeluk Maya dan melindunginya.

Empat orang pria berperawakan tinggi besar dan rambut awut-awutan memasuki ruang tamu mereka dengan pongah. Mata keempatnya seperti memiliki sinar laser yang bisa melubangi apapun yang dipandang olehnya.

“Bu Dewi, selamat siang, lhoo. Gimana, bisa bayar hari ini?”

Di belakang empat orang tersebut muncul pria perlente kurus kering pucat seperti vampir yang kurang makan. Kata-kata ramah ia ucapkan dengan senyum manis. Tetapi kehadiran empat orang centengnya tidak bisa membuat Maya tenang.

“Ma-masih kita usahakan, Pak Charli. Kan Bapak baru kemarin ke sini,” kata Dewi terbata.

Prang!

Maya dan Dewi memekik saat satu vas bunga mereka terbanting dengan suara keras dan pecah berkeping-keping. Dewi makin erat memeluk puterinya.

“Jamal, Jamal. Sabaar ...,” kata pria yang dipanggil Charli oleh Dewi. Dia bicara seperti itu tetapi matanya geli dan sadis saat menatap Dewi.

“Janji melulu dari kemaren! Kita udah bosan dateng ke sini, ya! Utang lu udah makin numpuk!” bentak Jamal dengan raut muka murka.

“Siapa suruh lo dateng kemari tiap hari?! Lo pikir kita bakal lari? Kita udah dikasih waktu sampai seminggu, ngapain lo bolak balik?!” balas Maya berteriak dari balik tubuh ibunya. Dewi yang panik berusaha mendiamkan sang puteri.

“Kalo kere jangan sok hutang duit gede, tolol!” Pria berikutnya membentak dan memaki. Maya menatap nanar kepada semuanya. Tubuhnya gemetar karena marah sebab dia merasa orang-orang ini keterlaluan.

“Gue emang gak punya banyak, tetapi gue gak bakal tunduk sama preman kayak elo! Lo gak punya hak buat sentuh barang-barang di rumah gue!” raung Maya murka.

Salah satu centeng segera mendekat dengan wajah mengintimidasi, “Berani lu ngomong kayak gitu? Cewek secuil kayak elu cuma bisa ngomong besar. Kalau sampe minggu depan elu kagak bayar, rumah lu gua ambil termasuk harga diri lu, brengsek!”

“Coba aja. Gue tau hak gue dan lo gak bisa main rampas kayak perampok jalanan!” desis Maya maju melawan ibunya yang memeluk badan kurusnya.

“Sabar, sabaar ....” Charli kembali bicara tetapi tampangnya munafik. Sepertinya pria itu menyadari kalau kalimat Maya benar adanya dan tidak ingin anak buahnya dipermalukan lebih jauh.

Pria kurus itu mendekati Dewi. “Bu Dewi, kesabaran kami cuma sampai minggu depan, lho. Kalo memang gak bisa bayar, jual apa gitu. Jual anak ibu yang cantik ini juga laku mahal keknya,” kata Charli dengan muka menyebalkan dan mata memindai Maya dengan tatapan paling menjijikan.

Maya gemetar dan ingin menampar muka pria mirip vampir itu tetapi Dewi menahan dengan pelukannya.

“Ka-kami usahakan secepatnya, Pak.”

Kembali salah seorang centeng menendang kursi hingga terbang ke sebelah ruangan dan jatuh dengan suara keras.

Akhirnya pria perlente itu membawa empat centeng pria keluar sambil menatap marah pada Maya dan Dewi.

Siksaan tidak berhenti di sana, karena Maya mendengar salah seorang debt collector itu berkoar di luar yang ia perkirakan kepada tetangga yang kepo dengan keributan di dalam rumahnya. Maya merasakan sesak di dada. Ia bisa memperkirakan betapa ayah dan ibunya akan digunjing oleh tetangga kanan dan kiri.

Hari-hari berlalu, satu persatu barang berharga di rumah Maya mulai menghilang. Dimulai dari televisi, set pengeras suara, hingga yang paling mencolok. Sepeda motor Suharyo pun ikut lenyap terbawa oleh penagih hutang.

Dari situ, Dewi mulai lebih sering uring-uringan hingga akhirnya jatuh sakit.

Malam hari, di hari kedelapan Suharyo membawa kabar buruk keluarganya. Maya menghempaskan diri ke atas tempat tidur. Matanya nyalang tak mampu terpejam meski tubuhnya lelah. Hari ini ia bekerja sebagai SPG mobil yang bertugas membagi-bagikan brosur kepada pengunjung.

Jangan ditanya bagaimana rasa kakinya setelah berdiri terus menerus selama enam jam lebih. Belum lagi rasa hatinya karena berkali-kali digoda lelaki hidung belang.

Tiba-tiba pikiran Maya menyeretnya ke arah sana. Ia terngiang kalimat salah satu pengunjung yang merupakan om-om setengah tua tetapi sok tampil muda. Tidak bisa dihujat karena semua yang menempel padanya adalah barang-barang mewah.

“Kamu cantik. Kenapa kerja begini. Ikut om saja. Gak bakalan capek.” Itu rayuan yang dilancarkan oleh om-om tadi. Dan ia menolak dengan halus.

Maya memang gadis baik-baik. Ia menjaga dirinya bagaikan permata termahal di dunia. Ia tidak tertarik berpacaran karena sibuk menyelesaikan sekolah secepat dan sebaik mungkin. Masa yang ia habiskan untuk kuliah dan pekerjaan paruh waktu membuatnya tidak ingin memiliki kekasih.

“Bagaimana kalau aku menjual ‘Permata’ ini? Laku satu miliar kah?” Pikiran sesat menguasai Maya. Satu kali kerja, dibayar dan masalah keluarganya selesai. Maya mengelengkan kepala berusaha menghapus pikiran bodoh itu.

“Daripada begitu, mendingan cari cara lain! Aku gak seputus asa itu sampai harus jual diri!” Gegas ia bangun dan meraih ponsel lamanya yang tergeletak di meja samping. Maya mulai mengetik satu nama di sana. Indah Ayu Larasati.

Salah satu kawan wanita yang ia kenal bekerja sampingan terselubung. Ia menjadi simpanan pria kaya. Selama ini Indah tak kurang pernah menawarkan padanya saat Maya mengeluh tentang biaya kuliah yang tidak ditanggung beasiswa. Tetapi Maya bersikukuh bekerja secara baik-baik meski itu berarti harus menyiksa badannya dengan kelelahan untuk gaji yang tak seberapa.

Kini, ia merasa mungkin Indah bisa memberikan jalan keluar. Wanita itu bergelimang harta hasil pekerjaan mudah yang dilakukannya sejak Sekolah Menengah Atas. Maya pernah dipameri tabungan Indah. Kala itu ia tidak terlalu memperhatikan. Tetapi setelah diingat-ingat sekarang, rasanya nol di belakang ada sembilan.

Selama ini Indah juga sering memanfaatkan kecerdasannya untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang tidak sempat Indah kerjakan karena wanita itu harus menemani gadunnya. Sekarang saatnya dia yang meminta bantuan, Maya nyaris yakin Indah tidak akan menolak.