Bab 2 Pria Misterius
Maya memberanikan diri untuk meminjam uang kepada Indah saja. Ia berharap dengan ini, ia bisa menyelesaikan masalah. Hutang pada teman sendiri, setidaknya Indah tidak akan memberlakukan bunga, bukan?
Dengan demikian, tabungan keluarganya pun akan tetap aman. Revan bisa tetap kuliah sesuai jadwal seharusnya. Rumah mereka pun terselamatkan, tidak disita oleh bank.
Meneguhkan niat, ia mencoba mengetik pesan pada ponselnya. Tetapi ponsel tua itu sulit sekali menuliskan beberapa huruf, membuat jawaban chat dari Indah jadi melenceng dan aneh pula.
[Haduuh, telepon aja deh! Keypadmu itu sudah parah!] omel Indah melalui ketikan.
[Engk puny@ pwls4. In! p@k3 p@k3t s0cm3d cvmq bis4 ch@+] balasan ketikan Maya.
[Haduh! Butuh otak cerdas buat baca ketikanmu, dasar fakir!] ketik Indah lagi. Namun, meskipun menghina sedemikian rupa, Indah juga yang akhirnya menelepon Maya kemudian.
“Apa?!” tanyanya ketus.
“Ndah, kamu kan wanita indepent berduit, nih. Aku sangat membutuhkan bantuan. Boleh berharap darimu tidak?” Maya berupaya memuja Indah setinggi langit agar merasa tersanjung. dengan demikian ia akan mendapatkan apa yang ia mau.
“Hm. Apa?” Walaupun menjawab dengan judes, dengusan Indah menunjukkan kalau pancingan Maya berhasil. Wanita itu terdengar bangga dengan pencapaiannya sehingga Maya datang menghiba padanya.
“Aku ... boleh pinjam uang? Jumlahnya cukup fantastis untukku. Tetapi aku yakin, buatmu hanya seperti debu ditiup angin,” rayu Maya semanis madu.
“Berapa?” dengkus Indah terdengar kalau ia besar kepala.
“Satu miliar saja.”
Hening sesaat.
“Buseet! Itu gede, Cing!” seru Indah. Maya sampai mengerutkan satu matanya hingga tertutup karena suara cempreng Indah menusuk gendang telinganya.
“Tidak ada lagi orang lain yang aku kenal, memiliki kekayaan sepertimu, Ndah. Kamu wanita paling kaya yang aku tahu,” ujar Maya memelas sekaligus melambungkan Indah ke langit ketujuh.
“Ya, iyasih. Temenmu memang kere semua. Tahu gak si Santi anak fiskom, hadeeh ... masa mau beli jam aja nyari diskon sampe ke nenek moyang!”
“Ndah. Please. Masalahku?” potong Maya sebelum Indah ngalor ngidul ke mana-mana.
“Oiya! Emang kamu duit segitu banyak buat apaan, sih? Oplas?!” tuduh Indah semena-mena.
“Ngapain aku oplas?” gelak Maya mentertawakan statemen konyol Indah.
“Ya, siapa tahu. Supaya secantik aku?” tukas Indah. Maya segera berdehem untuk menghentikan tawanya. Untuk saat ini ia harus merendah, tidak boleh menyinggung ego Indah.
Karena sejatinya kalimat Indah itu tidak benar. Siapapun yang pernah melihat mereka akan bilang, Maya jauh lebih cantik dari Indah. Hanya saja kalah fashion!
“Aku butuh uang itu untuk menutup hutang ayahku, Ndah. Kalau tidak dibayar akhir minggu depan, rumah kami akan disita,” keluh Maya bernada sedih.
“Buseet ... biasanya nih, yang ada ya, anak polah bapak kepradah. Napa sekarang jadi tebalik?” Indah tertawa terbahak-bahak sesudahnya. Maya merasakan sakit di hati mendengar ayahnya direndahkan sedemikian rupa oleh Indah. Walaupun dia marah dengan kelakuan sang ayah, tetapi tetap saja. Ia menyayangi dan menghormati lelaki tua itu.
“Please, Ndah. Jangan rendahkan ayahku,” pintanya. Indah seketika berhenti tertawa.
“Oke, deh. Sori. Tetapi, gimana caranya kamu balikin ke aku, nih? Kamu kan fakir banget,” cibir Indah.
“Ayah masih bekerja, Ibu juga punya penghasilan dari warungnya. Aku akan ajak Revan kerja paruh waktu juga. Kami akan berusaha cicil setiap bulan?” tutur Maya meski sedikit terdengar ragu.
“Alamak! Sampai kapan, Cing? Sampai kita sama-sama tua dan rambut telah memutih?” gelak Indah tak habis-habis.
“Please, Ndah. Aku gak tau lagi mesti minta tolong sama siapa. Cuma kamu satu-satunya harapanku. Lagipula selama ini aku juga selalu membantumu, ‘kan,” kata Maya memelas sekaligus mengungkit jasa-jasanya.
Indah tidak segera menjawab. Maya mengerti, Indah perlu diberi waktu untuk berpikir. Bagaimanapun uang itu sangat besar. Tetapi Maya sungguh tidak memiliki teman lain yang sekaya dan seroyal Indah dari hasil kerja mudahnya.
“Jual diri aja!” Mendadak Indah menukas dengan tidak sabar. Maya sudah menduga kalimat ini, maka ia sudah menyiapkan jawabannya.
“Itu yang sedang aku hindari sebisa mungkin,” ucap Maya di antara giginya yang mengatup.
“Kenapa, sih. Ngejaga banget! Kamu masih ‘segelan’ ya? Kamu maunya mempersembahkan ‘mawar’mu hanya untuk suami? Halah! Kuno! Lakik sekarang juga pada gak perjaka!”
Ingin rasanya Maya marah. Tetapi, Maya tahu. Indah adalah tipe wanita yang butuh disanjung, bukan didebat secara frontal. Maka Maya menurunkan suara dan kembali memperdengarkan kegalauan.
“Kupikir, kamu adalah teman yang paling ngertiin aku. Makanya aku sering bantuin mengerjakan tugas bahkan mengisi absenmu,” katanya seperti menyesali sebuah kesalahpahaman.
“Udah, deh. Gak usah ungkit-ungkit kebaikanmu!” desis Indah.
“Bukan mengungkit kebaikanku, aku tulus membantu karena aku anggap kamu karib terdekatku, Ndah.”
“Halah! Makin ngaco! Sudah, ah. Ntar kita bahas lagi. Kamu ikut aku dulu, deh. Aku butuh temen!” tukas Indah. Melihat hal itu sebagai kesempatan untuk meruntuhkan hati Indah lagi, Maya memeriksa jadwalnya. Mencoba untuk menyesuaikan.
“Kapan?” tanya Maya.
“Besok.”
“Sepulang dari kampus, bisa. Tetapi sebelum jam empat, aku sudah harus balik ya, Ndah,” katanya kemudian setelah memeriksa jadwalnya sendiri. Ia sudah memberikan nada memohon berharap Indah mengerti posisinya.
“Duh, yang sok sibuk. Iya, iya. Aku cuma butuh sebentar kok!” tukas Indah.
"Oke.” Lega mendapati keberuntungannya, dengan cepat Maya menyanggupi. Bila bertatap muka langsung, Indah mungkin akan lebih cepat luluh.
Esoknya, sepulang kuliah Maya bertemu dengan Indah di kantin kampus. Wanita itu begitu cantik dengan gaun berlabel merk ternama membungkus tubuh langsingnya. Rambutnya yang panjang terurai, berkilau dan menyebar aroma harum yang mahal. Tak ketinggalan, sebuah kacamata hitam dengan logo brand internasional tersemat menutup matanya.
“Ayo! Aku mau ketemu sama Tuan Andrew sebentar saja,” katanya cepat. Tak memberi Maya waktu untuk sekedar minum, Indah segera meraih tangan Maya dan membawanya berjalan bersama.
“Tuan Andrew,” gelak Maya. “Dari era kekaisaran mana? Romawi, Bizantium, Inggris?” ledeknya kemudian.
“Jangan meledek! Dia orang paling kaya sekaligus paling sibuk, gak punya banyak waktu dan sangat sulit ditemui oleh sembarang orang. Aku bisa karena aku salah satu yang pernah dekat sama dia,” jawab Indah. Sekaligus menjawab mengapa dia menyeret-nyeret Maya seperti ini.
“Hah? Dia gadunmu?” tanya Maya sambil terseret karena ditarik Indah.
“Mantan Sugar Daddy! Sudah, diem!” Wanita cantik di depannya yang menguarkan aroma harum itu mendorong Maya untuk masuk ke dalam Mini Cooper berwarna perpaduan biru dan putih di bagian atapnya. Maya bersiul melihat mobil mewah Indah.
“Daripada kamu hutang-hutang, mending kamu cari orang kayak Tuan Andrew. Kalau kamu mau mengikuti semua perintahnya. Kamu juga bakalan dapat duit dengan mudah!” kata Indah manis saat mobilnya sudah meluncur dalam derum halus di jalanan ibukota.
“Maksudmu jadi peliharaannya? Tidak ah! Aku mau pinjem Nona Indah yang cantik dan harum mewangi sepanjang hari ini!” tukas Maya. Indah tertawa geli mendengar kalimat Maya.
“Baiklah wanita sok suci,” gelaknya mencibir ke arah Maya yang mengerutkan kening.
Indah membawa mobilnya memasuki halaman SweetBells Hotel, sebuah hotel mewah yang tidak pernah Maya pikir akan ia singgahi. Gadis itu menunduk menatap pakaiannya. Celana jeans lusuh yang ia padukan dengan sepatu Converse palsu dan kemeja longgar berlengan panjang warna putih.
Entah mengapa Maya merasa gugup dan mulai menyisir rambutnya untuk mendapat penampilan lebih baik. Akhirnya ia memutuskan untuk mengikat menjadi ekor kuda di belakang kepala, mengkamuflase rambut panjangnya yang sedang tidak sedap dipandang agar kelihatan lebih rapi.
Indah mendengus, “Tenang saja, yang mau ketemu Tuan Andrew kan aku!”
“Eh, iyaya. Aku nunggu di mobil saja ya, Ndah?” tanya Maya polos.
“Konyol! Masuk lah. Tunggu di lobi aja,”
Indah menghentikan mobilnya di depan lobi dan meninggalkan kuncinya begitu saja di dalam mobil. Maya terbirit mengikuti Indah turun dengan sejuta perasaan yang terpancar di wajahnya.
“Ndah, mobilnya?”
“Jangan norak, May. Ada yang parkirin. Makanya toh, jangan miskin-miskin amat!”
Maya tidak miskin-miskin amat. Ia juga pernah menginap di hotel bersama keluarganya, walaupun bukan hotel yang megah begini. Tetapi Maya memang tidak pernah memiliki mobil, jadi tidak tahu fungsi petugas valet.
Ia tidak mungkin mendebat Indah, jadi Maya diam saja dan mengikuti langkah temannya itu.
“Tunggu di sini. Aku akan menemui Tuan Andrew di kamarnya. Berdoalah agar misiku sukses. Kalau aku dapat duit dari dia, nanti kupinjamkan ke kamu,” bisik Indah.
“Tunggu, tunggu. Kenapa minta uang dia, Ndah? Aku maunya pinjam sama kamu, gak berani kalau sama orang lain,” kata Maya panik. Ia sampai menangkap lengan Indah dan meminta temannya itu untuk berhenti melangkah.
“Tenang saja. Tuan Andrew duitnya banyak. Gak habis dimakan tujuh turunan delapan tanjakan sembilan belokan! Dan nantinya kubilang aku yang butuh. Emang aku bego apa! Udah, kamu diem disini!”
Indah mengibaskan lengannya lalu berjalan meninggalkan Maya di lobi sendirian. Maya jadi gugup. Untuk mengalihkan perhatian, ia mengedarkan pandangan ke sekitar lobi hotel yang megah.
Semakin lama, matanya terbelalak melihat kemewahan yang belum pernah ia saksikan sebelumnya. Lantai marmer yang mengilap memantulkan cahaya lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit tinggi, kilauannya mampu menghipnotis karena artistiknya.
Sofa-sofa empuk berlapis kain sutra berwarna emas dan merah marun tersusun rapi, mengodanya untuk duduk dan sekedar mencicipi aura kekayaan. Aroma bunga segar yang tertata rapi dan mempesona di vas-vas besar memenuhi udara di sekitar Maya.
Ia merasa seperti masuk ke dunia lain, jauh dari kehidupannya yang sederhana. Setiap sudut ruangan ini memamerkan kemewahan, membuatnya merasa teralihkan dari rasa gelisah sekaligus menenangkan debar jantungnya yang tak karuan memikirkan Indah sedang berusaha mendapatkan uang tunai dengan nilai tak biasa untuknya.
Rasanya lama sekali Maya telah menunggu. Ia berkali-kali mengecek jam tangan tipis yang melingkari pergelangan tangannya. Namun, Indah tak kunjung muncul. Merasa sudah puas menikmati keseluruhan ruangan. Maya menyerah memandang sekitarnya, ia mulai mengeluarkan buku catatan dan membaca-baca lagi materi kuliah sebagai pengganti pengalihan perhatian.
Cara itu cukup berhasil, ia bisa menambahkan catatan di sana-sini. Bahkan menemukan materi baru untuk skripsinya.
Sementara di lantai teratas hotel mewah ini, pintu lift yang dinaiki Indah langsung membuka ke sebuah kamar. Di sana telah menunggu seorang pria berpostur tegap, mengenakan setelan mahal berwarna abu-abu gelap sedikit kebiruan. Rambutnya ditata rapi dengan pomade.
Indah melempar senyum termanisnya tetapi pria itu diam saja saat menekan tombol pengunci lift kembali.
“Tuan Andrew di mana?” tanya Indah centil.
“Di kamar tidur.” Michael George Setiawan—sahabat sekaligus tangan kanan Andrew—menjawab dengan kalimat pendek. Indah mencebik pada respon Mike. Ia melangkah masuk ke ruangan lain yang berfungsi sebagai kamar tidur.
Namun, separuh perjalanan menyeberangi ruangan, Indah menghentikan langkah dan kembali berbalik ke arah Mike.
“Bagaimana kondisinya sekarang? Siapa ... maksudku, bagaimana moodnya?” tanya Indah terselip nada khawatir di sana.
Mike yang sedang berjalan menuju bar, seketika berhenti mendengar pertanyaan Indah. Ia berdiri sambil memasukkan satu tangan ke dalam saku, satu alisnya naik diikuti satu sudut bibirnya. “Siapapun bisa saja ada di sana. Kalau kamu takut, kenapa kamu meminta bertemu dengannya?” cemooh Mike.
Indah bergeming. Pikirannya terbelah menjadi dua. Maju atau mundur? Jika mundur, ia tidak akan mendulang keuntungan yang besar. Jika maju, resiko apa yang mungkin ia terima?
“Ah, persetan!” desis Indah pelan dan kembali berbalik kembali menuju ke kamar tidur yang terletak di sudut ruangan. Ia meneguhkan diri ketika pintu kamar itu semakin dekat. Indah tidak perlu mengetuk karena pintunya separuh terbuka.
“Tuan Andrew,” panggilnya bernada manja.
Andrew yang masih mengenakan jubah mandi dan membungkuk untuk meraih jam tangan di atas meja, menoleh ke arah asal suara.
“Cepat katakan kebutuhanmu, aku tidak punya banyak waktu.” Suara bariton Andrew terdengar dalam dan dingin. Ia hanya menoleh sekali ke arah Indah selanjutnya sudah tidak lagi.
“Tuan Andrew ... kok gitu, sih. Kalau sudah bosan selalu deh!”
“Kamu yang memutuskan untuk pindah ke orang lain, bukan aku yang menyuruhmu.” Suara Andrew terdengar tanpa perasaan saat menjawab kalimat Indah.
“Yaa, tapi kan aku begitu karena Tuan Andrew yang duluan mengabaikan aku!” rajuk Indah manja. Andrew mengabaikan wanita itu, ia mengenakan jam tangan sambil berlalu menuju ke closet room.
“Tuan Andreeew ... tunggu, dong. Akh!”
Andrew berbalik dengan cepat karena merasakan Indah membuntutinya. Tangannya yang besar menangkap leher Indah lalu mencengkeramnya, mendorongnya hingga punggung Indah menabrak dinding. Indah kelabakan mencari asupan udara, sesaat matanya sempat memejam kesakitan, lalu membuka dan menjadi sayu karenaberhasrat pada Andrew.
“Sudah aku bilang, aku tidak punya banyak waktu. Katakan maumu atau keluar saja,” kata Andrew dengan tatapan sedingin suaranya. Ia merentangkan lengannya yang kekar selurus mungkin agar Indah tidak bisa menggapainya. Andrew tahu Indah tipe wanita yang makin ‘panas’ jika disakiti. Sekarang, wanita itu hanya bisa mencakar-cakar pergelangan tangan Andrew, karena lelaki itu mencekiknya sangat keras.
“Sa-ya bawa gadis perawan buat Tuan Andrew,” kata Indah di sela upayanya menarik napas. Andrew melepaskan cengkeraman sekaligus meninggalkan Indah. Wanita itu oleng sambil terbatuk, satu tangan menggosok lehernya.
“Kenapa seperhatian itu pada kebutuhanku,” cibir Andrew, menatap rendah ke arah Indah yang tingginya tidak melewati bahu lebarnya. Indah masih terbatuk, tidak bisa menjawab Andrew. “Aku tidak butuh kau untuk mencari wanita, Ndah.”
“Dia-istimewa.” Suara Indah tersekat di kerongkongan. Wanita itu berdehem untuk melancarkan suaranya.
“Tapi Tuan harus membayar saya. Karena wanita yang saya bawa ini spek khusus. Sangat istimewa. Dia tidak pernah disentuh atau menyentuh lelaki,” kata Indah masih bisa terdengar manipulatif meski suaranya sedikit tersekat.
“Dari mana kamu tahu?” tanya Andrew sambil memincingkan mata kejam ke arah Indah.
“Karena dia sahabat saya,” aku Indah. Andrew mendengus lalu memperdengarkan tawa sumbang. Ia kembali berbalik dan masuk ke closet room.
“Temanmu, lingkunganmu, yeah right. Bagaimana aku percaya kalau modelanmu saja begini,” cibir Andrew.
“Beda! Dia beda dari saya. Saya jamin! Masih segel dan masih rapet. Tuan Andrew tidak akan rugi!” Indah mengejar masuk ke ruang closet lalu berhenti mendadak dan segera menjaga jarak dari Andrew.
Daripada dia dicekik lagi. Ia tidak masalah dicekik untuk aktifitas lebih lanjut. Tetapi cekikan Andrew tadi terasa bertujuan melumpuhkan.
“Kamu menjamin?” cibir Andrew lagi.
“Garansi uang kembali jika tidak memuaskan. Plus! Tuan Andrew boleh menghukum saya,” jawab Indah centil.
Andrew menatap dengan sudut matanya, tampak tidak berselera pada Indah. Ia mulai melepas bathrobes untuk mengenakan setelan pakaian yang sudah disiapkan. Andrew melakukan tanpa canggung walau ada Indah di sana. Malah Indah yang blingsatan melihat tubuh terpahat indah milik Andrew bebas tanpa penutup untuk ia pandangi.
“Berapa?” Andrew berbalik sambil mengancingkan kemejanya.
“Dua miliar saja,” kata Indah setelah menelan ludah. Andrew mendengus menghina lalu tersenyum miring ke arah Indah.
“Terlalu mahal,” desisnya. Indah tertawa liar.
“Tuan Andrew baru menjual perusahaan dapet 19 miliar, ‘kan? Dua miliar bukan apa-apa, lah,” gelaknya. Mata Andrew memincing ke arah Indah.
“Kamu masih penasaran dengan kehidupanku, rupanya,” ejek Andrew. Indah berhenti tertawa.
“Tidak. Saya kan baca artikel bisnis internasional juga,” sanggah Indah dengan dagu terangkat.
“Maksudmu, Haris Handono pacarmu sekarang yang membaca artikel bisnis. Bagaimana kabar Cantika istri kedua Haris yang melabrakmu, hm?”
“Tuan Andrew!” rajuk Indah sebal. Andrew mendengus.
“Terlalu mahal, aku tidak butuh wanita referensimu,” desisnya kemudian.
“Ooh, jangan begitu, Tuan. Dia perawanseharga lima miliar! Hanya karena kepada Tuan Andrew saja saya mau menjual dua miliar. Well, kalau Tuan menolak. Ya saya kasih kesempatan ini pada Tuan Thompson sajalah!”
Andrew menaikkan satu alisnya. Thompson Malorney, bangsawan Inggris yang gila dan sedikit kejam. Pria itu tidak akan menolak jika diberitahu jualan Indah kali ini masih bersegel. Andrew memakai dasi sambil memikirkan kalimat Indah.
“Tunjukkan padaku,” perintahnya dengan suara dalam penuh misteri.