

Bab 5 Pecah Perawan
Di sela-sela pikirannya yang berkabut, Maya merasakan kalau dirinya diletakkan di atas tempat tidur. Untuk sesaat, rasa dingin menyentuh punggungnya. Namun, detik selanjutnya bara itu kembali membakar seluruh tubuh Maya.
Maya merasa tubuhnya semakin terbakar. Keringat dingin mengalir di sepanjang punggungnya, setiap kali ia berusaha untuk tenang, rasa panas itu semakin membara. Membuatnya merasa terjebak dalam penyiksaan tak berujung.
“Tidak. Ini panas sekali. Kenapa panas,” ceracau Maya. Ia merasakan kalau pakaian barunya terbuat dari api. Maya merasa harus membebaskan diri dari pakaian api ini.
Ia tidak bisa memikirkan hal lain. Di mana ia berada, sedang siang ataukah sudah sore. Maya kehilangan semua orientasi dan fokusnya hanya bagaimana meredakan panas membara yang melanda tubuhnya ini.
Dengan keluhan tidak jelas dari mulutnya, Maya mulai menarik resleting gaunnya, melucuti dirinya sendiri. Kepalanya benar-benar kosong. Yang ia butuhkan sekarang adalah secepatnya melepas pakaian api. Kini Maya tinggal mengenakan bra dan celana dalam yang tertutup kamisol yang hanya mencapai lututnya.
“Kenapa masih panas,” keluhnya. Kondisinya makin diperburuk dengan kepalanya yang mulai sakit. Maya mengerang di atas tempat tidur, berusaha mencari posisi yang nyaman untuknya.
“Kamu butuh bantuanku, Maya?” Suara bariton menggoda Maya.
Seketika Maya menarik napas seperti menemukan oksigen murni yang bisa menolongnya. Suara berat Andrew dirasa bagaikan air segar yang ia butuhkan untuk memadamkan panas tubuhnya.
Di tengah keputusasaannya, Maya melihat Andrew mendekat. Suara bariton pria itu, yang selalu terdengar mengintimidasi sekarang tampaknya menjadi satu-satunya hal yang memberikan rasa aman.
Tetapi sekaligus, pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di dalam kepalanya yang ribut. Apakah ini gara-gara rasa panas yang dideritanya atau sesuatu yang lain?
“Iya ... tolong, saya butuh bantuan,” keluhnya memelas, kalah pada kebingungan dalam pikirannya.
Maya telah bangkit dari telentang dan sekarang duduk di antara dua pahanya. Maya mengulurkan tangan, memohon kepada Andrew yang masih berdiri tegak di depannya, pria itu telah melepas jas. Menyisakan celana kain dan kemeja yang sama-sama berwarna gelap.
Maya melihat Andrew melepas kancing di pergelangan tangannya dan Maya bersuka cita akan itu. “Tolong, Tuan. Tolong saya,” hibanya.
Maya mengulurkan kedua tangannya berharap Andrew mempercepat tindakan dan segera menolongnya. Tetapi pria itu malah berlama-lama melepas kemeja.
Maya menggeram tidak sabar dan ambruk lagi ke atas tempat tidur, bergerak tak karuan mencari kesejukan.
“Panas sekali, Tuan,” rengeknya mulai meloloskan kamisol dari tubuhnya. Kini Maya hanya dilindungi bra berenda cantik dan celana dalam saja.
Maya berusaha menenangkan dirinya, meski rasa panas itu masih membakar setiap inci tubuhnya. Dia menarik napas dalam-dalam. Namun, justru udara terasa semakin menyesakkan. Di antara kebingungannya, kesadaran yang hilang timbul. Terlalu rumit untuk memahami kenapa dan mengapa dia bisa seperti ini.
“Tenang, Maya. Aku di sini,” suaranya dalam, pelan, tapi tegas. Ada sesuatu di nada bicaranya yang membuat Maya ingin mempercayai setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Maya memandang Andrew dari sudut matanya, hatinya terombang-ambing antara rasa takut dan rasa aman yang tiba-tiba muncul saat pria itu mendekat. Dia tidak pernah mengenal Andrew, apalagi alasan di balik perhatian pria itu padanya. Namun, saat ini, dia hanya ingin percaya bahwa Andrew tidak akan menyakitinya.
“Saya … tidak bisa berpikir,” suaranya bergetar, bibirnya gemetar saat kata-kata itu keluar. "Kenapa panas ini tidak hilang?"
Andrew berlutut di samping tempat tidur, wajahnya sejajar dengan Maya. Mata dalamnya menatap, seolah berusaha mencari sesuatu di balik kekacauan di pikiran Maya. Dengan lembut, Andrew mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Maya yang basah oleh keringat.
“Ssshh... Aku di sini. Aku akan menjagamu.”
Maya merasakan sentuhan dingin dari tangan Andrew, dan untuk pertama kalinya sejak panas itu mulai menguasai tubuhnya, rupanya panas tubuhnya bahkan mengalahkan tangan Andrew yang hangat.
Tetapi di balik ketenangan yang mulai menjalar, ada suara kecil di dalam benaknya yang menanyakan satu hal, mengapa Andrew mau peduli?
Ada ketidakpastian menderu. Apakah ia bisa mempercayai pria ini. Maya telah belajar mengandalkan dirinya sendiri selama ini. Kini, ia berada di situasi rentan yang memaksanya menyerahkan diri sepenuhnya kepada pria yang baru pertama kali ditemuinya. Hal itu terlalu menakutkan.
“Kenapa... kenapa Tuan baik padaku?” gumam Maya di antara napasnya yang tersengal.
Andrew diam sejenak. Maya melihat kilatan ragu di matanya sebelum pria itu menjawab. “Karena kau pantas mendapatkan seseorang yang menjagamu. Seseorang yang tak akan membiarkanmu terjatuh.” Suaranya terdengar dalam, merayu penuh kesungguhan yang jarang dia tunjukkan.
Maya merasakan dorongan emosi yang kuat. Namun, ia juga merasakan rasa bersalah dan ketakutan yang mendalam. Pikiran Maya terpecah menjadi beberapa bagian yang membingungkan.
Bagian dari dirinya ingin bertanya lebih jauh, ingin tahu alasan sebenarnya di balik semua ini, tetapi tubuhnya terlalu lemah untuk melawan rasa panas yang terus menjalar. Maya merasakan perasaannya terbelah, antara kebutuhan untuk merasa aman dan kekhawatiran bahwa dia akan terikat pada Andrew.
Tapi ketika Andrew menurunkan wajahnya ke arah lehernya, meniupkan udara dingin yang menyapu kulitnya, Maya tidak bisa menahan erangan lega. Setiap inci tubuhnya menuntut lebih dari rasa dingin itu, dan tanpa sadar, tangannya terangkat, memeluk Andrew seolah dia adalah satu-satunya yang bisa menolongnya.
“Saya... butuh Tuan,” bisik Maya, suaranya lemah tapi penuh permohonan.
Andrew berhenti. Napasnya terdengar lebih berat dari sebelumnya, dan Maya bisa merasakan bagaimana tubuh pria itu menegang di pelukannya. Perlahan, Andrew membalas pelukannya, tetapi dengan gerakan yang lebih lembut daripada yang Maya harapkan.
“Aku akan ada di sini, Maya. Aku akan membantumu.” Suaranya pelan tapi tegas.
"Lakukan, Tuan. Lakukan sekarang," erang Maya.
Dan kejadian begitu cepat. Saat Maya akan melepas salah satu kain penutup. Tiba-Tiba Andrew telah berada di atasnya, kembali meniupkan udara dingin ke lehernya yang membara.
Maya tertawa di antara tangisnya dan dengan napas lega, ia mendongak. Mempersilakan Andrew membagi dingin di mulutnya, menghapus perlahan panas di lehernya.
“Terus, Tuan. Tolong saya, seluruh tubuh saya terasa panas,” erangnya saat Andrew mengecup dan menyusur sepanjang rahang, meninggalkan garis basah di sana.
“Aku akan menolongmu, Maya. Asalkan kau panggil namaku. Panggil aku.”
“Oh, Tuan Andrew, please ....”
Andrew merenggut bra berenda Maya dengan kuat. Bukannya takut, wanita itu malah bersorak dalam hati. Ia merasa bebas, ia sangat menyukainya. Maya melihat dengan mata sayu, Andrew menatapnya sedemikian rupa maka ia mengambil inisiatif. Maya berusaha mengejar satu-satunya bagian tubuh Andrew yang bisa memberikan rasa dingin untuknya.
Bibir pria itu.
Saat Maya naik dan melumat mulutnya, Andrew tidak menghindar. Ia segera menangkap Maya untuk memeluknya. Wanita itu mengerang saat dada mereka bersatu. Sensasi panas dan dingin melekat membuat Maya bergerak menggila.
Ia ingin mengusir panas di badannya dengan cara paling mudah. Memindahkan panas itu ke tubuh pria yang sedang menciuminya dalam-dalam. Maya mulai menggesekkan badan bagian depan. Andrew menerima kelakuan itu membuat Maya berpesta pora di dalam kepala.
“Sentuh saya, Tuan,” bisiknya lepas kendali. Otaknya tidak terkoneksi dengan mulut sehingga ia tidak tahu kalimat apa yang ia keluarkan.
“Di mana, Maya?” tanya Andrew manis sekali.
“Di sini.” Maya membuka kedua kakinya dan menunjuk spot yang paling ingin ia bebaskan. Maya bisa melihat Andrew tersenyum miring. Detik selanjutnya, kain penutup terakhir milik Maya telah terkoyak diiringi jeritan bahagia wanita itu.
Di antara kebingungan di dalam kepalanya, Maya mendengar sobekan aluminium foil lalu melihat Andrew melakukan sesuatu di antara kakinya. Maya mengerang tidak sabar. Andrew mendorong kedua kaki Maya membuka lebih lebar dan dia menerjang masuk.
Sulit.
Andrew harus mencoba beberapa kali. Padahal wanita di bawahnya ini telah berpasrah diri. Tetap saja gerbang itu mengunci erat.
“Hm.” Andrew menahan lutut Maya dan melebarkan jarak di antara keduanya. Ia bisa melihat dengan jelas menu utama terhidang di depannya. Bersih. Basah. Sangat siap.
“Lalu mengapa sulit?” Andrew bergumam sendiri di tengah erangan dan ceracauan Maya yang tidak jelas.
Pria itu menyatukan lutut Maya di atas perut wanita itu lalu menahan dengan tangan kiri saat tangan kanannya menempatkan panjangnya di spot tersembunyi milik Maya. Sekali sentak, ujungnya menemui apa yang dicari. Andrew mendorong tanpa belas kasih.
Segera ia menyadari kebenaran janji Indah. Mulutnya menyuarakan kepuasan saat menyadari betapa sempit dan menghisapnya milik Maya. Ia kembali menerjang lebih kuat, memaksa merasakan seluruh panjangnya dihisap Maya.
Seharusnya itu menyakitkan. Seharusnya Maya menderita dan berteriak kesakitan. Lebih dari itu, seharusnya Maya menangis karena keperawanan yang ia jaga selama 22 tahun, direnggut oleh pria yang tidak ia kenal.
Tetapi, di bawah pengaruh obat perangsang, Maya berteriak gembira. Toleransinya terhadap rasa sakit telah menebal di bawah pengaruh obat itu. Maka saat Andrew menerjang dengan kasar, Maya malah meneriakkan kata-kata untuk menyemangati pria itu.
Tubuh Maya kembali mengejang, tangannya berpegangan kuat pada bantal yang saat ini ada di dekat kepalanya. Di atasnya, Andrew bekerja keras mendorong dan menarik. Kedua tangan pria itu menahan pinggang kecil Maya saat memaksakan panjangnya ditelan seluruhnya di bawah sana.
Tiba-tiba Andrew tersadar bahwa wanita yang sedang dideranya ini masih suci. Ia menghentikan gerakan, mengurungkan niatnya untuk masuk sempurna. Ia menunggu reaksi Maya karena Andrew tidak ingin wanita yang berada di bawahnya mendapat trauma jika dia bergerak terlalu kasar dalam penyatuan mereka.
"Tidak ... tolong jangan berhenti, Tuan," rintih Maya terdengar menggoda telinga Andrew. Alih-alih menuruti wanita itu Andrew justru menikmati rintihan Maya terutama saat bìbir wanita itu menyerukan namanya.
"Mintalah lagi, panggil namaku, Sayang," bisik Andrew seraya menunduk untuk mengecup belah bibir Maya.
"Tuan Andrew, tolong dinginkan badan saya." Wanita itu menceracau memohon untuk sesuatu yang mustahil ia minta di kala sadar.
Andrew yang sempat melepas miliknya, bisa melihat jika ujungnya yang dilumuri darah yang sedikit pudar karena bercampur dengan cairan cinta Maya yang melimpah. Mengagumi apa yang ada di depannya, kini ia menekan untuk mendorong masuk.
Tubuh Maya bergetar ketika panjang pria itu tenggelam ke dalam dirinya lagi. Panjangnya dan kerasnya yang memukau, bahkan jika Maya sadar untuk mengenali posisi Andrew saat ini, Maya tidak akan sanggup menghindar.
Meskipun merasakan sesuatu melukainya di bawah sana karena ulah Andrew, tetapi Maya berharap untuk terus ditenggelami. Ia rela menyerahkan seluruh permukaan kulitnya untuk dimanfaatkan oleh pria yang baru sekali ditemuinya. Penyerahan total.
Andrew mengatur posisi kedua lutut dan lengannya di sisi tubuh Maya. Lalu mulai bergerak lembut untuk menguji kepekaan wanita itu. Dan Maya bisa menerima gerakannya. Menyambutnya dalam gerakan seirama.
Di tengah kesadaran yang mulai timbul seiring panas yang menghilang, Maya menggigit bibirnya sendiri, matanya setengah terpejam. Ia bisa melihat Andrew dari sela-sela bulu matanya yang panjang.
Pria itu memiliki tubuh yang luar biasa. Bagaikan dipahat dari sebuah batu yang kokoh dan keras. Maya seperti tersihir dan mengulurkan kedua tangannya untuk menyentuh kulit Andrew yang sedikit lebih gelap dari kulitnya.
Perpaduan kedua tangannya yang menempel di dada Andrew terlihat sangat indah sekaligus menggoda. Seperti tak puas menerima pemberian Andrew, bibirnya terus merintih lembut penuh tuntutan. Bukan karena rasa sakit, tapi sesuatu yang jauh lebih indah, sesuatu yang bergerak lembut yang membuatnya gelisah , tapi juga menenangkan.
Andrew meringkus tangan Maya. Sesuatu di wajah pria itu tidak disadari Maya, warnanya berbeda. Sinar matanya juga berbeda. Andrew membawa kedua tangan Maya, menahannya dengan satu tangan di atas kepala wanita itu. Ia mulai bergerak konstan.
"Tuan Andrew ...." Kembali Maya membisikkan nama tuannya dan panas berpindah ke Andrew, menjadi bahan bakar untuk pria itu melakukan lebih, lagi dan lagi.
"Maya. Damn, you feel good, Baby. I want more!" bisik Andrew masih dengan pinggul dan pinggang yang bergerak teratur dan dengan tempo pelan cenderung lembut agar penyatuan mereka bisa lebih lama.
"Oh, Tuan ... saya me-rasa ... tidak, saya mau ken-cing." Suara Maya tertahan di tenggorakannya saat sesuatu yang padat di dalam miliknya terasa berdenyut nikmat. Andrew tahu jika Maya menyukainya, maka ia masih bergerak teratur di atas wanita itu saat tanpa diduga, Maya meledak dan mencair di bawahnya.
“Tuan Andrew!!” jerit Maya karena terkejut dengan dirinya yang kejang tanpa bisa ia kendalikan. Kedua kakinya bergetar dan mengirimkan sengatan listrik yang berpusat di pertigaan tubuhnya lalu menyebar ke tangan dan terakhir, membuyarkan isi kepalanya.
“Bagus, Maya. Ayo kita lakukan lagi, Sayang.”
Maya masih bisa mendengar Andrew di antara getar sekujur tubuh dan sekali lagi ia menjerit saat Andrew kembali mengulang gerakan yang tadi baru saja membuatnya meledak ke luar angkasa.
