Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Mengejar hingga Fairmont Olympic

Sementara mobil melaju melalui jalanan yang mulai gelap dan lampu-lampu kota menyala, aku merasa sedikit lebih optimis tentang apa yang akan kami temui di Fairmont Olympic Hotel. Meskipun hariku berat, dengan Richard di sisiku, aku yakin bisa menemukan Sebastian Haris dan menyelesaikan semua yang perlu kami kerjakan.

Malam telah sepenuhnya menyelimuti Seattle ketika kami sampai di Fairmont Olympic Hotel. Aku keluar dari mobil lebih dulu dari Richard dan langsung terkesan dengan keindahan hotel ini. Fairmont Olympic Hotel berdiri megah dengan arsitekturnya yang luar biasa bercahaya di bawah sorotan lampu malam.

Kami memasuki lobi bersama-sama setelah Richard menyerahkan kunci mobil pada petugas valet. Salah seorang bellboy membukakan pintu untukku.

Langit-langitnya yang tinggi dihiasi dengan lampu gantung kristal, khas hotel berbintang lima membuatnya tampak klasik. Pintu masuk utama hotel dipenuhi oleh tanaman hijau yang tertata rapi, mengesankan keasrian. Selama berjalan, mataku berputar berusaha menemukan keberadaan orang yang kucari.

Richard mengarahkanku masuk ke lobi, di mana suasana sempat membuatku terlupa mencari Sebastian. Pemandangan dalam lobi begitu indah, dekorasi mewah dengan sentuhan modern. Kursi dan sofa yang empuk diatur dengan sempurna di sekitar meja kopi kayu berukir. Aroma bunga segar dari rangkaian bunga besar di tengah ruangan menyergap hidungku.

Di sisi kanan lobi, terdapat tangga besar yang berkelok dengan karpet merah yang tebal, tampak tamu-tamu hotel yang menunjukkan kelasnya. Kami berjalan melewati lobi yang ramai, tamu-tamu lain terlihat menikmati malam mereka dengan obrolan hangat dan tawa yang terdengar sesekali.

‘C’mon! Fokus, Kim!’ pikirku kesal.

Richard berbicara singkat dengan petugas di meja resepsionis, menjelaskan tujuan kami. Aku melihat ke sekeliling lagi, selain kagum pada detail-detail indah yang ada di setiap sudut ruangan, aku juga mencari targetku. Sayang, aku tak dapat menemukan jejak Sebastian sejauh apapun mataku menyisir seluruh ruangan.

"Ayo, kita perlu bermalam.”

“Apa?!” Seketika aku berhenti mencari Sebastian dan melotot ke arah Richard. Walaupun Madam Rosaline berkata akan mengganti pengeluaranku, tetapi aku yakin. Tagihan kamar di sini akan terlalu berlebihan. Tidak mungkin disetujui oleh perusahaanku. Sementara, aku tidak sekaya itu hingga mampu bermalam di hotel berbintang lima ini.

Gila! Aku bisa gila!

“Kita harus menginap, jika tidak, bagaimana bisa kita menemukan Sebastian? Mengetuk setiap kamar di sini? Dengan memiliki akses yang sama dan kita juga menginap di sini, hotel baru mau membagi informasi keberadaan Sebastian,” kata Richard menjelaskan situasinya.

Masuk akal. Yang tidak masuk akal adalah biayanya. Aku tidak punya uang sebanyak itu.

“Ta-tapi aku tidak bisa menginap di sini, Rick. Aku akan mencari penginapan di tempat lain saja.”

Aku sudah hendak memutar kakiku ketika Richard dengan sigap menangkap tanganku. “Kamu boleh menumpang di kamarku.”

“Apa?!” Kembali aku terperanjat.

Richard bukan hanya sekadar seorang pria yang menarik perhatian dengan penampilannya, tapi juga seseorang yang mampu membuat siapa saja di sekitarnya merasa diperhatikan dan penting. Sungguh, dia adalah sosok yang sulit untuk diabaikan, tetapi melewati malam sekamar dengannya. Itu lain persoalan.

“Aku sudah punya pacar, Rick. Maaf.”

Pria itu mendengus geli seolah aku baru saja melontarkan lawakan.

“Hanya tinggal di kamar yang sama, kamu akan berharap apa? Tidur denganku?”

‘Sial!’ pikirku malu.

“Ayo. Aku akan berusaha menahan diri, Kim,” kata Richard dengan mimik lucu. Aku memutar mata tetapi mengikuti langkahnya.

Ketika aku dan Richard tiba di pintu kamar di Fairmont Olympic Hotel, aku merasakan kegugupan yang aneh. Jantungku jadi berdebar lebih cepat dari biasanya. Richard mengeluarkan kartu kunci kamar dan membuka pintu, aku melongok kemewahan yang ada di dalam. Ruangan itu begitu luas dan terlihat nyaman untuk tubuh lelahku, dengan interior lembut yang membuat suasana hangat serta melenakan.

Richard menepi untuk mempersilakan aku masuk lebih dulu. Maka, aku melangkah masuk dengan perasaan campur aduk. Kamar ini terlalu mewah untukku, dan aku merasa rikuh karena hanya menumpang. Tujuanku jelas, mencari Sebastian. Namun, suasana intim ini malah membuatku tidak fokus.

Richard berjalan melewatiku setelah menutup pintu kamar. Ia menaruh tas ranselnya di dekat sofa besar yang terlihat empuk. Aku menatap ke arah tempat tidur king-size di tengah ruangan dengan seprai putih bersih, tampak seperti ajakan untuk melepas lelah. Aku masih berdiri di dekat pintu, bingung menentukan harus duduk di mana atau mengatakan apa.

“Jangan khawatir, Kim. Aku akan tidur di sofa. Tempat tidur itu untukmu,” katanya, suaranya tulus dan menenangkan.

Aku mengangguk pelan. “Terima kasih. Tapi... sofa itu cukup sempit, mungkin aku saja yang tidur di sana—”

Richard menggeleng, menyela dengan senyum simpul. “Tidak perlu. Kamu sudah cukup lelah hari ini.”

Aku akhirnya setuju tanpa banyak perlawanan, meskipun hatiku tetap tidak sepenuhnya tenang. Saat dia mulai mengatur barang-barangnya di sofa, aku melangkah ke arah jendela besar. Pemandangan malam Seattle yang gemerlap menyambutku, lampu-lampu kota seperti berlian yang disebar di atas kain hitam. Aku menatap ke luar, mencoba melupakan ruwetnya hatiku karena hantaman kemarahan Chad dan beban pekerjaan.

“Hari yang panjang, ya?” Richard berkata dari belakangku. Suaranya lembut, hampir terlalu dekat, membuatku tersentak sedikit.

Aku mengangguk, berusaha tersenyum. “Sebastian benar-benar membuat kita pontang-panting.”

Richard tertawa kecil, suara beratnya terasa menenangkan. “Dia memang seperti itu. Kadang-kadang, aku merasa seperti babysitter-nya.”

Aku menoleh, tertarik oleh nadanya yang ringan tapi jujur. “Kamu kelihatan tidak terlalu peduli soal ini. Padahal aku bisa saja kehilangan pekerjaanku karena ulahnya.”

Richard menatapku dengan senyum tipis yang sulit diterjemahkan. “Aku percaya kalau kita bisa menyelesaikannya. Kamu lebih tangguh dari yang kamu pikirkan.”

Kalimat itu menembus pertahananku. Aku tidak tahu apakah itu karena hari yang panjang, kata-kata Richard, atau tatapannya yang penuh keyakinan, tapi untuk pertama kalinya aku merasa diperhitungkan dan dihargai. Sesuatu yang tidak aku dapatkan dari Chad Winchester, pria yang menemaniku selama delapan tahun.

Aku memalingkan wajah kembali ke jendela, mencoba mengalihkan pikiranku. Namun, ponselku tiba-tiba bergetar di saku. Kulihat nama pacarku itu muncul di layar.

“Maaf, aku harus angkat telepon ini,” kataku sambil melangkah ke balkon kecil di dekat jendela.

Richard hanya mengangguk, ekspresinya netral.

Saat aku menjawab panggilan itu, suara Chad yang dingin langsung menyambutku. “Kim, wanita nakal. Tidur di mana kau malam ini?!”

Nada suaranya terdengar mabuk, membuatku ingin membanting ponsel. “Ini soal pekerjaan, Chad. Aku tidak punya waktu untuk membahasnya sekarang.”

“Tentu saja,” katanya sinis. “Pekerjaan selalu lebih penting dariku.”

Aku menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri. “Kita bisa bicara nanti. Aku sedang tidak ingin berdebat.”

Tanpa menunggu balasan, aku menutup telepon dan memejamkan mata, merasakan kelelahan emosional menumpuk.

“Kim, kamu baik-baik saja?” Richard bertanya dari dalam.

Aku masuk kembali, mencoba tersenyum walau terasa dipaksakan. “Ya, hanya... sedikit pusing.”

Dia menatapku dengan perhatian yang lebih dari sekadar basa-basi. “Mungkin kamu butuh sesuatu untuk diminum?”

Aku menggeleng, tapi senyumnya membuatku merasa lebih baik. Richard kembali ke sofa, dan aku duduk di kursi dekat tempat tidur, membiarkan keheningan berada di antara kami untuk beberapa saat.

“Apa kamu pernah merasa seperti ini sebelumnya?” aku tiba-tiba bertanya, suara lirihku mengagetkanku sendiri.

“Seperti apa?”

“Seperti... lelah menjadi dirimu sendiri.”

Richard terdiam sesaat, lalu menjawab dengan nada lembut, “Lebih sering daripada yang kau kira.”

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Mungkin itu karena percakapan kami, kehangatan di matanya, atau sekadar kebutuhanku untuk merasa dimengerti. Tapi pada malam itu, tembok di antara kami runtuh perlahan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel