Pustaka
Bahasa Indonesia

SEMALAM BERSAMA PRIA MISTERIUS

16.0K · Ongoing
Lara Aksara
29
Bab
85
View
9.0
Rating

Ringkasan

Kimberly baru saja menduduki jabatan baru saat masalah muncul di kantornya. Ia harus menyelesaikan masalah itu jika tidak ingin kehilangan pekerjaan. Pada perjalanannya, ia bertemu dengan pria tampan yang mempesona karena sikap gentleman yang lebih baik dari kekasih toxic-nya. Kim tergoda. Bagaimana ia bisa menyelesaikan tugas tanpa melewatkan malam panas dengan pria mempesona ini?

RomansaMetropolitanPresdirKehidupan SosialOne-night StandDewasaPerselingkuhanMandiriLembut

Bab 1 Sebastian Haris Hilang!

“Kim!”

Kudengar panggilan ketika aku baru saja mendarat di ruanganku sebagai kepala tim Divisi Hubungan Klien di SparkAd Innovations, sebuah perusahaan periklanan yang berada di Midtown Manhattan.

Dan yang baru saja meneriakiku adalah Brigitte Schwartz, kepala tim Divisi Hubungan Merek.

“Gawat. Sebastian Haris kabur.” Brigitte mendekat ke kantorku dengan wajah panik dan mata kalut.

Aku melotot. Bokongku belum menyentuh kursi dan Brigitte sudah membawa kabar buruk begini. Sebastian Haris. Aktor kelas A kesayanganku itu memang telah didapuk menjadi bintang iklan utama klien VIP kami. Brand Patek Philippe!

Buat kalian yang tidak tahu, Patek Philippe adalah perusahaan yang memproduksi jam tangan pria termahal di dunia bertype Grandmaster Chime. Jam ini dibuat khusus dengan emas putih dan ikat pinggang kulit ikan biru. Harga jam ini mencapai $30 juta!

Sekarang, bintang iklannya kabur di hari ia dijadwalkan menandatangani kontrak? Aku memutar mata sebal. Bagaimana tidak, akulah orang yang merekomendasikan dia untuk dijadikan bintang iklan utama.

Yeah, right! Sekarang aku merasa terbebani dengan masalah ini. Well, kapan lagi bintang tenar kesayanganku membuatku pontang-panting, kan?!

“Aku akan mencarinya, Brigitte,” kataku cepat, kembali meraih tas jinjing dan berjalan keluar ruanganku secepat kedua kakiku melangkah.

“Ke mana kau akan mencarinya?” tanya Brigitte, mengikutiku dengan wajah kalut.

“Oh, aku punya caranya, Sayang. Aku akan menemukannya. Bantu aku dengan menyiapkan dokumen dan mengirimkan secara cepat ke ponselku kapanpun aku minta. Oh, sampaikan juga kepada Madam Rosaline, Brigitte!” Kalimat terakhir sudah aku suarakan sedikit berteriak dan aku mulai berlari kecil, mengejar pintu lift yang akan menutup.

“Tahan!” teriakku nyaring. Salah seorang pria di dalam san atergopoh menahan pintu untukku.

Aku memang harus melakukannya. Melacak dan mengejar Sebastian Haris. Siapa lagi yang akan melakukan selain diriku?

Aku adalah fans berat Sebastian dan aku juga yang menyarankan namanya pada Patek Philippe.

Sial!

Selama berjalan keluar dari lift, aku melakukan sambil memeriksa ponselku. Tidak, bukan untuk memeriksa pesan. Tetapi melihat postingan terbaru dari sang aktor, Sebastian Haris.

Aku tahu, pria muda ini sangat suka menyendiri dan menikmati waktunya dengan menyamar menjadi orang biasa. Aku hanya perlu melihat poto terbaru di media sosial dan menebak, di manakah ia sedang berada sekarang.

Semangat, Kim!

Aku melaju keluar dari lift selayaknya pelari sprinter. Untung masih pagi, semoga aku bisa mendapatkan taksi dengan cepat.

Oh, no! Sebuah taksi yang baru saja berhenti di depan kantorku akan dimasuki oleh orang lain.

“Tidak! Tunggu, please!” Aku berteriak heboh. Calon penumpang itu menoleh kepadaku dengan heran, lalu aku menyerobotnya.

“Maafkan aku, Tuan. Aku sedang terburu-buru.”

“Hei!”

Aku menutup pintu di depan mukanya dan mengabaikan sumpah serapah yang keluar dari mulutnya. Aku meringis memohon maaf ke arah supir taksi yang melirikku melalui spion ketika mulai menjalankan mobilnya.

“Maaf, Sir. Aku tidak sopan,” kataku pelan.

“Tak mengapa, Nona. Antara Anda atau dia, sama-sama penumpang bagiku. Katakan ke mana tujuan Anda?” kata supir taksi ramah.

“Oh. Ini.” Aku malah menyorongkan ponselku padanya.

“Nah, sekarang Anda tidak sopan, Nona. Bagaimana Anda berharap aku melihat ponsel sambil menyetir?” tegurnya masih dengan nada sopan.

“Oh, maafkan saya. Tolong bawa saya ke Central Perk,” kataku dengan kesopanan yang patut diacungi jempol.

Aku turun dari taksi di tepi Central Park, terbirit tanpa sempat menikmati udara pagi yang selalu segar di area ini. Aku harus tetap fokus.

Aku memandang sekitar, mencoba menemukan titik tujuan di tengah keramaian kota. Tujuanku adalah Central Perk, sebuah kedai kopi yang sengaja dibuat untuk mengenang sitkom "Friends" yang legendaris beberapa dekade lalu.

Langkahku beradu dengan pedestrian, aku menuju pintu kaca berwarna hijau zamrud, berharap bisa menemukan Sebastian Haris di dalam. Saat lonceng kecil di pintu berbunyi, aku masuk dan disambut oleh suasana hangat yang familiar. Sofa besar berwarna oranye di tengah ruangan, meja kopi kayu dengan majalah-majalah acak, lampu-lampu gantung vintage dan suara-suara perbincangan hangat.

Sambil mengedarkan pandangan, aku memilih tempat di sofa oranye yang ikonik, mencoba mengenali Sebastian dalam samarannya. Kuletakkan tas jinjing di pangkuanku dan memegangnya erat, seolah dialah penyelamat hidupku.

Di luar jendela besar, Central Park yang hijau seharusnya bisa menambah suasana damai di pagi hari ini. Sayangnya, sekarang tidak. Aku menatap sekeliling lagi, mencari sosok Sebastian di antara pengunjung yang menikmati kopi mereka. Kegelisahan mulai merayap, dan pikiran-pikiranku terus berputar. Dia tidak ada di sini? Tetapi jelas kukenali foto yang dia unggah barusan, ada di sini. Di mana dia? Apakah dia sedang ke kamar kecil?

Setiap kali pintu terbuka dan lonceng berdenting, hatiku berdegup lebih kencang, berharap Sebastian akan masuk. Aku terus mengedarkan pandangan sambil sesekali menatap layar ponsel, memeriksa pesan dan panggilan yang mungkin terlewatkan. Aku hanya berharap segera menemukan Sebastian, agar bisa kembali fokus pada iklan besar yang sedang kami kerjakan di SparkAd Innovations.

“Ya, aku ada di Central Perk.”

Aku menoleh ketika mendengar suara itu. Jenis suara seorang pria yang berat dan terdengar menenangkan selayaknya penyiar radio dewasa. Aku melihatnya, seorang pria dengan tinggi 180 sentimeter mengenakan mantel bepergian, berdiri tak jauh dariku dan menempelkan ponsel di telinganya.

“Tidak, dia tidak ada di sini.”

Ia kembali berbicara. Sesuatu menyentil hatiku dan membuatku memutuskan untuk memperhatikan dia.

“Kau yakin? Sial, dari foto yang dia unggah kukira dia masih di sini.”

Keningku berkerut. Itu juga analisaku tentang Sebastian! Sepertinya firasatku benar.

“Aku akan mengejarnya. Tolong telepon dia, Hiro. Suruh dia menungguku. Lakukan apapun yang kamu bisa lakukan untuk menahannya. Sebastian, brengsek. Aku akan meninjunya jika mukanya tidak berharga mahal.”

Pria itu menggerutu sambil memutar tumit dan keluar dari Central Perk. Aku meneguhkan diri dan mulai bergerak mengikutinya.

Aku tidak boleh kehilangan dia.

Kulihat ia berdiri di pedestrian depan Central Perk. Kurasa ia mencari sebuah taksi. Tanpa ragu, aku menjejerinya.

“Hai. Aku Kimberly Miller,” kataku seraya mengulurkan tangan dengan sopan. Ia menatapku dengan heran, selayaknya aku adalah monster hijau bermata satu dan meringis ke arahnya.

“Dan mengapa aku harus tahu namamu, Nona Miller?” tanyanya, menunduk ke arahku dengan alis bertaut.

“Karena kita akan menjadi teman seperjuangan?” Aku turunkan tangan yang kuulurkan padanya karena tidak bersambut. Kalimatku membuat keningnya makin berkerut.

“Maaf. Aku mengupingmu. Aku juga mencari Sebastian Haris,” ujarku berupaya tampak sedih serta membutuhkan bantuannya.

“Oh. Dan Anda adalah?”

“Kimberly Miller.”

“Tidak, Nona. Bukan nama. Anda siapa ... maksudku mengapa Anda mengejarnya. Kalau Anda adalah fans Sebastian Haris. Maaf, Nona. Kita harus berpisah.” Pria itu segera tampak menjaga jarak dariku.

“Tidak! Bukan!” teriakku nyaris seketika. Pria itu berjengit, kedua tangannya bahkan naik dan memamerkan telapaknya ke arahku.

“Oh, maaf. Aku dari SparkAd Innovations. Perusahaan periklanan yang menangani Patel Philippe. Seharusnya Sebastian menandatangani kontrak dengan kami hari ini. Iklan jam tangan?” ujarku menjelaskan situasiku.

Seketika wajah pria itu menunjukkan simpatinya yang besar. Tangannya bahkan memegang dadanya. “Maaf sekali, Nona Miller. Aktor kami sudah menyusahkan Anda. Richard Sanchez dari United Talent Agency yang menaungi Sebastian.”

Aah, pantas saja dia tampak menyebut nama Sebastian dengan akrab. Pilihanku sungguh tepat!

“It’s okay. Termaafkan asal Anda bersedia untuk membantu saya mendapatkan tanda tangan Sebastian, Tuan Sanchez.”

“Richard saja. Atau untuk Anda, panggil saya Rick.”

“Senang berkenalan denganmu, Rick. Kamu juga boleh panggil aku Kim.”

Melihat Richard Sanchez sekarang mau menerima uluran tangan dan menatap ke arahku, membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak terkesima. Dia memiliki penampilan yang begitu memikat.

Tubuhnya, dibalut dengan setelan yang rapi di balik mantel bepergiannya, tentu saja mahal. Wajahnya yang rupawan, dengan rahang tegas dan senyuman yang bisa meluluhkan hati siapa saja, serta tingginya yang di atas rata-rata membuatnya terlihat seperti pria yang seharusnya muncul dari sampul majalah mode.

Matanya, seakan-akan mampu menembus hati setiap wanita. Setiap kali dia berbicara, suaranya yang dalam dan tenang menenangkan pikiran, memberikan kesan bahwa dia selalu tahu apa yang harus dilakukan. Aku jadi merasa yakin bersamanya.

Hei, jangan berprasangka aneh. YAKIN akan menemukan Sebastian Haris jika melacak bersamanya. Aku merotasi mataku tanpa sepengetahuan Richard untuk menjawab keherananku sendiri.

“Itu taksinya, Kim. Ayo!” Richard menjentikkan jari, menambahkan dengan siulan nyaring dari mulutnya dan aku melihat sebuah sedan kuning dengan corak khas mengarah ke tempat kami.

“Kita akan ke mana?” tanyaku pada Richard saat ia dengan gentleman membukakan pintu taksi dan melindungi kepalaku saat masuk.

“Bandara. Kata managernya, Sebastian akan terbang ke Seattle.”

“Apa?” teriakku tak percaya. Seattle berjarak 2,896 mil dari New York. Bagaimana kalau dia sudah naik ke pesawat? Apakah aku juga harus terbang untuk mencari Sebastian?!

‘Crap! Ini akan lebih sulit!’