Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Pria yang Kuikuti

Aku memaki dalam hati. Pasti wajahku sangat tidak enak dilihat. Untung Richard sedang memutar untuk masuk dari pintu sebelah, sehingga tidak melihat wajahku yang berubah jadi jelek ini.

“Mengapa ia akan pergi ke Seattle?” tanyaku pada Richard usai ia meneriakkan pada supir taksi agar segera melaju ke John F Kennedy Airport.

“Kalau kau belum terlalu mengenalnya, Kim. Bas memang suka menyendiri. Terkadang ia hanya berkeliaran di Central Park atau downtown dengan menyamar menjadi orang biasa. Namun, ada kalanya ia kabur sejauh ini hanya untuk merasakan menjadi orang biasa,” jawab Richard.

Yea, aku tahu itu. Hanya saja yang aku ingin tahu lebih jauh, kenapa dia memilih pergi ke Seattle di hari ia memiliki janji temu dengan perusahaan periklananku.

Sepertinya kalut di wajahku terbaca oleh Richard. Karena sejurus kemudian ia kembali bicara.

“Sebastian bertengkar dengan mamanya. Kurasa itu pemicu dia kabur kali ini.”

Haruskah aku bersimpati padanya? Sebagai penggemar berat Sebastian Haris, aku juga tahu kalau hubungannya dengan sang mama—Evelyn Hart—yang juga seorang artis ternama senior, memang tidak terlalu rukun. Entah apa sebabnya.

Tetapi yang jelas, sekarang kami berdua yang kerepotan. Richard, entah apa yang akan terjadi karirnya jika Sebastian tak terkejar. Aku? Tentu saja jelas. Perusahaanku bisa kehilangan kontrak dengan Patek Philippe!

Lalu aku akan dihadiahi surat peringatan karena keputusan yang salah. Potong gaji atau malah turun jabatan. Fuck!

‘Tidak akan terjadi. Tidak saat aku baru menjadi kepala tim belum genap sebulan!’ tekadku dalam hati saat taksi meluncur membelah keramaian dan aku menatap keluar untuk menutupi mataku yang kalut dari pandangan Richard.

Kami tiba di bandara internasional John F Kennedy dan Richard mendahuluiku membayar taksi. Well, bagaimanapun Sebastian adalah aktor yang dinaunginya. Ia lebih memiliki kewajiban untuk itu. Lagipula, setelan yang ia kenakan adalah setelan mahal, aku tahu pasti. Maka sudah seharusnya.

Keluar dari taksi, kami berlarian seperti orang gila sepanjang lobi JFK Airport sambil mengedarkan pandangan kami ke orang-orang yang berlalu lalang. Richard bahkan melakukannya sambil melekatkan ponsel ke telinga dan tampak berbicara dengan serius. Sementara aku, bersikeras mengedarkan pandangan seteliti mungkin.

Beberapa kali Richard melambatkan laju larinya demi menungguku. Ia juga masih sempat menjagaku dari bertabrakan dengan sekelompok orang di bandara yang riuh ini.

Ooh, mataku sakit karena keseringan berputar. Apa yang aku cari sebenarnya. Sebastian bahkan terkenal jago menutupi jatidiri sebagai aktor kelas A saat berniat membaur dengan masyarakat biasa seperti sekarang. Jika di Central Perk yang sempit, aku masih bisa mendapat kesempatan.

Di sini? Di antara ribuan pengunjung dan calon penumpang?!

Aku mengeluh tanpa bisa aku tahan. Tetapi, kugebah langkahku mengikuti langkah panjang setengah berlari milik Richard. Pria ini pasti lebih lihai menilai samaran Sebastian. Ya, benar. Aku hanya perlu menempel erat padanya.

“Apa?!” teriak Richard pada ponselnya.

Ia berhenti mendadak dan aku ikut mengerem lariku. Berdiri sigap di sebelahnya, menatapnya. Menemukan matanya yang mendadak kalut.

“O ...o ....”

Segera kurasakan perasaan tidak enak menyerang perutku dan meremasnya. Apa lagi sekarang?

Kepala Richard bergerak, kini ia menunduk menatapku dengan pandangan menyesal. “Kuharap kau punya waktu luang, Kim. Kita harus naik ke pesawat dan mengejar ke Seattle. Sebastian baru lepas landas lima belas menit lalu.”

Sialan. Lututku langsung terasa lemas. Sampai ke mana kami akan mengejar bintang konyol satu ini. Aku mengeluh dan Richard menatap simpati padaku.

“Pulanglah, Nona. Aku akan mengejarnya sendiri. Dan akan kubawakan juga pesanmu. Hm? Kamu butuh tanda tangannya saja, kan? Aku akan memintakannya untukmu,” kata Richard lembut.

“Tidak! Aku akan ikut bersamamu!” teriakku nyaris terasa berlebihan. Aku bahkan mengepalkan kedua tanganku. Aku tidak bisa menyerahkan pekerjaanku begitu saja pada pria yang baru aku kenal namanya saja. Aku tidak bisa mempertaruhkan jabatan baruku. Sedetik kemudian aku tersadar akan keuanganku yang mepet.

“Eum ... hanya saja. Sepertinya aku butuh meminjam uang darimu untuk membeli tiket,” ujarku kemudian setelah mengorek-ngorek tas jinjingku dan meraih dompet.

Richard tertawa pelan, “Tentu, Kim. Aku akan meminjamimu. Hop on, Lady!”

Mataku mengerjap. Semoga hop on yang dia maksud bukan menaikinya secara harfiah, kan?

Dengan sigap Richard mengambil barisan di depan konter check-in sebuah maskapai. Aku mengikutinya dengan tekun di belakang. Sebenarnya aku malu karena berani meminjam uang padanya. Tapi bagaimana lagi? Kartu kreditku memasuki limit terakhir karena ... Ah, kuhapus ingatan di otakku yang membuat sakit kepala.

“Dua tiket ke Seattle, please?” Richard menyampaikan maksudnya dan aku sigap memberikan kartu pengenalku agar sang petugas bisa merekam data kami.

“Silakan menuju gate 38, Sir.”

Richard mengangguk sembari mengembalikan kartu pengenalku. Kami berjalan beriringan menuju ke gate 38 yang sedang menunggu penumpang. Sesekali, Richard dengan inisiatifnya mendorong aku sedikit menepi ketika bertemu dengan penumpang yang terburu-buru dan berlarian di lorong.

Kami memasuki kabin pesawat dan Richard kembali bersikap gentleman dengan menjagaku di belakang. Telapak tangannya sesekali menyentuh punggungku sekilas membuatku tahu, ia mendukungku dengan baik.

Ketika sampai pada nomor seat kami, ia mempersilakan aku untuk memilih terlebih dahulu, akan duduk di sisi mana dan aku memilih duduk di sisi jendela.

Saat pesawat mulai bergerak perlahan ke landasan pacu, perutku terasa menggelitik. Aku menoleh ke samping, melihat Richard yang duduk di sebelahku. Pria ini, yang baru saja kukenal hari ini, memiliki aura yang menenangkan. Entah bagaimana, kehadirannya saja membuat kegugupan di hatiku sedikit mereda.

Richard, dengan tatapan percaya diri dan senyum yang selalu tersirat, tampak tidak terpengaruh oleh deru mesin pesawat yang semakin keras. "Tenang saja, Kim," katanya lembut, suaranya memberikan rasa aman yang aneh. "Kita akan segera sampai di Seattle, dan semuanya akan baik-baik saja."

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Mataku tertuju pada jendela, melihat landasan pacu yang berlalu dengan cepat. Sensasi pesawat yang mulai terangkat membuatku sedikit menegang, tetapi suara Richard kembali mengalihkan perhatianku. "Ini perjalanan pertama kita bersama, tetapi aku harap ini bukan yang terakhir," ujarnya dengan senyum menawan.

Pikiranku melayang-layang, memikirkan pertemuan tak terduga ini. Pertemuan ini terasa seperti mimpi. Bagaimana mungkin seorang pria yang begitu karismatik dan tampan ini bisa membuatku merasa begitu nyaman dalam waktu yang singkat?

Pesawat perlahan-lahan mencapai ketinggian jelajahnya, dan suara deru mesin menjadi lebih stabil. Aku merasa sedikit lebih rileks. Richard membuka buku yang dia bawa di balik mantelnya, lalu mulai membacanya dengan gaya mempesona.

Aku menggelengkan kepala, ‘Fokus, Kim!’ tegurku dalam hati.

Lebih baik kubuang pandanganku keluar jendela saja. Di antara kebingungan karena pesona Richard, aku terus memikirkan tanggung jawab besar yang menantiku di Seattle. Kemungkinan terburuk apa yang akan terjadi? Kami berkeliling Seattle seperti orang tersesat?

Aku mengembuskan napas, bisa merasakan sesuatu di dalam hati, di samping pria yang baru kukenal namun terasa begitu akrab, mungkin membuat semuanya terasa lebih mudah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel