Bab 3 Bad Mood Karena Chad
Kami transit di San Fransisco International airport selama satu setengah jam. Tidak banyak waktu, jadi kami hanya menunggu di area lounge. Aku memperhatikan Richard yang bekerja secara daring menggunakan ponselnya.
Aku memiringkan kepala, merasa mengenali sesuatu. Segala yang dilakukan Richard saat bekerja secara daring, sepertinya terlalu intens untuk karyawan biasa dari sebuah agensi, sebesar apapun agensi itu.
Sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, ponselku menggetarkan nada dering lembut. Cepat-cepat aku angkat sebelum hal itu menganggu konsentrasi bekerja Richard.
“Halo?” jawabku pada ponselku.
“Di mana kau?” Suara yang terdengar mendesak itu adalah suara Chad Winchester, kekasihku delapan tahun terakhir. Aku menghela napas. Dengan segala kehebohan hari ini, aku lupa memberitahunya tentang ‘perjalanan bisnis’ dadakan ini. “Aku datang ke kantormu dan tak seorangpun bisa menyambungkan aku padamu, Kim. Kau luar biasa menyebalkan hari ini!”
Tentu saja, ia datang ke kantorku. Dari nadanya yang terdengar marah, ia pasti kecewa karena tidak mendapatkan kemauannya. Pria ini sering kali menggantungkan biaya makan siangnya padaku dengan berdalih makan siang bersama.
“Maaf, Chad. Aku sedang perjalanan bisnis ke Seattle,” jawabku pelan supaya kolega baru di sebelahku tidak terganggu. Namun, tetap saja Richard mendengar dan menoleh padaku dengan tatapan bertanya. Aku menggeleng sambil mengirimkan senyum lemah padanya.
“Sial, Bitch! Kenapa tidak memberitahu? Kalau tahu, aku tidak perlu jauh-jauh ke kantormu!” omel Chad.
‘Jauh’ yang dia bilang ini hanya lima belas menit naik sepeda motor dari kantornya. Aku menarik napas, lelah dengan sikap Chad yang kasar, selalu mau menang sendiri.
“Jadi, kapan kau pulang?” sergahnya terdengar tidak nyaman di telingaku.
“Aku belum tahu, Chad. Semoga tidak terlalu lama, okey? Ini benar-benar mendadak. Aku bahkan tidak membawa baju ganti,” jawabku sedikit kesal tetapi sangat aku usahakan untuk tak tersampaikan pada Chad. Bagaimanapun aku harus membela diriku, bukan?
“Lalu, kalau ternyata lebih lama? Kau harus membeli pakaian ganti? Yeah, semoga tidak memotong budgetku. Kau janji akan menghadiahiku laptop baru di ulang tahunku akhir bulan ini, ‘kan?!”
“Ya, Chad. Akan aku usahakan.” Aku memijit pangkal hidungku. Ia seringkali melakukan ini, menekanku, mengatasnamakan cinta.
“Bagus! Kabari aku terus. Aku perlu tahu.” Dan Chad mematikan sambungan secara sepihak.
“Kakak atau adik lelaki yang menyebalkan?” tanya Richard dengan mata penuh simpati. Rupanya ia mendengarku yang beberapa kali menyebut nama Chad. Aku menggeleng, menolak menatapnya.
“Pacar.”
“Ouh. Maaf.” Richard kembali sibuk dengan ponselnya.
“It’s okay, Rick. Maaf kalau mood-ku memburuk,” kataku pelan, memutar-mutar ponselku. Aku berharap, benda pipih ini segera kehabisan batere agar Chad tidak bisa menghubungiku lagi.
“Hubungan yang berat?” Richard kembali fokus padaku. Aku mendongak menatapnya. Ia bahkan telah menyimpan ponselnya. Wow. Semenarik itukah kehidupan asmaraku?
“Tidak. Maksudku, sudah terbiasa. Ia bisa saja berubah lebih baik, bukan? Ya ... kuharap begitu.” Aku menelan ludah untuk menghilangkan sesakku.
“Berapa lama menjalin hubungan dengannya?” tanya Richard. Aku menatap heran padanya. “Oh, maaf. Tidak bermaksud lancang. Hanya ingin membuka obrolan karena sepertinya kamu kesepian. Pekerjaanku sudah selesai, siapa tahu kau ingin curhat. Tetapi kalau terlalu pribadi, maaf Kim. Aku melanggar batas.”
“Tidak, tidak. Bukan seperti itu.” Entah mengapa aku merasa baik saja bicara dengan Richard. Kami tidak saling mengenal karena baru pertama kali bertemu hari ini. Lingkunganku dan lingkungan dia berbeda. Hei, ini hanya cerita sambil lalu kepada orang asing yang segera akan melupakan ketika kami berpisah kan? Nothing to lose. Layak dicoba.
“Delapan tahun,” jawabku.
“Delapan tahun?!” Suara Richard seperti tercekat. Aku kembali menatapnya dengan mimik lucu.
“C’mon. Jangan membuatku makin merasa terpuruk.”
“Whoopsie, bukan begitu maksudku, Kim. Sekali lagi maaf.” Richard mengangkat kedua tangan dan kembali memamerkan telapaknya ke arahku. “Hanya ungkapan keheranan. Delapan tahun waktu yang terlalu panjang untuk dihabiskan dengan seseorang yang menyebalkan, Kim. Ini akan membebanimu.”
“Yeah, aku tahu. Tapi dulu dia tidak begitu. Ia sedikit berubah karena tekanan pekerjaan. Kurasa, saat sedikit lebih longgar, ia akan lebih baik dan kembali seperti dulu,” kilahku.
“Well... ketika kau mencintai seseorang dan bermaksud hidup bersamanya, langkah pertama yang diambil adalah membuatnya nyaman agar betah bersamamu, bukan. Jika membutuhkan tempat sampah untuk membuang uneg-uneg, bisa saja kau buang padanya, tetapi konsepnya adalah kau dan dia melawan dunia. Bukan dia menindasmu demi kelegaan hatinya. Paham maksudku?”
Yeah, aku paham. Karena apa yang dikatakan Richard adalah apa yang kulakukan terhadap Chad. Aku selalu berusaha agar pria itu nyaman bersamaku. Tetapi aku tidak mendapat timbal balik yang sama.
Lalu mengapa aku bertahan? Ini hanya tentang waktu yang telah kami habiskan selama delapan tahun. Aku sudah begitu terbiasa bersamanya. Kami banyak memiliki kenangan bersama.
Masa iya aku putus dengannya setelah sekian lama?
Walaupun apa yang dilakukan Chad sangat membebaniku. Jika dia terhimpit, dia cenderung menjadikan aku ‘sansak’ agar dia lebih lega. Entah berapa kali aku mendukungnya, bahkan secara finansial. Saat diriku sendiri lebih butuh tetapi harus mengalah demi Chad.
Aku merasakan tepukan di bahuku. Aku menoleh pada pelakunya. Richard. Mataku mengerjap. Pria ini bersimpati padaku. Semenyedihkan itukah tampangku saat ini?
“Kamu berhak mendapat yang lebih baik, Kim. Kebahagiaanmu harus diutamakan, kamu butuh waras jika bekerja di lingkungan seperti sekarang. Suatu saat nanti, kita bisa saja kembali bertemu dan mengejar-ngejar Sebastian, kan?”
Aku tertawa mendengar kalimatnya dan Richard tertawa bersamaku.
“Lihat, kau jauh lebih cantik saat tertawa seperti ini, Kim. Jangan sia-siakan pesonamu. Kau masih muda dan seharusnya bersama orang yang tepat,” hiburnya.
“Yeah. Siapa? Kau atau Sebastian?” candaku.
“Aku tidak keberatan jika harus menggantikan pacar toksik-mu. Kurasa aku akan jauh lebih baik.”
Aku tertawa makin keras.