Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Seattle, We're Coming

Pesawat mendarat mulus di Bandara Internasional Seattle-Tacoma, dan aku melangkah keluar bersama Richard. Udara sore yang sejuk menyambutku, berbeda sekali dengan hiruk-pikuk New York yang panas dan lembap. Langit sore di Seattle terlihat begitu berbeda, dihiasi oleh semburat warna oranye dan merah muda yang memantul di atas danau dan teluk yang mengelilingi kota ini.

Di depan bandara, aku bisa melihat Gunung Rainier yang megah berdiri kokoh di kejauhan, puncaknya yang putih bersalju memberikan kontras yang memukau dengan langit senja. Aku menarik napas dalam-dalam, merapatkan mantelku, pikiran tentang tugas yang menungguku membuat hatiku resah.

Richard berdiri di sampingku, matanya terpaku pada pemandangan indah di depan kami. “Seattle memang indah, ya?” katanya dengan nada suara yang tenang dan menenangkan.

“Ya, sangat,” jawabku, meski pikiran tentang Sebastian Haris yang kabur ke sini di saat genting terus mengganggu.

“Ayo, kita harus cepat. Mencari Sebastian bukan tugas yang mudah,” lanjut Richard, kembali ke nada serius. Aku mengangguk dan kami berdua mulai berjalan menuju pintu keluar.

“Sebelah sini. Salah satu agenku telah menyiapkan mobil untuk kita,” kata Richard. Aku mengikuti langkahnya. Sedikit takjub dengan cepat dan taktisnya gerak agensi tempat Richard dan Sebastian bernaung. Sepertinya perusahaanku bekerja kalah jauh.

Aku mendengus. Beruntung telah memutuskan untuk mengejar Sebastian bersama Richard.

Kami menuju ke sebuah mobil SUV yang elegan dan modern, cocok untuk melanjutkan pencarian kami. Seperti biasa, Richard bersikap elegan dengan membukakan pintu untukku sebelum ia sendiri menuju ke kursi pengemudi.

Richard mengendalikan mobil melaju mulus di jalanan yang mengarah ke pusat kota, melewati pemandangan indah Gunung Rainier yang kulihat tadi. Aku menatap ke luar jendela, mencoba menyerap keindahan Seattle yang baru pertama kali ini kunikmati.

Richard, yang duduk di kursi pengemudi, tampak begitu percaya diri dan tenang. Dia mengatur kontrol musik, memilih alunan jazz lembut yang lumayan membantu menenangkan ruwetnya pikiranku.

“Hiro, jadi di mana posisi dia sekarang?”

Aku menoleh ke arahnya. Richard telah menyambungkan ponselnya pada pelantang dan menghubungi seseorang. Sekarang aku bisa mendengar jawaban secara langsung.

“Damn the Weather,” jawab suara itu. Suara pria tetapi dengan tone lebih ringan dari suara Richard.

“Damn shit!” maki Richard, lebih ke arah bercanda. Damn the Weather dilanjut dengan Danm shit. Maka aku tertawa pelan bersamanya. “Di mana pula. Berikan aku alamatnya, Hiro. Supaya aku tak perlu memeriksa map.”

"Di 116 First Avenue South, pertama, kau keluar dari area bandara dan ambil jalan ke I-5 North. Lanjutkan di sana sampai kalian melihat penanda untuk Alaskan Way."

Richard mengulangi instruksi tersebut agar aku juga bisa mengikutinya. "Keluar dari bandara, ambil I-5 North, dan cari penanda Alaskan Way. Lanjut?"

"Benar," jawab Hiro. "Setelah itu, ambil exit ke arah Alaskan Way dan terus lurus sampai kalian melihat penanda untuk First Avenue. Damn the Weather terletak di 116 1st Avenue South. Tempatnya ada di sebelah kanan jalan."

"Exit ke Alaskan Way, lurus sampai 1st Avenue, Damn the Weather ada di 116 1st Avenue South, sebelah kanan jalan. Terima kasih, Hiro," kata Richard dengan senyum kecil di wajahnya.

Hiro menambahkan, "Tidak masalah, Rick. Semoga kamu bisa mengejarnya."

"Kami akan kabari jika sudah sampai, bye," ujar Richard.

“Kami? Wait, kau bersama siapa?!” Terdengar seruan Hiro sebelum sambungan ponsel benar-benar terputus. Aku dan Richard tertawa pelan mendengar keterkejutan pria yang dipanggil Hiro.

Aku merasa sedikit lebih tenang setelah mendengar instruksi yang jelas dan situasi lucu dengan Hiro. "Sepertinya kita punya rute yang pasti sekarang," kataku, merasa lebih yakin.

"Ya, kita akan menemukannya dengan mudah," kata Richard.

Saat mobil kami berhenti di depan Damn the Weather, hari mulai beranjak malam. Langit Seattle mulai menggelap. Lampu-lampu kota mulai menyala demikian juga di tepi pedestrian tempat Richard memarkirkan mobilnya.

Aku dan Richard turun dari mobil, udara malam yang sejuk menyambut kami. Pria ini berjalan di sampingku, langkahnya tegas dan penuh percaya diri.

Seperti yang telah disampaikan oleh Hiro, tempat yang kami tuju terletak di 116 1st Avenue South, dan suasananya benar-benar seperti yang dibayangkan, unik dan ramah. Tepat seperti tempat yang akan kau pilih saat ingin menyembunyikan diri di tengah keriuhan dan kesumpekkan pikiran. Aku yakin, Sebastian akan mampu membaur dengan baik di sini.

Kami bisa melihat dari luar, interior yang hangat dengan cahaya temaram. Meja-meja kayu, kursi yang nyaman menghiasi ruangan. Aroma koktail yang segar dan makanan lezat langsung tercium saat kami membuka pintu.

Lonceng kecil berbunyi saat kami masuk, dan suasana langsung berubah hangat. Pengunjung menikmati malam mereka dengan tawa dan percakapan ceria. Aku memandang sekeliling, mencari sosok Sebastian Haris di antara kerumunan. Suara musik jazz yang lembut mengalun dari pengeras suara, membuat langkah kami yang seperti mencari mangsa, tersamarkan.

Richard berbicara singkat dengan pelayan, menjelaskan tujuan kami. Pelayan tersebut mengangguk dan menjawab dengan beberapa kalimat yang tak dapat aku dengarkan dengan baik. Aku langsung mendapatkan firasat buruk saat bahu Richard menurun dan ia mengusap wajahnya terlihat frustasi.

“Dia sudah pergi?” tanyaku pada Richard yang menunduk menghampiriku. Ia menggeleng pelan.

“Baru saja,” keluhnya. Aku segera mengeluhkan dengan nada sama. Padahal aku merasakan sendiri bagaimana Richard setengah ngebut kemari.

“Pesanlah makan, Kim. Kau belum makan malam.”

“Hei, kau juga belum, bukan?”

Richard hanya mengangguk dengan tatapan tak fokus. Aku menyentuh lengannya dan dia segera menatapku dengan matanya yang dalam dan menenangkan.

“Mari makan dulu. Jika perut kita kenyang, kita bisa berpikir lebih baik,” kataku lembut, tak lupa kupamerkan senyum manis agar dia tenang. Mata Richard mengerjap.

“Ya ... tentu. Tentu saja, mari kita makan dulu.”

Pada akhirnya, kami memesan makanan di sini. Selama menunggu pesanan diantarkan, kami sibuk dengan ponsel masing-masing. Aku juga perlu menelepon Brigitte dan menyampaikan posisiku. Lalu aku menelepon Madam Rosaline, CEO kami. Aku melaporkan sebisa mungkin kondisiku saat ini dan meminta maaf karena menyerahkan urusan di kantor kepada Brigitte.

“Kami bisa menanganinya di sini, Dear. Lalu bagaimana denganmu? Apakah kau berhasil mendapatkannya?” tanya Madam Rosaline lembut.

“Belum, Mam. Kami terlambat sekian menit. Dia baru saja meninggalkan tempat ini.”

“Kami?” Madam Rosaline terdengar keheranan.

“Oh, maaf. Aku bersama dengan Richard. Dia karyawan United Talent Agency yang menaungi Sebastian,” jelasku lagi.

“Bagaimana bisa kalian bersama? Oh, lupakan. Tidak penting. Yang penting dapatkan Sebastian, Dear.”

“Baik, Mam. Aku akan usahakan sebaik mungkin.”

“Kirimkan tagihanmu ke perusahaan, Kim. Jangan ditanggung sendiri. Aku tahu kamu masih menanggung hutang Chad, bukan?”

Aku menghela napas berat tanpa bisa aku tutupi. “Ya, Mam. Aku akan melakukannya,” sahutku lemah. Sejurus kemudian sambungan terputus.

“Masalah?” tanya Richard penuh simpati.

“Ha? Oh, tidak. Bukan masalah. Atasanku adalah wanita terbaik di seluruh Manhattan,” jawabku. Richard tertawa geli.

“Oke, berarti masih Chad masalahnya?”

Aku melotot, “Bagaimana kamu tahu nama pacarku?”

Richard menatapku tak percaya, melirik ke arah ponsel ku yang ada di atas meja.

“Aku mendengar pembicaraanmu, sejak di San Fransisco. Lagipula, kau pakai pelantang tadi.”

Oh, crap! Di sini terlalu berisik. Aku nyaris tidak mendengar kalimat Brigtte. Maka aku menyalakan pelantang dengan volume rendah saat bicara dengan Madam Rosaline. Tetapi aku tetap melekatkan ponsel ke telingaku. Bagaimana Richard bisa tetap dengar. Aku mengeluh pendek.

“C’mon, Kim. Kamu cantik. Mengapa kamu mempertahankan pria yang jelas hanya memanfaatkanmu?” ujar Richard. Aku mendelik padanya. Ini melewati batas, ia terlalu turut campur.

Mendadak ponselku berbunyi. Kami berdua melirik ke arah yang sama dan jelas terbaca di layar. Lover.

Entah mengapa aku malu. Aku meraih ponsel dengan cepat agar Richard tak perlu lama-lama membaca nama yang aku sematkan pada nomor Chad.

“Halo!” tukasku, masih terbawa emosi pada Richard hingga tak sadar sedikit membentak.

“Bitch! Kau tidak memberiku kabar dan sekarang berani bernada tinggi padaku?” bentak Chad. Aku menahan napas karena terkejut. Sungguh, aku tak bermaksud membentaknya.

“Maaf, Chad. Aku terbawa emosi di sini.”

“Jangan banyak alasan! Mulutmu memang besar, pantas saja punyaku masuk leluasa. Kapan kau pulang, hah!”

Aku memijit kening. Kepalaku semakin pusing mendengar kata-kata kasar Chad. “Aku belum tahu, Chad. Mungkin besok. Pulang kapan bukan satu-satunya masalah. Aku bisa saja tidak menemukan Sebastian yang berarti kontrak bisa gagal.”

“Apa peduliku, Bitch! Aku tanya kapan kau pulang karena tidak ada makanan di apartemen! Kau melewatkan belanja mingguan!”

Kembali aku menarik napas berat. Seketika kepalaku terasa pusing. Kami memang tinggal bersama, bukankah belanja mingguan seharusnya menjadi kewajiban bersama?

“Besok, ya?” kataku pelan.

“Kalau besok kau belum bisa pulang, kirim saja uangnya tolol! Kau tidak kenal transfer bank? Hidup di jaman apa kau?”

“Iya, Chad. Akan aku lakukan.” Aku menyerah. Aku hanya mau dia diam supaya aku bisa berpikir jernih. Chad mematikan sambungan telepon dan aku kembali ke meja tempat Richard berada.

“Aku mendapatkan kartu kreditnya, Rick. Dia menginap di Fairmont Olympic Hotel.”

Mataku segera mencari mata Richard ketika mendengar suara Hiro dari pelantang ponsel pria itu. Dengan cepat kami bergegas. Seolah kami satu tim yang sempurna berkordinasi. Richard menyiapkan pembayaran sementara aku sigap membantu membereskan dokumen Richard dan memasukkan dalam tas kerjanya.

Kami bergerak serasi kembali menuju ke parkiran mobil.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel