Bab 8 Konspirasi dan Pengkhianatan
Cahaya mentari pagi menyelinap masuk melalui jendela besar di ruang kerja Bram, tapi atmosfer di dalam tetap berat. Bram berdiri di depan mejanya, menatap dokumen yang baru saja diserahkan Alex Pranoto, CFO perusahaan. Di belakangnya, Reva berdiri dengan raut wajah serius, matanya terus mengamati reaksi Bram.
“Jadi ini bukti tambahan yang kamu temukan?” tanya Bram tanpa menoleh, suaranya datar namun sarat emosi.
Alex mengangguk. “Samuel telah memberikan akses ke beberapa dokumen rahasia lainnya. Dari sana, saya menemukan pola transfer yang menunjukkan bahwa Pak Vincent dan Ibu Clara sudah merencanakan ini selama lebih dari setahun.”
Reva melangkah maju, mengangguk sambil melirik dokumen di tangan Bram. “Dan sekarang mereka punya alat bukti palsu yang bisa digunakan untuk menggoyahkan posisimu di depan dewan.”
Bram menghela napas berat, lalu melempar dokumen itu ke atas meja. “Semua orang di sekitarku tampaknya ingin menjatuhkanku. Lalu kenapa aku harus percaya kalian berdua?”
Alex tampak tersinggung, tapi sebelum dia sempat berbicara, Reva menyela. “Dengar, Pak Bram. Saya ngerti kenapa Bapak merasa nggak bisa percaya sama siapa pun. Tapi Pak Alex dan saya nggak akan berdiri di sini kalau niat kami buruk. Saya nggak akan buang waktu untuk ngebantu Bapak ngungkap ini semua.”
Bram berbalik, matanya menatap tajam ke arah Reva. “Lalu kenapa? Apa untungnya buat kamu?”
Reva tersenyum sinis, meski ada luka kecil di matanya. “Kadang nggak semua hal soal untung, Pak Bram. Kadang saya cuma nggak suka liat orang nggak bersalah diinjak-injak.”
Alex, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Bram, kami di sini melihat ketidakadilan dan berdiri untuk melawannya. Kamu adalah garis keturunan yang sah. Kamu mendapatkan hak sepenuhnya dan kamu sudah membuktikan kerja kerasmu untuk membawa perusahaan ini menjadi lebih baik dan menguntungkan.”
Bram terdiam mendengar kalimat Alex.
“Dan sekarang, setelah perusahaan berkembang sebesar ini, Clara dan Vincent mau merampoknya begitu saja. Menurutmu aku dan Reva akan tinggal diam?!” lanjut Alex.
“Benar, Pak Bram. Kami melihat yang jahat tak seharusnya menang. Ini bukan soal untung rugi, tetapi siapa yang layak memimpin perusahaan ini.” Reva kembali berbicara untuk Bram yang sedang patah hati atas kelakuan keluarganya.
“Kita tidak punya banyak waktu. Rapat dewan berikutnya sudah dijadwalkan minggu depan. Jika mereka membawa bukti palsu ini ke dalam rapat, posisimu akan terancam.”
Siang itu, Reva dan Alex bekerja keras di kantor Alex, mengurai setiap dokumen yang diberikan Samuel. Mereka berdua mempelajari pola transfer dana, kontrak manipulatif, dan korespondensi rahasia antara Vincent dan Samuel.
Reva menunjuk layar laptopnya. “Lihat ini. Ada email dari Vincent yang jelas-jelas menyuruh Samuel untuk mengubah angka-angka di laporan triwulan kedua.”
Alex mendekat, membaca isi email tersebut. “Kalau ini diajukan sebagai bukti, kita bisa langsung membantah laporan keuangan yang mereka siapkan.”
Reva mengangguk, lalu mengetik cepat di laptopnya. “Saya juga dapat rekaman CCTV di lantai 10, tempat Samuel biasa bekerja larut malam. Di rekaman itu, dia terlihat bertemu dengan seseorang yang kemungkinan besar adalah William.”
Alex tersenyum puas. “Ini bisa jadi bukti tambahan yang kuat. Kita hanya perlu memastikan bahwa rekaman itu tidak bisa dihapus atau diubah sebelum kita membawanya ke rapat.”
Di malam harinya, Reva kembali ke ruang kerja Bram dengan flash drive berisi semua bukti yang telah mereka kumpulkan, ditambah dengan bukti-bukti dari Samuel. Bram sedang duduk di sofa, matanya terpejam, tapi begitu mendengar suara pintu terbuka, dia langsung bangkit.
Reva menghampirinya, meletakkan flash drive di atas meja. “Semua ada di sini. Bukti email, pola transfer, dan rekaman CCTV. Termasuk bukti dari Sam juga. Ini lebih dari cukup buat menunjukkan siapa dalang sebenarnya.”
Bram menatap flash drive itu dengan ragu, lalu mengalihkan pandangannya ke Reva. “Dan kamu yakin semua ini tidak akan mengkhianatiku di detik terakhir?”
Reva menghela napas, menahan emosinya. “Pak Bram, Bapak boleh nggak percaya sama siapa pun, tapi saya di sini buat bantu Bapak. Sudah terlalu jauh langkah saya. Kalau saya pengen Bapak jatuh, saya sudah lakukan dari awal, lalu bisa aja kabur sebelum Bapak menyadari.”
Bram terdiam sejenak, lalu duduk kembali di sofa, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Maaf,” gumamnya pelan. “Aku tahu aku sulit dipercaya.”
Reva duduk di sebelahnya, menatapnya dengan lembut. “Bapak nggak perlu minta maaf. Dengan latar belakang Bapak, saya paham kenapa Bapak jadi kayak gini. Tapi, saya harap Bapak tahu, nggak semua orang di dunia ini ada di pihak musuh.”
Bram mengangkat wajahnya, menatap Reva. Untuk pertama kalinya, ada sedikit kelembutan di matanya. “Terima kasih, Reva.”
“Anytime, Pak,” jawab Reva singkat, tapi sarat makna.
Keesokan harinya, Bram memanggil rapat darurat dengan beberapa direktur terpercaya. Dalam rapat itu, ia mempresentasikan semua bukti yang telah dikumpulkan oleh Reva dan Alex.
Di tengah presentasi, Bram berdiri tegak, memandang seluruh anggota rapat. “Saya tahu beberapa dari Anda mungkin mempertanyakan kepemimpinan saya selama ini. Tapi apa yang Anda lihat di laporan keuangan terakhir adalah hasil dari manipulasi yang dirancang untuk menjatuhkan saya.”
Alex kemudian mengambil alih, memaparkan bukti-bukti dengan detail. “Dengan ini, kami meminta dewan untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap Ibu Clara Santoso dan Bapak Vincent Santoso.”
Salah satu direktur, Remy Hardono, angkat bicara. “Jika semua yang Anda katakan ini benar, maka mereka tidak hanya menyerang Anda, Bram, tapi seluruh perusahaan. Kami akan mendukung investigasi ini sepenuhnya.”
Setelah rapat selesai, Bram kembali ke ruangannya, diikuti oleh Reva. Kali ini, ada sedikit kelegaan di wajahnya.
“Kamu berhasil,” kata Bram sambil menatap Reva.
“Belum,” jawab Reva sambil tersenyum. “Tapi kita sudah ada di jalan yang benar.”
Bram mengangguk, lalu menatap Reva dengan penuh rasa terima kasih. “Aku berhutang banyak padamu, Reva.”
Reva tertawa kecil. “Santai aja, Bos. Saya masih butuh gaji bulan depan, kok.”
Mereka berdua tertawa, untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, merasa beban sedikit lebih ringan. Di tengah badai, ada harapan yang mulai tumbuh.
“Bagaimana kalau aku mentraktirmu makan malam? Katakanlah sebagai penghargaan dan perayaan?” tawar Bram.
“Wah? Serius? Saya gak akan sungkan, lho. Saya akan minta ditraktir di tempat yang mahal!” seru Reva.
“Apapun, Rev. Apapun. Kamu bebas memilih.” Bram berkata sambil meraih kunci mobilnya. Reva nyaris bersorak dan melonjak kalau ia tidak malu.
Wanita itu bergerak cepat kembali ke meja kerja dan membereskan semua, lalu melangkah bersama Bram menuju ke lift.
Bolehkah Reva berharap ini adalah kencan?
Reva tertawa sendiri dengan pikiran absurd di kepalanya. Bram menatap heran membuat tawa Reva makin kencang dan menularkan tawa yang sama pada Bram.