Bab 7 Momen Kritis di Balik Topeng CEO
Hening menyelimuti ruang kerja Bram. Suara detik jam dinding terdengar jelas, makin memberikan tekanan tak kasat mata. Bram duduk membeku, matanya tertuju pada laporan keuangan yang tergeletak di atas meja. Ia tahu permainan licik sedang berlangsung, dan pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya bisa ia percayai.
Laporan keuangan itu menunjukkan jika Bram melakukan manipulasi dan sebagian besar laba perusahaan masuk ke rekening pribadinya. Dengan kondisi ini, akan membuat para pemegang saham merasa dirugikan. Efeknya, mereka bis amenuntut agar Bram diturunkan dari jabatannya secara tidak hormat. Belum lagi ancaman pidana maupun perdata.
Sekali lagi Bram menghela napas dengan berat, dia yang bertahun-tahun bekerja sebaik mungkin karena perusahaan ini adalah warisan ayah kandungnya, mustahil melakukan kejahatan hina seperti ini.
Clara Santoso, ibu tirinya, bersama Vincent Santoso, pamannya, telah merancang skema ini dengan sempurna. Bram sadar, ini bukan hanya soal laporan keuangan. Ini soal kendali. Mereka ingin menggulingkannya, merebut posisinya, dan demikian merayu para pemegang saham agar memberikan jabatan CEO kepada William Darmawan, adik tiri yang sejak dulu selalu menjadi kesayangan Clara.
Di ruang rapat darurat, suasana memanas. Bram duduk di depan papan presentasi, berusaha menjaga ketenangan. Di sebelahnya, Reva duduk dengan tangan bersilang, memperhatikan setiap pernyataan dengan seksama.
Alex Pranoto, CFO perusahaan, membuka rapat dengan nada serius. “Saya telah melakukan audit mendalam terkait laporan keuangan kita yang bermasalah.” Alex menatap setiap orang di ruangan yang merupakan staf dari Departemen Keuangan yang dipimpinnya. “Dan saya menemukan bukti manipulasi. Dana sebesar 50 miliar rupiah dialihkan ke akun perusahaan cangkang.”
Tarikan napas tertahan terdengar dari beberapa direktur yang turut hadir.
“Pelakunya adalah Samuel Hartono, manajer keuangan kita,” lanjut Alex. “Dia bertindak atas perintah langsung dari Vincent Santoso.”
“Bagaimana bisa?” tanya salah satu direktur sekaligus salah satu pemegang saham, Nadya Wijaya, dengan nada penuh ketidakpercayaan.
Alex menghela napas. “Vincent menggunakan posisi Samuel untuk menciptakan lubang keuangan ini, yang kemudian akan digunakan sebagai alasan untuk mempertanyakan kepemimpinan Bram. Tujuannya jelas, agar William Darmawan dapat menggantikan Bram sebagai CEO.”
Reva melirik Bram. Wajahnya tetap tenang, tapi tangan yang menggenggam pulpen tampak gemetar. Ia tahu, di balik sikap dinginnya, Bram sedang bergulat dengan amarah dan kekecewaan. Kali ini rencana Clara terendus oleh Alex yang merupakan sekutu terbaik Bram. Entah, serangan apa lagi yang akan dilancarkan jika yang ini gagal.
Setelah rapat selesai, Reva mengetuk pintu ruang kerja Bram tanpa menunggu jawaban dan langsung masuk. Ia menemukan Bram duduk dengan kepala tertunduk, tangan terkepal di atas meja.
“Pak Bram,” panggil Reva pelan.
Bram mengangkat kepalanya. Wajahnya lelah, matanya tampak kosong. “Aku… aku nggak tahu lagi harus ngapain, Reva,” katanya, suaranya hampir berbisik. Tangannya meremas rambutnya sendiri. Dasinya tergantung miring di kerah lehernya. Tampang Bram tampak awut-awutan kali ini.
Reva mendekat, duduk di kursi di depan Bram. Untuk sesaat, ia hanya diam, membiarkan Bram meresapi perasaannya.
“Bapak nggak sendiri,” ujar Reva akhirnya. “Saya dan Pak Alex ada di sini. Kita bakal lewatin ini bareng-bareng.”
Bram menatap Reva, ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di matanya. “Kenapa kamu masih di sini? Setelah semua kekacauan ini, kamu bisa saja pergi. Sekeretaris kompeten sepertimu bisa memilih perusahaan manapun yang kamu mau, Rev.”
Reva tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar getir. “Saya barbar tapi saya loyal, ingat? Saya nggak ninggalin orang yang lagi butuh bantuan. Terutama kalau itu adalah Bapak, atasan saya langsung.”
Bram tersenyum tipis untuk pertama kalinya malam itu. Namun senyum itu segera memudar. “Aku selalu tahu mereka membenciku. Tapi aku nggak pernah menyangka mereka akan sejauh ini.”
“Bu Clara dan Pak Vincent emang licik,” kata Reva. “Tapi kita bisa lawan mereka. Kita punya Pak Alex sebagai saksi, dan Samuel pasti bisa ditekan untuk mengakui semuanya.”
Bram mengangguk pelan, tapi masih ada keraguan di matanya. “Kamu nggak tahu seberapa dalam pengaruh mereka, Reva. Paman Vincent punya koneksi kuat. Dan Ibu… dia selalu tahu cara menjatuhkanku.”
Reva mencondongkan tubuh ke depan, menatap Bram dengan serius. “Bapak lupa? Saya udah tau sisi gelap keluarga Bapak. Saya nggak takut, Pak Bram. Kita bakal hancurin rencana mereka satu per satu.”
Malam semakin larut, tapi cahaya di ruang kerja Bram tetap menyala. Keduanya terus berdiskusi, menyusun strategi untuk menghadapi skandal ini.
“Langkah pertama,” kata Reva, menulis di papan tulis, “kita harus dapatkan pernyataan resmi dari Samuel. Dengan tekanan yang tepat, dia pasti mau buka suara.”
Bram mengangguk. “Aku akan bicara langsung dengannya. Kalau perlu, aku panggil tim hukum untuk menyiapkan semuanya.”
“Bagus,” kata Reva. “Dan soal Mas William…”
Bram mengepalkan tangannya. “William hanya pion. Dia nggak punya pengalaman atau kapasitas untuk memimpin. Tapi Ibuku selalu melihatnya sebagai penerus yang sempurna.”
Reva mendengus. “Penerus sempurna yang bahkan nggak bisa bikin keputusan sendiri. Dia hanya boneka Bu Clara.”
Bram mengangguk setuju. “Dan itulah yang mereka inginkan. Kendali penuh di tangan Ibu dan pamanku tiri, by the way,” dengkusnya.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, Bram merasa sedikit lega. Dengan Reva di sisinya, ia tidak lagi merasa sendirian dalam menghadapi badai ini.
Keesokan harinya, Samuel Hartono dipanggil ke kantor Bram. Dengan bukti yang telah dikumpulkan Alex dan tim, Bram menekan Samuel untuk mengungkap seluruh konspirasi.
Di bawah tekanan, Samuel akhirnya menyerah. “Ya, saya melakukannya,” akunya dengan suara gemetar. “Tapi itu semua atas perintah Pak Vincent. Dia bilang ini hanya untuk sementara, bahwa dana itu akan dikembalikan begitu William mengambil alih.”
“Pengakuan memang penting, Sam. Tetapi lebih penting lagi adalah bukti. Berikan buktinya kepada kami kalau kamu memang menyesali tindakan bodohmu ini.” Reva berbicara sambil ditatap Bram yang cukup terkejut karena Reva berani mengambil tindakan ini dan mempertontonkan ia berada di sisi Bram dengan demikian melawan Clara dan antek-anteknya.
Samuel menganggu, “Ada,” ujarnya pelan.
“Semua perintah yang saya dapat memang saya rekam untuk keamanan saya sendiri. Saya akan berikan semua kepada Ibu Reva dan Pak Bram.”
Pengakuan itu menjadi kunci untuk membongkar skema Clara dan Vincent. Dengan bukti tersebut, Bram dan tim hukumnya siap melaporkan keduanya ke dewan direksi dan, jika perlu, ke pihak berwenang.
Namun, Bram tahu bahwa ini baru permulaan. Perang melawan keluarganya sendiri tidak akan mudah, tapi dengan dukungan Reva dan timnya, ia siap menghadapi apa pun.
Dalam hati kecilnya, ia mulai menyadari bahwa Reva bukan hanya sekadar sekretaris. Dia adalah sekutu, dan mungkin lebih dari itu.