Bab 6 Pertarungan Ego yang Membara
Langit di luar kantor PT BramCorp panas membara, mencerminkan suasana tegang di dalam ruang rapat. Bram duduk di ujung meja, sementara Reva berdiri dengan tangan bersilang, menatapnya tajam. Di hadapan mereka, dokumen kerjasama dengan PT SynTech Global, sebuah perusahaan teknologi ternama, tergeletak di atas meja.
“Kerjasama ini penting untuk ekspansi digital kita,” kata Bram dengan suara datar, tapi penuh ketegasan. “SynTech memiliki teknologi yang bisa meningkatkan efisiensi operasional kita.”
Reva menahan napas, mencoba meredam emosinya. “Tapi mereka punya masalah besar, Pak Bram. SynTech terbukti gagal melindungi data pelanggan. Mereka bahkan pernah kena kasus kebocoran data tahun lalu.”
“Dan itu bukan data kita,” balas Bram, nadanya mulai meninggi. “Yang penting, mereka punya teknologi terbaik.”
Reva menggeleng. “Bapak nggak bisa nganggap enteng isu privasi, Pak Bram. Ini bukan cuma soal teknologi. Kalau ada kebocoran data pelanggan kita, reputasi perusahaan ini bakal hancur.”
Suasana mulai panas. Beberapa karyawan yang berada di ruang lain mencuri-curi pandang, merasa canggung dengan ketegangan yang meningkat di antara CEO mereka dan sekretarisnya.
“Reva, aku CEO di sini,” ujar Bram, berdiri dari kursinya. “Aku yang memutuskan.”
Reva balas berdiri, tidak mau kalah. “Dan saya sekretaris Bapak, tugas saya ngasih Bapak masukan yang benar. Kalau Bapak tetap maksa, saya bakal terus ngingetin Bapak tentang risikonya.”
Bram menatap Reva dengan tajam. “Sampai kamu tahu siapa yang berkuasa di sini, Reva.”
Reva mendengus, melipat tangan di dada. “Pak Bram, Bapak tuh keraaas kepala banget! Mau sampai kapan kayak gitu?”
Perdebatan mereka berlanjut, bahkan hingga terdengar di luar ruang rapat. Beberapa karyawan di open office mulai berbisik-bisik.
Di sudut kubikel, tiga karyawan, Doni, Siska, dan Arnawa, mengamati dari kejauhan.
“Pak Bram kena batunya kali ini,” bisik Doni, sambil menyeruput kopinya. “Sekretaris barbar, bro!”
Siska terkekeh. “Iya, baru kali ini ada yang berani lawan Pak Bram kayak gitu. Biasanya orang udah gemetar kalau dia marah.”
Arnawa mengangguk setuju. “Reva emang beda. Dia nggak takut sama siapa pun, bahkan CEO sekalipun.”
“Menurut loe, bakal sampai kapan mereka berantem kayak gitu?” tanya Siska.
Doni mengangkat bahu. “Entahlah, tapi kalau terus begini, kita bisa aja lihat salah satu dari mereka ada yang ‘meledak’.”
Mereka bertiga tertawa pelan, meskipun ada rasa khawatir di balik candaan itu.
Sementara itu, di ruang rapat yang dekat dengan ruang kerja Bram, perdebatan masih berlanjut.
“Dengar, Reva,” kata Bram, nadanya lebih rendah tapi tetap tajam. “SynTech adalah mitra strategis. Kalau kita mundur sekarang, kita kehilangan momentum.”
Reva menghela napas panjang. “Dan kalau kita terus maju, kita ambil risiko besar. Saya ngerti kalo Bapak ambisius, tapi nggak semua hal harus dipaksakan, Pak Bram. Saya bicara seperti ini berdasarkan riset dan analisa, gak ngawur!”
Bram terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah Reva. Ada sesuatu dalam cara Reva berbicara yang membuatnya berpikir. Namun, egonya masih terlalu besar untuk mengakui bahwa Reva mungkin benar.
“Aku sudah memutuskan,” katanya akhirnya, meskipun suaranya tidak lagi setegas sebelumnya. “Kita lanjut dengan SynTech.”
Reva menatap Bram, kecewa. Tapi ia tahu bahwa perdebatan lebih lanjut hanya akan memperburuk situasi.
“Baik,” katanya pelan. “Tapi kalau nanti ada masalah, jangan bilang saya nggak ngingetin Bapak.”
Bram tidak menjawab. Reva keluar dari ruangannya dengan langkah cepat, meninggalkan Bram sendirian.
Malam itu, saat suasana kantor mulai sepi, Bram duduk di meja kerjanya, memikirkan perdebatan tadi. Kata-kata Reva terus terngiang di kepalanya.
‘Dia punya poin. Tapi apa aku benar-benar harus mendengarnya?’ pikir Bram kalut.
Di sisi lain, Reva juga belum pulang. Dia masih di mejanya, mempelajari laporan risiko SynTech dengan cermat. Meskipun ia marah pada Bram, ada sesuatu yang membuatnya tetap peduli.
“Kenapa gue masih peduli sama orang keras kepala itu?” gumamnya, frustrasi.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Reva tahu bahwa dia peduli karena ia mulai memahami siapa Bram sebenarnya. Di balik sikap dingin dan otoriter itu, ada pria yang terluka oleh masa lalunya, seseorang yang kesulitan mempercayai orang lain.
Dan meskipun Reva benci mengakuinya, dia ingin membantu Bram, meskipun itu berarti terus berdebat dengannya.
Esok paginya, ketika mereka bertemu di ruang kerja Bram, suasana masih tegang. Namun, kali ini, ada keheningan aneh di antara mereka.
Bram akhirnya bicara lebih dulu. “Reva, aku pikirkan lagi soal SynTech.”
Reva mengangkat alis, terkejut. “Dan?”
“Kita akan menunda kerjasama sementara, sampai mereka bisa memberikan jaminan keamanan data yang lebih baik,” kata Bram, meskipun suaranya terdengar enggan.
Reva tersenyum tipis. “Pilihan yang bijak, Pak.”
Bram menatapnya dengan mata tajam tapi lebih lembut. “Jangan terbiasa menang, Reva. Aku masih pemimpinnya.”
Reva tertawa kecil. “Selama Bapak bikin keputusan yang benar, saya nggak akan protes.”
“Baiklah. Sekarang bersiaplah. Bawa dokumen pendukung dan ikut aku bertemu dengan CEO Syntech. Kita akan membicarakan ulang keputusan baru kita dengan mereka. Mulut tajammu sepertinya akan berguna di sana.”
Reva tertawa mendengar sindiran Bram, “Siap, Pak. Saya tahu kok Bapak sesekali butuh mulut tajam saya. Kadang, saya juga bisa mode pedas seperti seblak level sepuluh. Mau coba?”
Bram mendengus sambil menggeleng dengan wajah geli. Reva sendiri sudah memutar tumitnya dan kembali menuju ke meja kerja untuk menyiapkan permintaan Bram sekaligus bersiap menemaninya rapat di luar kantor.
Meski perdebatan mereka sering kali sengit, baik Bram maupun Reva tahu bahwa di balik semua itu, ada rasa hormat yang tumbuh. Dan mungkin, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa hormat.
Di ruang rapat PT. Syntech yang berlapis kaca, Bram dan Reva duduk berhadapan dengan CEO Syntech, Darren Alvaro, yang tampak tidak nyaman sejak pembukaan pertemuan.
“Pak Darren, kami menghargai rencana kerjasama ini. Tapi setelah evaluasi menyeluruh, kami menilai Syntech kurang bisa melindungi data pelanggan sesuai standar Bramcorp. Kami ingin mempertimbangkan penundaan kerjasama.” Kalimat Bram tenang dan tertata tapi cukup mengejutkan untuk Darren. Pria yang tampak seusia dengan Bram itu mengerutkan dahi, tampak tidak setuju.
“Penundaan? Maksudnya apa, Pak Bram? Syntech sudah menyediakan solusi paling mutakhir yang kami miliki. Kami telah memenuhi setiap permintaan PT. Bramcorp dengan sangat baik.”
“Rev?” Bram yang duduk bersandar dan menopang dagu dengan tangan kanan, melirik ke arah Reva yang ada di sampingnya. Dengan segera, perhatian Darren juga beralih ke sekretaris PT Bramcorp itu.
Reva dengan tenang, sambil membuka laptop, “Benar, Pak Darren. Tapi ada temuan yang perlu kami sampaikan. Ini menyangkut potensi celah keamanan dalam sistem enkripsi Syntech.”
Darren terdiam, tapi masih menunjukkan ketidaksetujuannya. “Kami sudah melakukan pengujian intensif. Sistem kami aman.”
Reva mengarahkan layar laptopnya ke arah Darren dan tim Syntech, menampilkan laporan teknis lengkap yang ia kumpulkan semalam.
“Ini laporan yang disusun tim kami. Ada setidaknya tiga titik rentan dalam modul keamanan Syntech, yang bahkan memungkinkan peretasan data pelanggan. Anda bisa lihat di sini, di halaman 12.”
Darren dan timnya terkejut, saling bertukar pandang sambil meneliti dokumen digital yang Reva sodorkan. Wajah Darren perlahan berubah, seolah kehilangan argumen.
“…Baiklah, kami akui ini temuan yang serius. Tapi itu bukan berarti Syntech tak mampu mengamankan data.”
Bram memandang Darren dengan tenang. “Kami paham, Pak Darren. Karena itu, kami ingin memberikan Syntech waktu untuk menyempurnakan sistem Anda. Kami siap mempertimbangkan kembali kerjasama setelah proposal baru yang lebih aman.”
Darren menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Ini akan makan waktu dan makan biaya. Ia perlu berhitung ulang. Namun, kerjasama dengan PT Bramcorp memang menggiurkan karena reputasinya akan ikut menaikkan nilai Syntech juga.
“Terima kasih, Pak Bram, Bu Reva. Kami akan memperbaiki kekurangan ini dan segera menyusun proposal baru yang memenuhi standar Bramcorp.”
Bram mengangguk, dan Reva tersenyum tipis. Pertemuan itu berakhir dengan kesepakatan yang memberi waktu bagi Syntech untuk berbenah, meski ada rasa ganjalan yang tersisa bagi Darren dan timnya.