Pustaka
Bahasa Indonesia

SEKRETARIS BARBAR CEO BRUTAL

11.0K · Tamat
Lara Aksara
10
Bab
146
View
9.0
Rating

Ringkasan

Reva, sekretaris barbar dengan sikap blak-blakan, terjebak dalam permainan ego dengan Bram, CEO brutal yang dingin dan tak kenal ampun. Di balik ketegangan dan adu argumen mereka, tersimpan rahasia kelam dan perasaan terpendam. Apakah permusuhan ini akan berakhir dengan cinta yang tak terduga?

MetropolitanPresdirBillionaireDewasaOne-night StandBaperWanita CantikTuan MudaMusuh Jadi CintaBalas Dendam

Bab 1 Pertemuan tak Terduga

Langit Jakarta pagi itu kelabu walau tak menurunkan gerimisnya, seperti menyiratkan sesuatu akan terjadi. Reva, perempuan 27 tahun yang selalu percaya diri dan blak-blakan, melangkah dengan penuh semangat ke gedung megah tempatnya akan mulai bekerja. Sudah lama ia menantikan tantangan baru, dan hari ini adalah debutnya sebagai sekretaris di salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, PT BramCorp.

Reva melangkah masuk ke gedung PT. Bramcorp dengan penampilan yang mencuri perhatian. Mengenakan blazer hitam ramping dengan potongan tegas, dipadukan blus putih yang sedikit longgar di bagian bahu, memberikan kesan profesional sekaligus edgy. Rok pensil selutut membalut tubuhnya, menampilkan siluet yang anggun tetapi terlihat kuat.

Sepatu hak tinggi hitam menambah tinggi tubuhnya, memberi kesan dominan pada langkahnya yang penuh percaya diri. Rambutnya yang panjang terikat rapi ke belakang, menyisakan beberapa helai poni yang jatuh alami di sisi wajah. Aksesori minimalis seperti jam tangan silver di pergelangan tangan kirinya dan anting kecil berbentuk stud menjadi sentuhan akhir yang mempertegas kesan tak gentar, siap menghadapi apapun, bahkan CEO terdingin sekalipun.

Namun, entah mengapa, perasaannya campur aduk. Antara antusias dan penasaran, ia juga mendengar berbagai cerita seram tentang CEO perusahaan ini, Bram Darmawan, pria muda yang katanya lebih dingin dari es di kutub utara.

“Kalau aku sampai dimarahin di hari pertama, ya sudahlah. Minimal bisa jadi bahan cerita,” gumam Reva sambil menatap pantulan dirinya di pintu kaca lobby.

Begitu memasuki gedung, Reva langsung disambut dengan suasana formal dan kaku. Para karyawan lalu-lalang dengan raut muka serius. Reva menggigit bibir, mencoba menyembunyikan senyum gugup. Ia harus bertemu CEO segera, tapi ia tak tahu di mana ruangan itu berada.

Di tengah kebingungannya, ia melihat seorang pria muda dengan setelan biru gelap sederhana berdiri di dekat lift. Pria itu tampak sedang melihat ponselnya, wajahnya tenang tapi tegas.

Tanpa berpikir panjang, Reva mendekat.

“Eh, Mas,” panggil Reva santai.

Pria itu mengangkat alis, matanya yang tajam menatap Reva. “Iya?”

“Saya anak baru nih. Bisa tolong tunjukin jalan ke ruang CEO? Saya udah muter-muter tapi nggak nemu juga,” katanya sambil menggaruk kepala, meski tidak gatal.

Pria itu mengerutkan dahi, namun kemudian menyembunyikan senyuman kecil. “Kamu mau ketemu siapa?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit nada hiburan dalam suaranya.

“Ya siapa lagi, CEO lah,” jawab Reva cepat. “Dengar-dengar orangnya galak banget, ya? Saya sih nggak takut. Kalau dia mulai galak, saya galakin balik!”

Pria itu menatapnya dalam-dalam. Ada keheningan singkat sebelum ia akhirnya berkata, “Oh, jadi kamu nggak sabar ketemu dia?”

Reva mengangguk antusias. “Banget! Eh, tapi Mas, kok kayaknya familiar, ya? Udah lama kerja di sini?”

Pria itu tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menekan tombol lift dan mengajak Reva masuk.

“Sini, aku antar. Tapi jangan kaget kalau ternyata kamu salah sangka soal CEO,” katanya misterius.

“Wah, kenal banget nih kayaknya sama dia. Ada bocoran nggak, Mas? Dia sukanya apa? Biar aku bisa cari muka duluan,” Reva terkekeh.

Pria itu hanya tersenyum tipis, lalu melirik jam tangannya. “Kamu akan tahu sebentar lagi.”

Lift berbunyi pelan, menandakan mereka telah sampai di lantai tertinggi. Pintu terbuka dan di hadapan mereka terhampar ruangan luas dengan pintu besar bertuliskan CEO Office. Reva menelan ludah.

“Wah, gede banget ruangannya! Pantes lah kalo CEO galak itu sombong beut,” celetuknya sembari melangkah keluar lift.

Pria itu berjalan perlahan menuju pintu, lalu berhenti dan berbalik ke arah Reva. Ia menyilangkan tangan di dada, menatap Reva dengan pandangan tajam.

“Kamu siap?” tanyanya.

Reva mengangguk penuh semangat. “Siap banget! Mau jumpa si galak kan? Eh, tapi kamu gak papa, Mas? Harus nganter aku sampe sini dan bakalan ketemu si galak juga?”

Pria itu menghela napas pelan, lalu membuka pintu dengan elegan. Ia masuk lebih dulu dan mempersilakan Reva mengikutinya.

Begitu Reva masuk, matanya langsung membelalak. Ruangan itu luas dan mewah, dengan meja besar di tengah dan jendela kaca yang memberikan pemandangan spektakuler kota Jakarta. Tapi yang lebih mengejutkan adalah pria yang tadi bersamanya. Ia malah terus berjalan dan kini berdiri di belakang meja besar itu dengan ekspresi datar, namun otoritatif.

“Selamat datang, Reva,” katanya dengan nada yang sama sekali berbeda. “Saya Bram Darmawan, CEO perusahaan ini.”

Reva membeku di tempat. Matanya membesar, mulutnya setengah terbuka, seolah-olah baru saja tersambar petir.

“Hah? Apa? Loe CEO-nya?!” Suaranya melengking. Sedetik kemudian Reva menutup mulut dengan kedua tangan, membungkam mulutnya yang barbar lalu menatap dengan pandangan meminta maaf.

Bram mengangguk pelan, lalu menyandarkan diri di kursinya. “Kamu tadi bilang, nggak sabar ketemu saya?”

Reva langsung merasa darahnya surut ke kaki. “Eh, maaf, Pak! Saya nggak tahu tadi... Saya kira... Astaga, saya pikir Bapak staf biasa!”

Bram menatapnya tanpa ekspresi, tapi ada sedikit kilatan di matanya, seperti sedang menahan tawa. “Jadi, kamu mau galakin saya balik kalau saya galak?” tanyanya, mengulang kata-kata Reva sebelumnya.

Reva merasa wajahnya mulai memanas. “Itu... bercanda aja, Pak. Beneran, nggak ada maksud apa-apa.”

Bram tetap diam sejenak, lalu ia tersenyum tipis. “Menarik. Kamu tahu nggak, sudah berapa lama saya tidak bertemu orang yang berani bicara seperti itu di hadapan saya?”

Reva menggeleng cepat. “Eh, maaf, Pak. Beneran, saya nggak maksud—”

“Duduk,” perintah Bram tegas, menunjuk kursi di depannya.

Dengan gemetar, Reva menuruti. Ia merasa seperti sedang diadili.

“Begini,” kata Bram akhirnya, nadanya lebih tenang. “Kamu sudah tahu reputasi saya, tapi saya juga ingin tahu lebih banyak tentang kamu. Kenapa kamu pilih pekerjaan ini?”

Reva menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. “Saya suka tantangan, Pak. Saya dengar posisi sekretaris di sini nggak mudah. Jadi, saya ingin membuktikan kalau saya bisa.”

Bram mengangguk perlahan, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Bagus. Tapi jangan lupa, tantangan terbesar kamu di sini adalah saya.”

Reva mengangguk, mencoba tersenyum meski hatinya berdebar-debar. “Siap, Pak. Saya akan berusaha sebaik mungkin.”

Bram menyandarkan diri ke kursi, wajahnya sedikit lebih lunak. “Bagus. Kita lihat sejauh mana keberanian kamu bertahan.”

Dengan itu, pertemuan pertama mereka berakhir. Namun, Reva tahu, ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh kejutan.

Keluar dari ruangan CEO, Reva merasa campur aduk. Di satu sisi, ia malu bukan main karena telah salah mengenali atasannya. Di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang menarik dari Bram Darmawan.

“Bapak CEO, ya?” gumamnya pelan sambil berjalan ke meja kerjanya. “Tunggu aja, Pak. Kita lihat siapa yang lebih galak.”

Namun, di sudut lain ruangan, Bram tersenyum tipis sambil menatap pintu yang baru saja tertutup. Dalam hati, ia sudah tahu bahwa hari-harinya ke depan akan jauh lebih menarik dengan kehadiran Reva Anggraini.