Bab 2 Misi "Menggembleng" Sekretaris Baru
Setelah pertemuan pertama mereka yang dirasa menghebohkan, Bram Darmawan merasa harga dirinya sebagai CEO sedikit terusik. Untung saja kala itu tidak ada orang lain di antara mereka. Tetapi cara bicara Reva sudah cukup dirasa merendahkan dirinya.
C’mon ... dia adalah CEO PT. Bramcorp, sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi dan inovasi perangkat lunak. Dikenal sebagai salah satu pemimpin industri, perusahaan ini berfokus pada pengembangan sistem keamanan siber, aplikasi manajemen data, dan solusi digital terintegrasi untuk bisnis besar hingga pemerintahan. Hasil usahanya meliputi software keamanan jaringan, platform analitik data, dan aplikasi yang memudahkan perusahaan dalam mengelola data sensitif secara aman. PT. Bramcorp juga dikenal memiliki klien-klien dari sektor korporasi hingga lembaga pemerintahan, menjadikan reputasinya sebagai perusahaan yang kuat dalam keamanan dan efisiensi teknologi bisnis.
Bagaimana bisa seorang sekretaris baru yang kelihatannya baru saja lulus kuliah, bahkan sebelum mengetahui siapa dia dan sebesar apa perusahaannya, dengan santainya bercanda tentang betapa galaknya dirinya?
Antara Reva ini bodoh atau naif?
Bram menatap layar laptop di hadapannya. Ia memutar-mutar pena di tangannya, senyum tipis terukir di wajahnya. “Reva...” gumamnya pelan.
Ia sudah memutuskan. Reva harus diberi pelajaran. Jika dia pikir pekerjaan ini mudah, Bram akan memastikan bahwa gadis itu merasakan beratnya bekerja di bawah aturannya.
“Baiklah, kamu cantik. Tetapi cantik saja tidak cukup buatku. Otakmu harus cerdas, mentalmu harus sekeras baja. kita lihat seberapa tangguh kamu,” Bram berkata pada dirinya sendiri sebelum menekan tombol interkom.
“Reva, ke ruangan saya sekarang,” suaranya tegas.
Tak butuh waktu lama, pintu ruangannya terbuka dan Reva melangkah masuk. Ia terlihat percaya diri seperti biasa, meskipun ada sedikit rasa waspada di wajahnya.
“Pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada ceria.
Bram mengangkat alis. “Pagi? Jam segini masih pagi menurut kamu?” Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 09.05.
Reva tersenyum, tak gentar sedikit pun. “Lebih baik terlambat lima menit daripada tidak sama sekali, Pak.”
Bram menatapnya tajam. “Duduk,” katanya, menunjuk kursi di depan mejanya.
Setelah Reva duduk, Bram menyandarkan diri di kursinya, lalu menyilangkan tangan di dada.
“Kamu pikir, bisa bertahan di sini?” tanyanya, matanya tak lepas menatap Reva.
Reva menyandarkan punggung ke kursi, menantang balik tatapan Bram. “Tentu saja, Pak. Saya datang ke sini bukan untuk main-main.”
Senyum tipis terukir di wajah Bram. “Bagus. Karena mulai hari ini, saya akan memastikan kamu menyesal sudah kerja di sini.”
Reva mengangkat alis, lalu terkekeh kecil. “Oh, mau coba? Silakan, Pak. Saya nggak takut sama orang kayak Anda.”
Bram terkejut sejenak dengan tanggapan itu, tetapi ia cepat menguasai dirinya. Reva memang berbeda. Kebanyakan orang akan gemetar menghadapi tatapan dinginnya, tetapi perempuan ini justru terlihat semakin bersemangat.
“Baiklah,” kata Bram sambil membuka laci mejanya. Ia mengeluarkan tumpukan dokumen tebal dan meletakkannya di meja dengan bunyi berdebum. “Mulai sekarang, kamu yang bertanggung jawab atas semua ini. Pastikan semuanya selesai dalam waktu tiga hari.”
Reva melirik dokumen itu, lalu kembali menatap Bram tanpa sedikit pun raut khawatir. “Tiga hari? Mudah, Pak. Ada tugas lain?”
Bram mengerutkan dahi. “Mudah? Kamu bahkan belum tahu isi dokumennya.”
Reva mengangkat bahu santai. “Kalau memang harus dilakukan, ya lakukan saja. Saya yakin, otak saya cukup mampu mengatasi hal-hal seperti ini.”
Bram tersenyum dingin. “Kita lihat sejauh mana kamu bisa berbicara besar.”
Ia kemudian menambahkan satu set instruksi tambahan. “Selain itu, kamu juga harus menyusun laporan mingguan untuk rapat direksi, mengatur ulang jadwal pertemuan saya yang tumpang tindih, dan pastikan semua kontrak dengan klien baru diproses hari ini.”
Reva menatap Bram dengan penuh minat, seolah ia baru saja diberikan tantangan hidup terbesarnya. “Semua hari ini?” tanyanya dengan nada setengah mengejek.
“Benar,” jawab Bram tanpa ragu.
Reva berdiri, mengambil dokumen-dokumen itu dengan cekatan. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya mulai sekarang.”
“Dan jangan lupa,” tambah Bram dengan suara tajam, “Saya tidak menerima alasan apa pun untuk pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu.”
Reva berbalik, menatap Bram dengan senyum kecil. “Alasan? Saya bahkan tidak tahu itu ada di kamus saya, Pak.”
Dengan itu, ia meninggalkan ruangan, meninggalkan Bram yang diam-diam merasa tertantang oleh sikap percaya dirinya.
Hari itu, Reva bekerja tanpa henti. Ia duduk di mejanya dengan dokumen-dokumen yang menumpuk di sekelilingnya, matanya fokus menatap layar komputer. Jari-jarinya bergerak cepat, mengetik laporan dengan kecepatan luar biasa. Sesekali ia menyeruput kopi, tetapi tak sekalipun ia terlihat melambat.
Beberapa karyawan lain meliriknya dengan heran. Sebagian dari mereka bahkan bertaruh bahwa Reva tidak akan bertahan seminggu di bawah tekanan Bram. Namun, Reva tampaknya tak peduli dengan bisik-bisik di sekitarnya.
Ketika makan siang tiba, seorang rekan kerja, Dita, mendekatinya. “Reva, kamu nggak istirahat dulu? Tugasnya kelihatannya berat banget.”
Reva tersenyum sambil menutup dokumen yang baru saja selesai ia kerjakan. “Nggak apa-apa. Aku malah menikmati ini. Tugas berat justru bikin aku makin semangat.”
Dita menggeleng, kagum sekaligus bingung. “Kamu memang aneh. Tapi hati-hati, Pak Bram nggak main-main soal deadline. Dia itu sampai dijuluki Bos Bram Stoker Dracula karena suka ngisep energi anak buahnya sampe habis juga darahnya.”
“Tenang aja,” jawab Reva santai. “Aku udah janji sama diri sendiri, nggak bakal kasih dia alasan buat marah.”
Sore hari, Reva sudah menyelesaikan lebih dari setengah tugasnya. Ia membawa tumpukan dokumen ke ruang Bram. Tanpa mengetuk, ia masuk.
“Pak, ini dokumen kontrak dengan klien baru sudah saya periksa dan siap Bapak tandatangani. Jadwal pertemuan Bapak juga sudah diatur ulang. Laporan mingguan sedang dalam proses, tapi saya pastikan selesai sebelum deadline.”
Bram mendongak dari layar komputernya, tampak terkejut. “Secepat itu?”
Reva mengangguk. “Tentu, Pak. Seperti yang saya bilang, ini bukan hal yang sulit.”
Bram mengambil dokumen itu, memeriksanya dengan teliti. Tidak ada satu pun kesalahan. Ia harus mengakui, dalam hati, bahwa Reva memang lebih kompeten daripada yang ia duga.
“Tapi jangan terlalu percaya diri dulu,” katanya sambil menutup dokumen. “Masih banyak tugas lain menunggu.”
Reva tersenyum, matanya berkilat penuh semangat. “Saya siap, Pak. Apa pun tugasnya, lempar saja ke saya.”
Bram mengangkat alis, merasa tertantang. “Baik, kita lihat sejauh mana kamu bisa bertahan.”
Reva keluar dari ruangan dengan kepala tegak. Namun, di dalam hatinya, ia tahu ini baru permulaan. Bram mungkin mencoba menggemblengnya, tetapi ia tidak akan menyerah dengan mudah.
Sementara itu, Bram duduk di kursinya, menyadari bahwa rencana “menggembleng” Reva ternyata malah menjadi sebuah permainan yang menyenangkan. Sekretaris barunya ini memang berbeda dari yang lain, dan ia tak sabar melihat bagaimana kelanjutan permainan ini.