Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Tugas Rahasia di Balik Malam

Malam menyelimuti kota Jakarta dengan kilauan lampu-lampu gedung pencakar langit. Di dalam kantor PT BramCorp yang biasanya sepi pada jam-jam ini, hanya satu ruangan yang masih menyala terang, ruang utama CEO.

Reva duduk di kursinya, memandang dengan bosan ke layar komputer. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Sudah hampir 14 jam ia berada di kantor, menyelesaikan tugas-tugas Bram yang seolah tak ada habisnya.

Ia menghela napas, lalu berdiri. Dengan langkah cepat, ia membawa dokumen ke ruang Bram. Tanpa mengetuk, ia masuk seperti biasa.

“Pak, ini laporan proyek yang Bapak minta. Saya yakin sudah cukup jelas dan detail,” katanya sambil meletakkan dokumen di meja.

Bram, yang tengah membaca sesuatu di laptopnya, mendongak. “Bagus. Tapi malam ini kita belum selesai.”

Reva mengangkat alis. “Belum selesai? Pak, ini sudah malam. Saya ini manusia, bukan robot.”

Bram menyandarkan diri ke kursi, menatap Reva dengan tatapan tajam. “Menurutmu saya bukan manusia? Saya robot, begitu? Saya saja masih kuat kok kamu sudah loyo?!” ejek Bram.

‘Ya karena kamu bukan manusia, kamu Bram Stoker Dracula!’ desis Reva dalam hati, tetapi wajahnya menyorotkan rasa sebal dan perlawanan.

“Kalau kamu merasa tidak sanggup, pintu keluar ada di sana. Kamu bisa berhenti kapan saja.” Bram berkata dengan tegas tanpa tedeng aling-aling.

Reva mendengus, melipat tangan di dada. “Haha, jangan mimpi, Pak. Saya udah terlanjur terjun nih. Kalau harus lembur malam, ya sudah, mari kita habiskan malam bersama.”

Bram terdiam sesaat, matanya menatap Reva seolah mencari sesuatu. Lalu ia berdiri, mengambil jasnya dari sandaran kursi.

“Ambil dokumen ini,” perintahnya sambil menyodorkan map biru. “Kita akan ke lokasi proyek.”

Reva terbelalak. “Lokasi proyek? Malam-malam begini?”

Reva menunduk, memperhatikan pakaian yang dikenakannya. Untungnya kali ini, ia memilih tampilan sedikit tomboy namun tetap profesional. Setelah beberapa hari bersama si kejam Bram, Reva mengerti ia harus mengenakan pakaian ringkas yang membuatnya mudah bergerak cepat.

Ia mengenakan blazer oversized abu-abu dengan potongan lurus yang memberi kesan santai, memadukannya dengan kaus putih polos sebagai dalaman, memberikan sedikit sentuhan kasual. Alih-alih rok, ia memakai celana panjang hitam berpotongan lurus yang jatuh rapi hingga menutupi sepasang sepatu loafers hitam mengilap. Beberapa helai rambutnya jatuh ke wajah dari sanggul yang tak terlalu rapi, mencerminkan gaya tomboy yang bebas dan tetap berkelas.

Bram tidak menjawab. Ia melangkah keluar, sementara Reva hanya bisa mengikuti dengan setengah menggerutu, menyempatkan meraih tas selempang yang tercantol di kursi kerjanya.

Mereka tiba di sebuah gedung tua di pinggiran Jakarta. Dari luar, gedung itu terlihat biasa saja, tapi begitu masuk, Reva terkejut. Interiornya jauh lebih modern dan mewah, penuh dengan peralatan canggih.

“Ini proyek rahasia perusahaan?” tanya Reva, matanya berbinar-binar melihat suasana.

Bram hanya mengangguk sambil memeriksa beberapa layar monitor di ruangan itu. Ia kemudian memberikan instruksi kepada beberapa teknisi yang berada di sana.

Sementara itu, Reva mencoba memahami situasi. “Jadi, apa sebenarnya yang kita lakukan di sini?”

“Ini proyek inovasi teknologi perusahaan,” jawab Bram singkat. “Dan sekarang, saya butuh kamu untuk mencatat semua data yang muncul di layar ini. Fokus, jangan sampai ada yang terlewat.”

Reva segera duduk di depan monitor dan mulai bekerja. Matanya tak lepas dari layar, tangannya sibuk mengetik setiap informasi yang muncul.

Beberapa jam berlalu. Reva mulai merasakan kelelahan, tapi ia tidak ingin menyerah. Setiap kali ia melirik Bram, pria itu tampak tetap tenang dan fokus.

“Apa Bapak nggak capek?” tanya Reva akhirnya, mencoba mencairkan suasana.

Bram menoleh, lalu tersenyum tipis. “Sudah terbiasa.”

Mereka melanjutkan pekerjaan dalam diam, sampai akhirnya Reva berhasil menyelesaikan pekerjaan. Ia kirimkan semua ke email khusus CEO lalu meluruskan kedua lengan ke atas untuk melemaskan otot-otot yang kaku karena terlalu lama mengetik. Bram berdiri dari tempatnya.

“Reva, ikut saya,” katanya tiba-tiba.

Reva bingung, tapi ia tetap mengikuti Bram. Mereka berjalan menuju ruangan kecil di sudut gedung. Bram membuka pintu dan masuk, diikuti Reva.

Ruangan itu ternyata adalah ruang istirahat dengan sofa empuk dan meja kecil. Salah satu dindingnya adalah kaca seluruhnya yang mempertontonkan pemandangan kota di malam hari. Bram mengambil dua botol air mineral dari kulkas kecil, lalu menyodorkan satu kepada Reva.

“Kamu butuh istirahat,” katanya sambil duduk di sofa.

Reva mengerutkan kening. Heran dengan perlakuan Bram yang tiba-tiba manis, tetapi akhirnya memilih duduk di sebelah Bram. “Terima kasih, Pak.”

Mereka berdua duduk dalam diam, menikmati momen tenang di tengah malam yang panjang sambil menikmati pemandangan kota yang tak pernah tidur. Sayang, keheningan itu tak berlangsung lama. Saat Reva hendak membuka botol airnya, tangannya tergelincir, membuat air tumpah ke baju Bram.

“Ya ampun! Maaf, Pak!” Reva langsung panik, meraih tisu dari meja. Ia mendekat untuk membersihkan tumpahan di dada Bram.

Namun, saat tangannya menyentuh kemeja Bram, mereka berdua terhenti sejenak. Tatapan mereka bertemu, jarak di antara mereka sangat dekat. Tanpa terasa, Bram yang setengah telentang untuk menghindari Reva yang mendesaknya kini malah setengah ditindih Reva yang mengejar bagian kemeja Bram yang basah.

Reva bisa merasakan napas Bram, dan wajah pria itu tampak lebih lembut di bawah cahaya redup ruangan.

Bram tidak bergerak, hanya menatap Reva dengan pandangan yang sulit diartikan. Sementara Reva merasa jantungnya berdegup kencang. Mereka membeku dengan posisi intim yang tak seharusnya terjadi di antara CEO dan sekretarisnya.

“Reva...” suara Bram terdengar pelan, hampir seperti bisikan.

Reva menelan ludah, mencoba mengalihkan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul. “Eh, maaf, saya terlalu dekat,” katanya cepat, menarik diri dan duduk tegak.

Bram menghela napas pelan, kembali menyandarkan diri ke sofa. “Kamu memang selalu membuat segalanya jadi menarik.”

Reva menoleh dengan alis terangkat. “Maksud Bapak?”

Bram hanya menggeleng, senyum tipis di wajahnya. “Tidak ada. Ayo, kita kembali bekerja.”

Reva mengangguk, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan momen tadi. Apa yang sebenarnya baru saja terjadi?

Malam semakin larut, tapi pekerjaan mereka akhirnya selesai. Bram dan Reva keluar dari gedung, udara malam yang sejuk menyambut mereka.

“Kerja bagus, Reva,” kata Bram sambil menatap gedung di belakang mereka.

Reva tersenyum. “Terima kasih, Pak. Tapi saya masih penasaran, kenapa proyek ini harus dilakukan di malam hari?”

Bram menoleh ke arahnya. “Karena ini proyek rahasia. Tidak semua orang boleh tahu, bahkan di perusahaan kita sendiri.”

Reva mengangguk pelan, lalu menatap langit yang mulai cerah. “Kalau begitu, saya senang bisa dipercaya untuk membantu.”

Bram tersenyum, sesuatu yang jarang terjadi. “Kamu memang berbeda, Reva. Dan mungkin, kamu lebih dari sekadar sekretaris biasa. Ayo, saya antar pulang sebagai penghargaan kerja kerasmu malam ini.”

Reva menoleh, tapi Bram sudah berjalan menuju mobilnya. Kata-kata pria itu terngiang-ngiang di benaknya sepanjang perjalanan pulang. Mungkin, malam ini bukan hanya tentang proyek rahasia, tetapi juga tentang hubungan baru yang perlahan mulai terbentuk di antara mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel