Bab 4 Rahasia di Balik Kediaman Sang CEO
Weekend seharusnya Reva libur. Akan tetapi ia malah mendapatkan panggilan untuk datang menemui CEO-nya. Malam itu, Reva berdiri di depan gerbang besar yang menjulang tinggi. Rumah Bram, yang lebih mirip sebuah mansion mewah, tampak megah di bawah sinar bulan. Pintu gerbang terbuka secara otomatis setelah Reva menekan bel, memperlihatkan jalan masuk yang panjang dengan taman yang terawat rapi di kedua sisinya.
"Rumahnya kayak istana Count Dracula," gerutu Reva sebal. Ia berjalan perlahan, sesekali melirik sekitar dengan rasa ingin tahu.
Setibanya di depan pintu utama, yang terbuka sebelum Reva menyentuhnya. Seorang pelayan membukakan pintu dan mengantar Reva masuk. Interior rumah Bram tak kalah mengesankan. Lantai marmer, lukisan besar menghiasi dinding, dan lampu kristal menggantung di langit-langit tinggi.
“Tuan Bram sedang menunggu di ruang kerjanya,” ujar pelayan itu sopan.
Reva mengernyit, tak terbiasa dengan panggilan ‘tuan’ malah membuatnya merinding. ‘Jangan-jangan dia memang keturunan Dracula?’ pikirnya sedikit jengkel tetapi juga geli.
Reva berjalan mengikuti petunjuk menuju lantai atas. Saat sampai di depan pintu ruang kerja, ia mengetuk pelan.
“Masuk,” suara bariton Bram terdengar dari dalam.
Reva membuka pintu dan masuk. Bram duduk di belakang meja besar, mengenakan kemeja kasual, jauh dari tampilan formal biasanya. Di depannya ada setumpuk dokumen. Reva tertegun, penampilan tak biasa CEO-nya malah makin meningkatkan aura ketampanannya. Ia menelan ludah setelah membeku sejenak.
Ia beruntung, walau menerima panggilan mendadak namun Reva tetap tampil tak kalah menawan. Reva melirik bayangannya di cermin, mengulas senyum tipis. Gaun kasual berwarna krem lembut itu jatuh ringan hingga lutut, dengan potongan sederhana, tetapi pas di tubuhnya. Menonjolkan kesan santai dan anggun. Rambutnya dibiarkan tergerai, sedikit bergelombang, menyempurnakan penampilannya yang terlihat berbeda dari kesehariannya di kantor. Sandal berhak rendah melengkapi gayanya hari ini. Kasual, nyaman, namun tetap memikat.
“Pak, saya bawa dokumen tambahan yang Bapak minta,” kata Reva sambil menyerahkan map.
Bram mengambilnya tanpa berkata apa-apa. Setelah beberapa saat, ia akhirnya membuka suara. “Kamu bisa duduk kalau mau. Ini akan makan waktu.”
Reva mengangguk dan duduk di sofa dekat meja. Ia memperhatikan Bram yang sibuk membaca dokumen, raut wajahnya serius seperti biasa. Namun, suasana di ruangan ini terasa berbeda. Lebih pribadi, lebih santai. Apalagi rambut Bram yang biasa ber-pomade, kali ini dibiarkan jatuh menutupi dahinya tanpa tertata.
Setelah beberapa menit, Bram masih memeriksa dokumen. Sementara Reva yang menunggu dengan sabar, mulai mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Matanya tertumbuk pada sebuah kotak kayu kecil yang tampak tua dan sedikit usang. Kotak itu menarik perhatian Reva.
“Pak, itu apa?” tanyanya penasaran sambil menunjuk ke kotak yang berkesan kuno itu.
Bram terdiam sejenak sebelum membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat beberapa foto lama, sepucuk surat yang tampak lusuh, dan sebuah liontin emas. Reva memiringkan kepala, mencoba melihat lebih dekat.
“Kenangan masa lalu,” kata Bram singkat.
Reva bangkit dari sofa, mendekati Bram. Ia melihat salah satu foto, seorang balita laki-laki yang tak lain adalah Bram, berdiri di samping seorang wanita cantik. Wanita itu tersenyum lembut, kontras dengan ekspresi dingin yang biasa ia lihat pada Bram.
“Ini ibu, Pak Bram?” tanya Reva.
Bram mengangguk pelan. “Iya. Dia meninggal ketika aku masih kecil.”
Reva bisa merasakan perubahan dalam suara Bram. Ada kesedihan yang dalam, yang selama ini tersembunyi di balik sikap galaknya.
“Aku tidak pernah benar-benar mengenalnya. Setelah dia meninggal, ayah menikah lagi,” lanjut Bram, menatap foto itu dengan tatapan kosong.
Reva diam, menunggu Bram melanjutkan tanpa ingin memaksa.
“Ibu tiri,” Bram berkata dengan nada dingin. “Dia tidak pernah benar-benar menganggapku sebagai anak. Di depan ayah, dia bersikap baik. Tapi saat ayah tidak ada…” Bram terdiam, menghela napas panjang.
“Dia jahat, ya?” Reva menyimpulkan pelan.
Bram hanya mengangguk. “Dia memperlakukan aku seperti beban. Aku sering dihukum untuk hal-hal kecil. Bahkan saat aku tidak salah, dia selalu menemukan alasan untuk menyiksaku secara emosional. Dia membuatku merasa tidak berharga.”
Reva terkejut, tidak menyangka Bram memiliki masa lalu sekelam ini.
“Dan ayah kamu?” tanyanya hati-hati.
“Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi,” jawab Bram pahit. “Ketika aku remaja, aku akhirnya memutuskan untuk keluar dari rumah. Aku belajar untuk tidak mempercayai siapa pun.”
Ruangan itu menjadi hening. Reva merasa hatinya berat mendengar cerita Bram.
“Tetapi aku harus kembali ke rumah ini ketika ayah meninggal dan menggantikan posisinya sebagai CEO.”
“Eh, Bapak nggak pernah cerita kalau punya masa lalu kayak gini,” ujar Reva pelan, mencoba mencairkan suasana.
Bram menutup kotak kayu itu dengan satu gerakan cepat. “Itu bukan urusanmu. Fokus aja sama tugas kamu.”
Reva menghela napas, lalu duduk kembali di sofa. “Tapi ya nggak perlu jadi galak gini ke semua orang, kaliiik.”
Bram menatapnya tajam, tapi kali ini Reva tidak mundur.
“Pak Bram,” Reva melanjutkan dengan suara lembut. “Aku tahu masa lalu Bapak berat, tapi itu nggak berarti Bapak harus membangun tembok setinggi ini. Orang-orang di sekitar Bapak bukan musuh.”
Bram terdiam, seolah kata-kata Reva menyentuh sesuatu dalam dirinya. Tapi, seperti biasa, ia menutup diri kembali.
“Lupakan. Aku sudah terbiasa dengan cara hidupku,” katanya sambil berbalik, kembali menghadap mejanya.
Reva menghela napas, merasa frustrasi tetapi juga iba. Ia tahu, pria di depannya ini lebih kompleks daripada yang terlihat. Di balik sikap keras dan dinginnya, ada seorang anak kecil yang pernah terluka dan mencari cara untuk melindungi dirinya.
Namun, sebelum Reva sempat mengatakan apa-apa lagi, pintu ruangan terbuka, dan seorang wanita paruh baya masuk. Wajahnya anggun, tapi tatapannya dingin.
“Bram,” katanya tanpa basa-basi, “kenapa kamu tidak memberi tahu aku kalau kamu membawa tamu?”
Bram menegang seketika. Reva memperhatikan perubahan itu, menyadari siapa wanita ini.
“Ibu,” Bram menjawab dingin, “Ini bukan urusan Ibu. Kurasa aku tak harus selalu melapor.”
Reva melirik Bram dan wanita itu bergantian. Wanita ini pasti ibu tiri yang diceritakan Bram. Dan dari tatapan tajamnya, Reva langsung tahu bahwa hubungan mereka tidak baik.
“Ah, jadi ini sekretaris barumu?” Wanita itu menatap Reva dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan menilai.
“Reva,” kata Bram, “Ini ibu tiriku, Nyonya Clara.”
Reva tersenyum sopan, meskipun suasana semakin dingin. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya dengan sopan. “Senang bertemu dengan Anda, Nyonya.”
Nyonya Clara hanya tersenyum tipis, lalu kembali menatap Bram. “Kamu tahu, Bram, tidak semua orang bisa dipercaya. Pastikan orang ini tidak membuat masalah.”
“Dia lebih kompeten daripada yang Ibu pikirkan,” jawab Bram tajam.
Nyonya Clara tertawa kecil. “Kita lihat saja.” Ia kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa menunggu jawaban.
Setelah pintu tertutup, Reva mendesah. “Sekarang aku mengerti.”
Bram tidak menjawab, matanya menatap kosong ke arah pintu.
Reva berdiri dan mendekat. “Pak Bram, aku tahu ini sulit, tapi kamu nggak sendirian. Aku di sini untuk membantu, bukan hanya soal pekerjaan.”
Bram menatap Reva, dan untuk pertama kalinya, ada secercah kelembutan dalam matanya. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa.
“Malam ini sudah cukup berat. Aku pulang dulu,” kata Reva sambil mengambil tasnya. “Tapi kalau kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk bilang.”
Bram hanya mengangguk. Saat Reva keluar dari ruangan, ia merasa ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Tidak lagi sekadar hubungan bos dan bawahan, tetapi sesuatu yang lebih dalam dan saling memahami.
Di dalam ruangannya, Bram membuka kotak kayu itu sekali lagi. Ia memegang liontin emas yang ada di dalamnya, mengingat senyuman lembut ibunya.
“Mungkin, kamu benar, Reva,” gumamnya pelan. “Mungkin.”