Bab 5 Perang Dingin dan Permainan Strategi
Proyek besar PT BramCorp sedang di ambang krisis. Sebuah kesalahan dalam perhitungan teknis menyebabkan seluruh timeline proyek bergeser, dan potensi kerugian membayangi perusahaan. Situasi ini membuat atmosfer kantor menjadi tegang, terutama di antara Bram dan Reva.
Di ruang rapat utama, suasana memanas. Reva berdiri dengan tangan bersilang, sementara Bram duduk di ujung meja dengan ekspresi dingin.
“Jadi, maksud Bapak, kita tetap lanjut dengan metode ini meskipun risikonya tinggi?” tanya Reva, suaranya penuh ketegasan.
Bram menatap Reva tanpa ekspresi. “Ya. Ini keputusan terbaik untuk perusahaan.”
Reva menghela napas, mencoba menahan emosinya. “Tapi kalau kita teruskan, kemungkinan besar kita akan kehilangan kepercayaan klien besar. Apa Bapak nggak lihat laporan risiko yang saya kirimkan tadi pagi?”
“Laporan itu tidak relevan,” balas Bram dingin. “Kita punya rencana mitigasi. Jangan terlalu ikut campur, Reva. Aku CEO di sini.”
Ruangan hening sejenak. Beberapa staf lain di ruangan itu menahan napas, menunggu reaksi Reva.
“CEO ya CEO,” Reva akhirnya berkata dengan nada sinis. “Tapi kalau cara Bapak salah, saya bakal bilangin. Saya nggak peduli Bapak siapa. Keberlangsungan perusahaan ini lebih penting!”
Bram menatap Reva tajam, tapi Reva tidak mundur sedikit pun. Pertarungan kekuatan mereka membuat ketegangan yang hampir terasa di udara.
“Baik,” kata Bram akhirnya. “Kalau kamu merasa punya ide lebih baik, tunjukkan. Tapi kalau kamu gagal, aku tidak akan ragu untuk memecatmu.”
Reva tersenyum tipis, meskipun dadanya berdebar. “Tantangan diterima, Pak.”
Beberapa jam kemudian, Reva duduk di meja kerjanya, matanya terpaku pada layar komputer. Ia memeriksa data proyek, mencoba menemukan celah yang bisa menjadi solusi. Meskipun masih kesal dengan sikap Bram, pikirannya terus kembali ke masa lalu pria itu yang baru saja ia ketahui.
Dia bertahan sendirian selama bertahun-tahun, disiksa oleh ibu tirinya dan diabaikan oleh ayahnya. Itu pasti berat. ‘Tapi, apa itu alasan yang cukup untuk bersikap seperti ini ke semua orang?’ pikir Reva.
Tanpa sadar, ia menghela napas panjang.
“Reva,” panggilan suara Bram dari belakangnya membuatnya tersentak. Ia berbalik dan melihat Bram berdiri dengan tangan di saku, ekspresinya tetap dingin seperti biasa.
“Ada apa, Pak?” tanyanya, berusaha terdengar netral.
“Rapat lanjutan dimulai dalam 15 menit. Pastikan semua data siap.”
Reva mengangguk. “Tentu.”
Bram berbalik dan berjalan pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Namun, saat ia menghilang di balik pintu, Reva merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam cara Bram berbicara tadi. Seolah, di balik sikap dinginnya, ada sedikit rasa percaya.
Rapat kedua berlangsung sama tegangnya dengan yang pertama. Reva mempresentasikan alternatif rencana yang menurutnya lebih aman.
“Kita bisa menunda tahap kedua selama seminggu untuk memastikan semua sistem berjalan dengan baik,” jelasnya sambil menunjuk grafik di layar. “Meskipun ini akan memperpanjang waktu proyek, ini akan mengurangi risiko kehilangan klien utama.”
Bram mendengarkan dengan saksama, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Matanya menatap lurus ke arah Reva yang entah mengapa hari ini tampak mempesona dalam setelan blazer boyis-nya.
“Dan bagaimana dengan biaya tambahan?” tanyanya kemudian.
Reva sudah siap dengan jawaban itu. “Biaya tambahan bisa ditutupi dengan anggaran cadangan. Saya sudah menghitungnya, dan anggaran cadangan masih cukup untuk menutupi kebutuhan.”
Suasana di ruangan itu tegang. Semua mata tertuju pada Bram, menunggu keputusannya.
Akhirnya, Bram mengangguk pelan. “Baik. Kita coba metode ini.”
Ada kelegaan di wajah beberapa staf, tetapi Bram masih menatap Reva dengan tatapan penuh makna.
“Jangan buat aku menyesal,” katanya dingin sebelum menutup rapat.
Setelah rapat, Reva kembali ke mejanya, merasa puas sekaligus lelah. Namun, ia tahu bahwa ini belum berakhir. Tantangan sebenarnya baru saja dimulai.
Ketika malam tiba, kantor mulai sepi. Reva masih sibuk memeriksa dokumen tambahan ketika Bram mendekatinya lagi.
“Kamu punya waktu?” tanyanya tanpa basa-basi.
Reva mendongak. “Selalu, kalau itu urusan pekerjaan.”
Bram memberi isyarat agar Reva mengikutinya ke ruangannya. Begitu masuk, Bram duduk di kursinya dan mengeluarkan beberapa dokumen baru.
“Aku butuh pendapatmu tentang ini,” katanya, suaranya lebih tenang dari biasanya.
Reva mengambil dokumen itu dan mulai membacanya. Saat ia mempelajarinya, Bram hanya duduk diam, memperhatikannya dengan intens.
“Ini soal rencana jangka panjang?” tanya Reva, mengangkat alis.
Bram mengangguk. “Ya. Kalau ini gagal, perusahaan bisa dalam masalah besar.”
Reva terdiam sejenak, memikirkan situasi yang dihadapi Bram. Ia tahu bahwa di balik semua itu, Bram sebenarnya tidak ingin terlihat lemah di depan siapa pun, termasuk dirinya.
“Aku akan bantu,” kata Reva akhirnya. “Tapi kita harus melakukannya dengan strategi yang tepat.”
Bram menatap Reva, matanya sedikit melunak. “Aku tahu kamu bisa diandalkan, Rev.”
Reva tersenyum tipis. “Itu kan tugas gue, Pak,” katanya membawa aura lebih santai agar Bram tak terkena serangan stroke karena selalu tegang.
Di dalam hati, Reva merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar tugas. Ada hubungan yang perlahan terjalin di antara mereka, meskipun keduanya terlalu keras kepala untuk mengakuinya.
Malam itu, saat Reva akhirnya bersiap pulang, ia melirik ke ruang kerja Bram. Pria itu masih duduk di sana, tenggelam dalam pekerjaannya. Tak tega meninggalkan bos gilanya sendirian, Reva membawa langkah menuju kantor Bram. Ia mengetuk perlahan pintu kaca yang memang sudah terbuka.
“Hm?”
“Pak Bram tidak pulang?”
“Sebentar lagi. Hanya perlu memeriksa beberapa catatan kecil.”
Reva menghela napas, “jangan terlalu malam, nanti Bapak sakit.”
Bram mendongak dari dokumen yang dibacanya. “Apa ini? Perhatian kecil? Atau kamu sedang menyebarkan pesona agar aku mengantarmu pulang lagi?”
“Deeuuu yang curigaan! Dahlah, saya pulang dulu. Bapak terus aja di sini gak usah pulang, toh besok juga balik. Bye!” cibir Reva. Ia masih bisa mendengar Bram tertaw akecil pada cibirannya.
“Dia memang keras kepala,” gumam Reva, akhirnya tersenyum. “Tapi mungkin, itu yang membuatnya menarik.”
Dan untuk pertama kalinya, Reva merasa bahwa di balik semua pertengkaran dan perbedaan pendapat, ada rasa yang perlahan tumbuh di hatinya. Sesuatu yang ia tahu akan sulit dihindari.