Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9 Pengorbanan di Balik Kesetiaan

PT Bramcorp menikmati masa tenang pasca goncangan Clara dan Vincent. Hari-hari berlalu dengan manis. Reva tetap barbar pada CEO-nya yang seringkali brutal. Tetapi koordinasi mereka membawa keuntungan besar pada perusahaan.

Setelah goncangan besar yang hampir menggulingkan PT Bramcorp, suasana kantor kini lebih tenang. Meskipun Bram dan Reva terus bekerja keras, tak ada lagi kegembiraan seperti dulu. Reva tetap menjalani hari-harinya dengan semangat, meski kadang wajahnya tampak lelah, terbayang penyesalan yang begitu dalam.

“Reva, lo udah cek laporan itu?” tanya Alex Pranoto yang duduk di mejanya, memecah keheningan.

Reva mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski matanya mulai berat. “Iya, aku udah, Alex. Semua laporan di sini terlihat bersih. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Lo yakin? Jangan sampe ada yang ketelupas. Kita nggak bisa ngulang kesalahan kemarin,” jawab Alex serius.

Reva mengangguk. “Santai aja, gue ngelakuin yang terbaik.”

Setelah goncangan besar yang hampir menggulingkan PT Bramcorp, suasana kantor kini lebih tenang. Meskipun Bram dan Reva terus bekerja keras, tak ada lagi kegembiraan seperti dulu. Reva tetap menjalani hari-harinya dengan semangat, meski kadang wajahnya tampak lelah, terbayang kepuasan karena telah bekerja dengan baik.

“Reva, lo udah cek laporan itu?” tanya Alex Pranoto datang menghampiri Reva yang duduk di mejanya, memecah keheningan.

Reva mengangkat bahu, mencoba tersenyum meski matanya mulai berat. “Iya, sudah, Alex. Semua laporan di sini terlihat bersih. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.”

“Lo yakin? Jangan sampe ada yang ketelupas. Kita nggak bisa ngulang kesalahan kemarin,” jawab Alex serius.

Reva mengangguk. “Santai aja, gue ngelakuin yang terbaik.”

Tepat satu tahun pasca peristiwa nyaris digulingkannya Bram, sesuatu terjadi tanpa bisa dihindari.

Clara dan Vincent, yang selama setahun ini tidak menampakkan batang hidungnya karena malu tertangkap basah melakukan rekayasa, bukannya mundur dan merasa beruntung karena Bram tidak menuntut mereka melalui jalur hukum, malah melakukan gebrakan baru.

Mereka datang ke kantor, marah-marah kepada Bram dan menyalahkan Bram atas keteledorannya. Bukan hanya itu, Bram yang belum sepenuhnya mengerti tentang hal yang diperdebatkan, mendadak diseret untuk hadir di rapat dewan pemegang saham.

Vincent dan Clara kini menyerang Reva, orang yang selalu membantu Bram dan menguatkannya. Keputusan turun dengan cepat, karena Reva hanyalah sekretaris biasa, bukan golongan C-Level seperti halnya Alex Pranoto yang lebih sulit digoncang.

Siang itu, suasana kantor tegang. Semua karyawan terkejut mendengar kabar bahwa Reva dipecat secara tidak hormat. Tuduhan serius menghujam dirinya, penyalahgunaan informasi perusahaan untuk kepentingan pribadi. Clara berhasil menanamkan fitnah bahwa Reva telah menjual data rahasia perusahaan kepada pihak ketiga.

Rapat pemegang saham itu berlangsung dengan tegang. Ruang rapat dipenuhi oleh mereka yang selama ini terpecah antara mendukung Bram atau Clara. Di meja besar, Clara duduk dengan senyum penuh kemenangan, sedangkan Vincent berdiri di sampingnya, menunggu momen untuk melontarkan pernyataan yang bisa menggoyahkan posisi Bram.

“Reva telah mengkhianati perusahaan ini,” tuding Clara dengan nada penuh kemenangan. “Bukti transfer ke akun pribadi yang terkait dengan pihak luar sudah cukup untuk membuktikan tindakannya.”

Bram mengepalkan tangannya di bawah meja. “Ini absurd! Reva tidak akan pernah melakukan itu.”

“Jadi, Bram,” suara Clara terdengar tajam, “kamu yakin kamu masih bisa mempertahankan semua ini? Atau kamu malah membiarkan Reva membuat keputusan yang salah?”

Bram menggertakkan gigi, mencoba tetap tenang meski darahnya mendidih. “Kalian nggak paham, Ibu. Reva nggak bisa diperlakukan seperti itu. Dia nggak bersalah.”

Vincent menyeringai. “Sistem perusahaan ini memerlukan kepercayaan, Bram. Kalau orang yang selama ini kamu percayai bisa berkhianat, siapa lagi yang bisa dipercaya?”

Namun, suara Clara didukung oleh mayoritas pemegang saham. “Bram, sebagai CEO, kamu seharusnya tahu bahwa loyalitas tidak boleh dipertanyakan. Kita harus bertindak tegas demi menjaga integritas perusahaan,” sambung Vincent dengan nada meyakinkan.

Bram berdiri, tatapannya tajam ke arah Clara. “Kalian tidak tahu apa yang sedang kalian lakukan. Fitnah ini hanya permainan kotor kalian.”

Clara tersenyum sinis. “Bram, ini demokrasi. Suara mayoritas yang menentukan. Reva harus pergi.”

Reva meninggalkan kantor dengan kepala tegak, meski hatinya terasa hancur. Beberapa karyawan berbisik-bisik di lorong, tapi dia mengabaikan mereka.

“Gue nggak akan ngemis-ngemis minta maaf atas sesuatu yang nggak gue lakuin,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Reva berjalan keluar dengan langkah pasti, meskipun hatinya terasa hancur. Di lengannya hanya ada satu kardus kecil berisi barang-barang pribadi yang ia angkut dari meja kerjanya. Di lorong, beberapa karyawan menatapnya, bisik-bisik di antara mereka.

"Loe nggak apa-apa?" tanya salah satu dari mereka dengan suara rendah.

Reva menoleh dengan senyum tipis, berusaha menenangkan mereka. "Gue baik-baik aja. Loe nggak perlu khawatir."

Namun dalam hatinya, dia tahu semuanya sudah berubah. Semua yang dia perjuangkan selama ini terasa sia-sia. Hanya satu hal yang jelas dalam pikirannya. “Aku harus pergi, dan mulai dari awal.”

Di luar gedung, Bram menghampirinya. Wajahnya penuh penyesalan. “Reva, aku minta maaf. Aku gagal membelamu.”

Reva tersenyum tipis, meski matanya berkaca-kaca. “Nggak apa-apa, Pak Bram. Saya tahu Bapak udah nyoba. Tapi kadang ada hal yang nggak bisa dilawan, bahkan oleh CEO.”

Dia berbalik meninggalkan Bram, tapi sebelum pergi, dia menambahkan, “Gue percaya sama lo, Bram. Jangan biarin Clara menang,” katanya dengan nada lebih santai karena Bram kini bukan lagi atasannya.

Malam itu, Bram dan Alex duduk di ruang kerja Bram. Di depan mereka, dokumen keuangan Clara terbuka. Alex mengetik cepat di laptopnya.

“Aku sudah memeriksa semua transaksi yang terkait dengan Clara,” ujar Alex. “Ada pengeluaran yang mencurigakan dalam jumlah besar. Ini tidak sesuai dengan laporan keuangan resmi.”

Bram membaca salah satu dokumen. “Perjalanan mewah, pembelian properti di luar negeri atas nama perantara. Dia memanfaatkan uang perusahaan untuk keuntungan pribadinya.”

Alex mengangguk. “Dan kita punya bukti. Aku sudah menghubungi auditor independen untuk mengkonfirmasi ini. Dalam rapat pemegang saham berikutnya, kita bisa menyerang balik.”

Bram mengepalkan tangannya. “Bagus. Aku tidak hanya ingin Clara keluar dari perusahaan, tapi aku ingin dia hancur. Dia sudah merusak hidup Reva.”

Seminggu kemudian, rapat pemegang saham yang menentukan berlangsung. Bram dan Alex membawa bukti lengkap, termasuk laporan auditor independen yang menunjukkan penyalahgunaan dana perusahaan oleh Clara.

Clara, yang awalnya tampak percaya diri, mulai pucat saat bukti-bukti dipresentasikan.

“Ini tidak mungkin!” Clara mencoba menyangkal. “Ini semua rekayasa!”

Namun, Nadya Wijaya, salah satu direktur yang berpengaruh, angkat bicara. “Bukti ini sangat jelas, Clara. Anda telah menyalahgunakan posisi Anda untuk keuntungan pribadi. Kami tidak bisa mentolerir ini. Kami memergoki Anda sebanyak dua kali. Ini sudah cukup!”

Pemungutan suara dilakukan. Clara dianulir dari daftar pemegang saham, dan sahamnya dialihkan kepada Bram dan Alex sebagai kompensasi atas kerugian perusahaan.

Clara tidak bisa menerima kekalahan ini. Tekanan yang luar biasa akhirnya membuatnya terkena serangan stroke. Beberapa hari kemudian, kabar tersebar bahwa Clara lumpuh total dan harus dirawat di rumah sakit.

Setelah rapat berakhir, Bram duduk di ruangannya dengan perasaan campur aduk. Dia akhirnya berhasil mengalahkan Clara, tapi kemenangan ini terasa hampa tanpa kehadiran Reva.

“Alex,” kata Bram sambil menatap rekannya, “aku harus menemukan Reva. Aku harus memperbaiki semuanya.”

Alex tersenyum. “Aku tahu kamu akan mengatakan itu. Aku sudah meminta orang untuk memeriksa beberapa tempat di mana dia mungkin berada. Alamatnya akan kukirimkan padamu melalui email.”

Bram berdiri, mengambil jasnya. “Terima kasih, Alex. Aku tidak akan berhenti sampai aku menemukannya.”

Dengan tekad bulat, Bram meninggalkan kantor. Dia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang meminta maaf, tetapi juga tentang memperjuangkan orang yang telah menunjukkan arti sebenarnya dari kesetiaan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel