Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 6. Trauma Yang Menjadi Dendam

Sementara itu, mulutnya penuh dengan satu tongkat tumpul dari tubuh Supri yang tanpa henti mencekik leher dan menusukan batang kelelakiannya ke dalam mulut Felisha , lalu menarik dan kembali membenamkannya secara berulang.

“Aaakkkhhhh...bener, bro! cewek ini nikmat bangeett!! Ssshhh... Aakkkhhhh... “

“Lezat, ya bro!? Ahahaha....” sahut Deblo tertawa, sembari menyaksikan penyatuan tubuh rekan-rekannya itu, ia tampak masih mengurut dan menggenggam benda tumpul di pangkal pahanya.

“Huuuh.. Aakkhhh enaak banget.. beda sama cewek di pengkolan... ahhaaa... Ssshhhh Aakkhhh...”

Diantara hentakan pinggulnya, Katrok kembali meracau, mendesis panjang sembari menutup kedua matanya, meresapi kenikmatan yang sangat berbeda dari wanita-wanita panggilan yang selama ini pernah ia “pakai”.

Supri yang sudah tidak sabar ingin segera menenggelamkan tubuhnya ke dalam rongga kewanitaan Felisha , terdengar mengerutu, “Bro! Cepet! Bro!”

“Bentar! Udah di situ aja dulu, ah rese!” tukas Katrok merasa terganggu, lalu kembali membenamkan sebagian tubuhnya yang tumpul itu hingga menyatu tanpa sekat di tubuh Felisha yang sudah terlihat benar-benar tidak berdaya.

Hentakan demi hentakan yang membabi buta membuat Felisha seakan sudah kehilangan nyawanya. Ia benar-benar dalam keadaan setengah sadar. Rasanya, setelah semua ini berlalu ia tidak akan lagi merasa layak berjalan di muka bumi ini.

Kecepatan pinggul Katrok dalam menikam dan mencabut batang kelelakiannya semakin bertambah cepat, keringat tampak menetes dari dahi dan ujung kepalanya cukup deras. Dengan napas yang terdengar tersenggal-senggal, ia terlihat menambah kecepatannya. Tubuh Felisha kembali bergoyang sangat cepat mengikuti irama hentakan pinggul Katrok.

Lalu, beberapa menit kemudian tubuh Katrok menegang, satu teriakan panjangnya sampai terdengar menggema dari dalam ruangan kamar itu.

“Aaaaaaakkhhhh... enaaaaakkkhhh....”

Jeritan panjang terdengar dari mulut Katrok saat ia sudah mencapai puncak, sementara Felisha terdengar semakin merintih, menjerit tanpa suara. Airmatanya sudah benar-benar kering, ia sudah tidak mampu lagi menggerakkan tubuhnya.

Melihat Katrok sudah sampai di ujung puncak, Supri dengan segera bergerak mengambil posisi sembari mendorong tubuh Katrok agar segera menjauh dari tubuh Felisha . Supri benar-benar sudah sangat tidak bisa menahan diri. Dengan terburu-buru ia menancapkan batang kelelakiannya dengan sekali hentakan hingga amblas seluruhnya, dilanjutkan dengan gerakan menusuk dan menarik bagian tubuhnya yang tumpul itu berkali-kali dengan kecepatan turbo.

Karena rangsangan dalam dirinya yang sudah mencapai puncak ubun-ubun, Supri hanya mampu bertahan tidak lebih dari satu menit. Ia terlihat mengerang dan menjerit saat sesuatu yang mendesak keluar dari dalam tubuhnya. Cairan lahar putih yang kental seketika menyembur dan melesat ke dalam tubuh Felisha yang terkulai lemas tanpa mampu melakukan perlawanan yang tidak berarti.

Tanpa mereka ketahui, Fredy Diam-diam merekam semua kejadian itu. Dari wajahnya tampak sebuah lengkungan senyum yang sangat lebar. Seperti biasa, ia berniat menyimpan video itu sebagai jaminan, agar Felisha selalu menuruti semua kehendaknya. Termasuk melayani para hidung belang yang rata-rata pengusaha dan penguasa di kota ini.

Felisha yang mempunyai wajah cantik dengan kulit putih dan bentuk tubuh sempurna, tidak akan sulit untuk dijual kepada para hidung belang yang memiliki kuasa dan uang berlimpah. Berapapun angka yang akan ia tawarkan, rasanya mereka tidak akan pernah berpikir sampai dua kali untuk menolaknya.

Malam ini benar-benar menjadi malam terpanjang untuk Felisha . Seakan tidak merasa puas, Katrok, Deblo dan Supri kembali menggilirnya hingga berkali-kali. Mereka berempat melakukan itu sembari menikmati berbagai macam minuman, obat-obatan serta barang terlarang, hingga mereka benar-benar terbang sampai jauh ke angkasa sana.

Sampai pada puncaknya, mereka akhirnya tidak sadarkan diri. Katro, Deblo dan Supri terkulai saling menindih. Sementara Eddie, dengan kepala menyamping terduduk di kursi di depan ranjang kayu di dalam kamar gudang itu.

Beberapa jam berlalu, saat ayam berkokok dengan nyaring, Felisha mendapati seluruh tubuhnya nyeri, ngilu dan perih pada setiap bagian tubuhnya. Ia menangis sejadi-jadinya, menatap penuh dendam dan amarah ke empat orang preman yang tergeletak sembarang saling menindih. Perlahan, ia berusaha bangkit dan berdiri sembari menyingkirkan tubuh-tubuh yang menghalangi gerakannya.

Langkahnya tampak tertatih-tatih merasakan perih yang sangat luar biasa, Felisha memilih pakaian mereka yang dirasa cukup untuk tubuhnya. Setelah dengan susah payah, akhirnya ia berhasil mengenakan pakaian sekenanya.

Lalu, dengan pandangan nanar, ia memandang satu persatu manusia laknat di dalam kamar gudang itu, tatapannya benar-benar menyala penuh api dendam dan amarah yang sangat luar biasa. Hidupnya telah hancur dan tidak lagi mempunyai arti berkat mereka.

Felisha hanya memiliki dua pilihan, kematian untuknya atau kematian untuk keempat manusia laknat itu. Lalu, ia kembali menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Dengan langkah tertatih menahan perih di sekujur tubuh, ia mulai menyusuri ruangan didalam kamar itu.

Tanpa ia duga, di dalam laci meja samping kursi tempat duduknya Eddie, ia menemukan satu buah pistol lengkap dengan alat peredam di ujungnya. Dengan tangan gemetar, ia mengambil sepucuk pistol itu dan mulai menodongkannya ke arah kepala Eddie.

Pistol di tangannya tampak bergetar, Felisha berusaha untuk menguatkan diri. Sembari menahan getir yang sangat mendalam, ia menaruh telunjuk tangan kanannya di pelatuk pistol. Satu detik kemudian, ia menembakan pelurunya tepat di kepala Fredidengan menutup kedua matanya.

Seketika itu juga kepala Fredi hancur dan berlubang. Katrok, Deblo dan Supri yang terkulai dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh minuman dan obat-obatan terlarang, sama sekali tidak bereaksi. Lalu, dengan langkah perlahan dan masih tertatih, Felisha mendekati mereka ke arah ranjang dan mulai menembaki Katrok, Deblo dan Supri dengan membabi buta.

Seketika itu juga ranjang kayu dengan kasur busa berwarna putih itu tidak lagi berwarna putih. Ranjang itu kini sudah berubah menjadi ranjang berdarah. Penuh dengan bercak dan semburan darah kental yang mengalir deras dari tubuh Katrok, Deblo dan Supri.

Felisha menangis, tubuhnya tampak bergetar dengan sangat hebat. Untuk beberapa saat, ia hanya menekukan kedua kakinya dan memeluk kedua lututnya dengan erat di bawah lantai yang penuh darah.

Lalu, setelah beberapa saat lamanya, perlahan-lahan Felisha mulai kembali bangkit dan berdiri. Dengan sekuat tenaga ia mengabaikan rasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya, dan mulai berjalan tertatih-tatih menyusuri gudang terkutuk itu hingga akhirnya ia sampai di ujung jalan.

Sembari menyeret langkah kakinya yang terseok-seok, Felisha berusaha dengan sekuat tenaganya yang masih tersisa, menembus malam ke arah hutan di seberang jalan samping gudang terkutuk itu. Ia tidak berani membayangkan hari-hari yang akan dijalaninya setelah malam ini.

Trauma yang mendalam telah berhasil membuatnya menjadi seorang pembunuh. Rasanya itu masih belum setimpal dengan semua yang diterimanya malam ini.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel