Bab 4
Agus menghentikan motornya di halaman rumah mamanya. Tuti turun dan melihat wajah masam dari Agus yang sekarang sedang memasukkan motor mbaknya ke dalam garasi rumah mamanya.
“Masuk dulu, Gus. Kita harus bicara lagi!” Ucap Tuti ketika melihat Agus yang sudah mau pulang ke rumahnya.
“Apalagi, ma? Masalah perjodohan tadi? Agus minta waktu untuk memikirkannya lagi.” Ujar Agus sambil membalikkan tubuhnya.
“Ya sudah kalau begitu! Jangan lama-lama pikirnya. Nanti keburu karatan!” Jawab Tuti dengan bibir yang mengeriting.
Agus memutar tubuhnya dan mempercepat langkahnya menuju jalan raya, kemudian menyeberang menuju rumahnya. Hari ini dia merasa kalau hatinya sangat kesal.
Saat sampai di rumah, istrinya juga belim terlihat. Dia menjadi semakin kesal. Dia langsung masuk ke dalam kamarnya, melepas jaket jeansnya dan juga celana panjangnya. Kemudian menghempaskan diri di atas tempat tidur. Diraihnya handphone-nya, ternyata masih pukul 13.30 waktu setempat.
“Ah… Malam masih lama rupanya.” Gumam Agus sambil meraih guling dan menutupnya ke atas wajahnya.
*****
Entah sudah berapa lama Agus tertidur dan tidak menyadarinya. Kesadarannya pulih saat pipinya serasa dicium oleh seseorang dan juga elusan di bahunya.
Dengan perlahan-lahan Agus membuka matanya. Ternyata Heni sudah ada di depan matanya. Wanita berambut merah dan berkulit bersih itu menatapnya sambil tersenyum manis.
“Kapan kamu datang, sayang?” Sapa Agus sambil mengucek matanya.
“Sudah dari tadi, mas. Mas pasti belum makan, kan? Saya sudah masak dan menyiapkan makanan buat mas. Ayo kita makan, mas!” Ucap Heni beranjak dari tempat tidur dan menggandeng tangan suaminya.
“Mas mau cuci muka dulu, sayang.” Ucap Agus sambil melangkah menuju kamar mandi. Kemudian mencuci wajahnya supaya tampak lebih segar, karena rasanya dia tertidur lama sekali.
Setelah mengelap wajahnya dengan handuk, Agus lengsung menggandeng tangan istri tercintanya. Kemudian melagkah menuju dapur.
Agus dan Heni duduk saling berhadapan. Heni langsung mengambilkan nasi dan juga lauk ke piring sang suami, kemudian meletakkannya di depan pria berkaos hitam itu.
“Mas, makan dulu. Ini aku sudah masakan makanan kesukaan mas. Ada sayur asam, tempe bacem dan juga sambal terasi.” Ujar Heni sambil menatap Agus.
“Terima kasih, sayang.” Agus tersenyum dan mulai menikmati makan malamnya.
Apa pun yang dimasak oleh istrinya itu, Agus selalu suka dan tidak pernah menolaknya. Walaupun Heni tidak pernah memasak makanan dari bahan laut, seperti ikan, udang, cumi, kepiting, dll, Agus tidak pernah mempermasalahkannya.
Setelah selesai makan malam, Heni duduk di depan layar televisi. Sedangkan Agus mandi, karena tadi dia hanya mandi saat pagi saja.
Dengan rambut yang masih basah, Agus duduk di samping istrinya.
“Mas, rambutnya kenapa tidak dikeringkan?” Ucap Heni protes sambil pura-pura memasang muka yang cemberut.
“Nanti juga kering sendiri, sayang. Soalnya kalau duduk di dekat kamu, bawaannya jadi panas terus.” Ujar Agus sambil menahan senyum, sedangkan tangannya merangkul pundak sang istri.
“Hm…. Kenapa bisa jadi begitu?” Heni memoyongkan bibirnya.
Dengan secepat kilat, Agus langsung mencium bibir sang istri.
“Idih, mas sukanya cepat-cepat! Dilambatkan sedikit durasinya, mas.” Rengek Heni.
Agus menjadi tertawa. Kemudian dia merangkul istrinya ke dalam pelukannya. “Sayang, ada sesuatu yang mau mas bicarakan sama kamu.” Ujarnya dengan wajah yang tampak serius, sambil menggenggam tangan sang istri dengan lembut.
“Ada apa, mas? Katakan saja!” Heni menatap Agus dengan rasa penasaran.
“Tapi, kamu jangan marah ya! Mas hanya mau mendiskusikan masalah yang tidak bisa mas pecahkan sendiri.” Agus mengusap wajahnya. Dia menjadi dilemma antara mau mengatakannya atau tidak.
“Katakan saja, mas! Aku mana bisa marah sama mas. Bisanya hanya mencintai mas dengan tulus selama-lamanya.” Heni mengulum senyumnya.
Agus menelan salivanya dengan susah payah, kemudian berkata dengan takut-takut, “Mama mau bertemu kamu. Mama tidak percaya kalau mas sudah punya istri. Dan mama mau menjodohkan mas dengan anak temannya. Sayang, mas mohon sama kamu kali ini saja. Kamu mau ya mas kenalkan dan bertemu sama mama, supaya mama tidak mendesak mas terus dan menganggap mas hanya berhalusinasi saja.”
Heni langsung terdiam, sambil menggigit bibirnya. Dia menjadi bingung.
“Pilihannya hanya dua. Yang pertama, mas harus menerima jodoh pilihan mama. Dan yang kedua, mama akan membawa mas ke pak ustad untuk diruqyah, karena mama menganggap mas sudah tidak waras lagi.” Ujar Agus dengan nada bimbang. Semua keluh kesahnya dia tumpahkan sekarang.
Untuk beberapa saat keduanya saling diam. Heni menggenggam jemari tangannya dengan kuku yang sengaja dia panjangkan.
Heni masih terdiam. Agus meraih tangan sang istri dan menciumnya. Mata Agus masih menatap lekat wajah Heni yang masih tertunduk.
“Sayang, bagaimana? Jawab aku! Please!” Agus mendekatkan wajahnya ke istrinya.
Heni sedikit menjauh. Kemudian menatap Agus dengan tatapan yang terluka. “Menikahlah dengan wanita yang dipilih oleh mamamu itu, mas.” Ujar Heni pelan sambil menahan butiran air mata yang akan mengalir dari pelupuk matanya. Heni mengangkat wajahnya ke atas. Dia berusaha menahan air matanya agar tidak mengalir sekarang.
“Sayang, kenapa kamu bilang begitu? Apa kamu tidak cinta sama mas?” Agus tidak menyangka kalau Heni akan memberi jawaban seperti itu padanya.
“Aku cinta sama mas. Tapi, maaf, mas. Aku tidak bisa menampakkan diri di depan siapa pun, kecuali di depan mas.” Suara Heni terdengar berat.
Agus menghela nafas panjang. Dia tidak mengerti apa maksud dari perkataan istrinya itu. “Maksud aku, mas boleh menikahi wanita itu, tapi mas tidak boleh mencintai dia. Pernikahan kalian hanya untuk menyelamatkan hubungan kita saja, agar tidak ada yang mengusik. Apa mas setuju dengan aku?” Heni menggenggam tanganAgus.
Agus terdiam. Dia masih tidak mengerti akan semua ini. Dia tidak habis pikir dengan jalan pemikiran sang istri tercinta.
“Mas hanya milikku saja. Mas hanya boleh mencintai dan menyentuhku saja!” Heni membenamkan kepalanya ke dada bidang Agus.
“Jadi kamu menyuruh mas untuk menerima perjodohan ini?” Tanya Agus sambil memegang bahu Heni. Dia masih berusaha untuk meyakinkan ucapan sang istri.
“Iya, mas. Tapi, mas tidak boleh mencintai wanita itu. Pernikahan kalian hanya untuk formalitas saja. Tidak lebih dari itu. Tapi, istri yang mas sayang harus aku.” Heni menatap Agus dengan tatapan yang tajam. Ada seberkas cahaya merah keluar dari matanya saat mereka beradu pandang.
“Baiklah, sayang. Mas akan menuruti semua kemauan kamu.” Jawab Agus dengan lembut dan dengan hati yang mendadak luluh. Padahal dari tadi dia mau menantang keinginan dari istrinya itu.
Tak lama berselang, keduanya mulai bergandengan tangan dan akan kembali memadu cinta, seperti malam-malam sebelumnya.
*****
Keesokan harinya. Setelah Agus sarapan seorang diri, dia langsung meraih tas kecilnya, kemudian melangkah menuju pintu samping dan mengeluarkan motornya.
Setelah memanaskan motornya selama beberapa menit, Agus langsung tancap gas menuju tempat kerjanya. Padahal saat dia keluar tadi, saat menyapu halaman depan rumah, sang mama menatap ke arahnya. Agus masih belum mau memberikan jawaban atas permintaan sang mama.
Tiga puluh menit kemudian, Agus sudah tiba di kantor tempat dia bekerja. Saat itu terlihat tim dua dan tim tiga baru saja akan berangkat menuju ke lokasi. Dia hanya melambaikan tangannya pada teman-temannya yang sudah bersiap di atas mobil merah kebanggaan mereka.
Agus masuk ke dalam ruangan dan menyapa teman-teman satu timnya yang diminta untuk siaga. Timnya terdiri dari Asep, Joko, Doni dan Ijal. Keempat temannya itu sudah siap dengan peralatan tempur mereka.
“Eh, Gus! Tadi ada gosip hangat. Kamu mau dengar tidak?” Tanya Joko menghampiri Agus yang sedang memakai perlengkapan bertugasnya.
“Tidak!” Jawab Agus acuh tak acuh.
“Hm…. Kamu akan menyesal kalau kamu tidak mau dengar. Yakin tidak mau dengar?” Tanya Joko sambil mengulum senyumnya.
Agus menghela nafasnya dan menautkan kedua alisnya. Kemudian berkata, “Pagi-pagi sudah ajak dengar gosip, seperti emak-emak rempong saja.”
Joko tersenyum dan mengusap dagunya setelah mendengar ucapan Agus barusan. “Si Rika, mantan kamu itu….. Dia mengungsi ke rumah tantenya. Dan rumah tantenya itu bersebelahan dengan rumahku.” Ujarnya sambil menyikut lengan Agus.
“Sudahlah, jangan dibahas lagi! Berita itu tidak penting buatku.” Jawab Agus sedikit kesal dengan sikap pria bertubuh kurus dan tinggi, seperti tiang listrik itu.
“Ada satu lagi gosipnya. Rika sudah jadi janda sekarang, Gus.” Bisik Joko.
Agus jadi tertegun sesaat. Hatinya seolah-olah menjadi bersorak senang mendengar kabar itu. Entah apa penyebabnya. Dia sendiri juga tidak mengerti.
Bersambung………..