Bab 5
“Suami Rika meninggal bulan lalu, kena serangan jantung. Kemalangannya begitu beruntun. Sekarang rumahnya yang habis terbakar. Kasihan Rika, Gus.” Ujar Joko lagi.
“Ya. Begitulah takdir, Ko. Kadang kita berada di atas dan kadang kita bisa jatuh ke bawah.” Jawab Agus sambil meninggalkan Joko sendirian.
Joko berlari menyusul Agus, karena gossip yang mau diceritakannya belum selesai. “Gus, tunggu dulu! Aku belum selesai bicara sama kamu! Kemarin aku dan Rika ngobrol panjang lebar mengenai kamu. Doi minta nomor telepon kamu. Sepertinya dia mau ajak kamu buat CLBK lagi.” Joko menepuk pundak Agus.
“Kamu ini kalau bicara jangan ngelantur! Aku sudah punya istri, Ko! Rika itu hanya masa laluku. Buat kamu sajalah! Kalian masih sama-sama jomblo begitu.” Agus duduk di kursi panjang dan mengeluarkan handphone miliknya dari dalam saku celananya.
Joko kembali tersenyum. Sebenarnya dia tidak percaya kalau Agus sudah ada istri, karena sudah beberapa kali dia mampir ke rumah pria yang bertubuh tegap itu, belum pernah melihat istri yang selalu Agus sebut-sebut itu.
“Hm…. Iya sajalah. Eh, btw….. Boleh dong sesekali kamu kenalkan kita sama istri kamu itu, Gus. Kamu kasih lihat foto istrimu saja, juga boleh.” Ujar Joko lagi.
Agus melirik ke arah Joko. Satu-satunya teman yang paling usil dan selalu saja penasaran dengan kehidupan pribadinya.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan ajak kalian untuk makan malam di rumahku.” Jawab Agus akhirnya.
“Bro, ayo berangkat sekarang! Ada panggilan darurat di bangunan bertingkat sarang wallet di Pasar Tengah.” Ujar Ijal sambil mempercepat langkahnya menuju mobil mereka.
Agus kembali menjalankan tugasnya bersama dengan keempat temannya. Mereka segera menuju ke lokasi kebakaran itu dan bertarung dengan si jago merah di sana.
*****
Jam sudah menunjukkan pukul 14.30 waktu setempat, barulah api di bangunan bertingkat sarang wallet itu berhasil dijinakkan. Untung saja tidak ada korban jiwa saat kejadian berlangsung. Sarang wallet yang harganya sampai ratusan juta milik pengusaha itu sudah ludes dilalap si jago merah.
Agus dan keempat temannya itu masuk kembali ke dalam mobil tugas yang berwarna merah yang berlambang Damkar itu, kemudian menuju kantornya. Untung saja ketika sampai di kantor, jatah makan siang sudah ada di atas meja.
Sambil menikmati makan siang, Agus mengetik sebuah chat yang ditujukan pada istrinya. Tiba-tiba saja hatinya sangat merindukan wanita berambut merah itu dengan bulu mata yang lentik.
{“Sayang, kamu lagi apa?”} Dan Agus langsung mengirimkan pesan itu pada Heni.
Beberapa menit kemudian, Agus langsung mendapatkan balasan pesan dari sang istri tercinta.
{“Aku lagi kangen sama mas.”}
Agus mengulum senyumnya sambil membaca balasan chat dari sang istri tercinta.
{“Sama, mas juga lagi kangen sama kamu.”}
{“Mas sudah makan belum?”}
{“Ini mas lagi makan siang, sayang. Coba video call, yuk! Mas benar-benar lagi kangen sama kamu.”}
{“Baik, mas.”}
Beberapa saat kemudian, Agus sudah bisa melihat penampakan dari wajah cantik sang istri tercinta. Wanita yang berambut panjang dan pirang sedang duduk-duduk di tepi pantai. Rumah orangtua Heni memang dekat dengan pantai.
“Sayang, I love you.” Ujar Agus.
“I love you too, mas.” Heni memajukan bibir sexy-nya. “Selamat bekerja ya, mas. Sampai bertemu nanti malam.”
“Iya, sayang.”
Agus mengakhiri panggilan videonya. Dia semakin tidak sabar untuk segera kembali ke rumah dan bermanja-manja di pelukan sang istri, yang membuatnya mabuk kepayang.
*****
Seminggu telah berlalu. Malam ini Tuti sengaja menunggu Agus pulang di teras rumah. Kalau anak bungsunya itu sudah pulang kerja, pasti Agus akan menghampiri dirinya.
Beberapa saat kemudian, pria berjaket jeans, dengan motor besarnya yang berwarna hitam itu masuk ke dalam pekarangan rumahnya. Tuti langsung berlari ke jalan raya dan menyeberang, kemudian menghampiri Agus yang sedang mendorong motornya masuk ke dalam garasi rumahnya.
“Baru pulang kerja, Gus?” Sapa Tuti berbasa-basi.
“Iya, ma, Hari ini lagi banyak terjadi kebakaran. Sekarang saja masih ada tim yang sedang bertugas. Untungnya Agus tidak ada jadwal malam ini.” Jawab Agus sambil mengeluarkan kunci rumahnya dan memasukkannya ke dalam knop pintu rumahnya.
Tuti mengikuti Agus masuk ke dalam rumah, lalu duduk di depan layar televisi dan menghidupkannya. Suasana rumah terlihat sangat sepi. Agus mencari keberadaan istrinya di dalam kamar, namun dia tidak menemukan Heni di sana. Dia meraih handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Tubuhnya sangat gerah, dikarenakan kesibukan hari ini yang sangat padat.
Selesai mandi dan berpakaian, Agus segera menemui mamanya yang sedang menonton televisi. Dia sudah tahu maksud dan tujuan kedatangan wanita yang mengenakan daster berbunga-bunga itu.
“Gus, ini sudah lebih dari seminggu. Mama mau dengar jawaban dari kamu. Mama sudah bertemu dengan Pak Ustad Timur. Dia ahli ruqyah juga pemilik rumah ruqyah, yang ada di daerah Gedong Air.” Tuti menatap putranya itu, yang sekarang sudah duduk di depannya.
“Ma, Agus waras. Agus tidak perlu diruqyah. Agus mau dijodohkan sama Wini. Mama atur saja semuanya. Agus akan menuruti kemauan mama.” Jawab Agus dengan tampang yang masam. Kemudian beranjak mengambil tas kecilnya yang ada di atas ruang tamu.
Tuti langsung mengembangkan senyumnya. Dia memanjatkan rasa syukurnya atas perubahan anaknya itu, yang sudah mau untuk dinikahkan. Dia berharap Agus tidak lagi berhalusinasi setelah punya istri yang nyata nantinya.
“Ma, ini ada ATM Agus. Mama pegang saja. Di ATM itu ada tabungan Agus, mama uruslah semuanya!” Ujar Agus sambil menyerahkan kartu ATM berwarna biru dengan logo lambang bank di atasnya.
“Jadi, maksud kamu, mama disuruh urus pernikahan kamu dengan Wini secepatnya?” Tuti kembali mengembangkan senyumnya.
“Iya. Bukankah lebih cepat lebih baik. Supaya mama juga tidak merasa gelisah lagi.” Jawab Agus dengan wajah yang masam.
“Ya sudah kalau begitu. Minggu depan kita langsung acara lamaran saja. Dan bulan depan langsung menikah. Besok mama akan belanja barang-barang yang dibutuhkan untuk barang hantaran untuk lamaran nanti.” Tuti bangkit dari tempat duduknya. “Oh ya, kalau kartu ATM ini sama mama, terus kamu bagaimana? Apa kamu masih ada kartu ATM lain atau bagaimana?”
“Itu ATM khusus untuk tabungan saja. Beda dengan ATM gaji.” Jawab Agus sambil mengekor di belakang mamanya menuju pintu.
“Baiklah kalau begitu. Kamu memang anak mama yang paling nurut, baik dan juga sholeh. Terima kasih sudah mau menuruti kemauan mama.” Tuti memeluk putranya itu, kemudian mencubit pipi Agus dengan gemas.
Agus hanya terlihat merengut, melihat mamanya masih memperlakukannya seperti anak kecil. Mentang-mentang dia anak bungsu dan satu-satunya anak laki-laki di dalam keluarganya.
“Ya sudah kalau begitu. Mama mau pulang dulu. Oh ya, kamu sudah makan belum, nak?” Tanya Tuti yang sudah melangkah menuruni teras rumah Agus, kembali membalikkan tubuhnya.
“Sudah. Mama hati-hati menyeberangnya.” Jawab Agus sambil duduk di kursi teras dan mengeluarkan handphone miliknya.
Dengan melantunkan shalawat, Tuti menyeberang jalan raya. Hari ini hatinya sangat senang. Baru kali ini Agus mau menerima perjodohan darinya. Padahal sudah lebih dari tiga tahun yang lalu, Tuti selalu menjadi mak comblang untuk Agus, tapi selalu saja gagal, karena Agus selalu menolaknya.
Tuti berharap kalau rencananya nanti berjalan dengan mulus dan tanpa ada rintangan apa pun, apalagi kali ini Agus sudah menyetujuinya. Dia tidak mau mendengar para tetangga yang selalu saja bergosip mengenai putranya yang suka berhalusinasi dan mengaku sudah mempunyai seorang istri yang cantik jelita, namun kenyataannya Agus masih tinggal sendiri di rumahnya.
Bersambung………