Bab 3
Hari ini, Agus mendapat cuti sehari. Dia berencana akan menghabiskan waktunya bersama dengan sang istri tercinta. Dia ingin mengajak Heni jalan-jalan keluar. Akan tetapi, Heni sudah tidak terlihat di rumah. Heni sudah menghilang sejak Agus bangun tidur tadi.
“Ah….. Aku sampai lupa memberitahunya kalau hari ini aku libur.” Agus berdecak kesal, sambil membuka pintu rumahnya. Kemudian duduk di teras, sambil mengotak-atik handphone-nya, mengirim pesan untuk istrinya.
Tuti yang melihat sang putra bungsunya sedang duduk bersantai seorang diri, langsung turun dari rumah dan menyebrangi jalan. Dengan tergesa-gesa, dia melangkah masuk ke pekarangan rumah Agus. “Gus, hari ini kamu tidak masuk kerja?” Tanya Tuti sambil duduk di samping Agus.
“Hari ini Agus dapat libur, ma.” Jawab Agus yang tidak mengalihkan pandangannya dari handphone yang ada di tangannya.
“Bagus kalau begitu. Kamu segera cepat bersiap! Temani mama pergi ke rumah teman.” Ujar Tuti sambil mengembangkan senyum. Dia sudah merencanakan sesuatu untuk putra bungsunya itu.
“Teman mama yang mana? Dan ada perlu apa mama ke sana? Kenapa mama tidak minta ditemani Mbak Elna saja?” Tanya Agus dengan tidak bersemangat, sebab chat yang dia kirimkan pada sang istri masih juga belum terkirim.
“Hari ini Mbak Elna itu lagi sibuk urus dua orang anaknya yang lagi belajar online. Ya sudah, mama mau ganti baju dulu.” Ujar Tuti sambil membalikkan tubuhnya. “Oh ya…. Nanti kita pakai motor mbakmu saja. Ibu susah kalau naik motormu yang besar itu.” Sambung mamanya lagi.
Lagi-lagi Agus tersenyum kecut dan masuk ke dalam rumahnya. Kemudian mengganti celana pendeknya dengan celana panjang, kemudian meraih jaket jeansnya.
Beberapa saat kemudian, kedua ibu dan anak itu sudah meluncur ke jalan raya.Tuti memeluk pinggang putra bungsunya itu. Jarang sekali dia bisa mengajak Agus jalan-jalan seperti saat ini, semenjak Agus menjadi petugas Damkar. Ketika bekerja sebagai ABK, lebih lagi. Mereka jarang sekali bertemu.
Agus memang sangat menyukai pekerjaan yang menantang adrenalin. Jiwa sosialnya sangat tinggi. Dia sampai rela merantau demi tuntutan pekerjaannya. Hanya mamanya yang selalu mengkhawatirkannya. Bagaimana tidak, Agus sebagai putra bungsu dari tiga bersaudara, yang semuanya adalah wanita.
“Gus, itu rumahnya yang pagarnya hitam.” Ujar Tuti sambil menepuk pundak Agus.
Agus melambatkan laju sepeda motornya. Kemudian berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan taman bunga yang terlihat sangat indah dan tertata dengan rapi. Tuti turun dari motor dan mengajak Agus untuk masuk.
“Ayo, Gus!” Ajak Tuti.
“Mama sajalah yang masuk ke dalam. Aku tunggu di sini saja, tapi jangan lama-lama ya, ma.” Ujar Agus sambil menatap wanita yang sudah berumur 60 tahun itu.
“Ayo, masuk! Mana boleh menunggu di motor seperti itu!” Tuti menarik tangan Agus dan meyeretnya ke depan pintu yang sudah terbuka.
Dengan tampang yang cemberut, Agus terpaksa menuruti keinginan ibunya.
“Permisi…….!” Ucap Tuti sambil membunyikan bel yang ada di samping pintu.
“Ya. Siapa ya?” Jawab pemilik rumah, sambil melangkah ke ruang tamu dan melihat siapa yang datang. “Eh, Jeng Tuti! Ayo, silahkan masuk!”
Tuti tersenyum, kemudian cupika-cupiki dengan si pemilik rumah, sambil melangkah masuk ke dalam rumah.
Agus mengikuti langkah kaki mamanya, kemudian duduk di sofa dan bersebelahan dengan mamanya.
“Jeng Ratna, maaf ya, aku baru hari ini bisa mampir ke sini. Soalnya anak bungsuku ini sibuk kerja terus.” Ujar Tuti tertawa kecil, sambil menepuk pundak Agus.
Kedua ibu-ibu arisan itu mulai terlibat obrolan ala amak-emak dan menceritakan semua urusan yang tidak penting sama sekali. Akan tetapi, Tuti selalu saja membanggakan Agus di depan temannya itu. Agus pun menjadi curiga melihat gelagat ibunya, dimana dia sudah sangat hafal dengan sifat ibunya itu.
“Sepertinya memang berjodoh, jeng.” Ujar Tuti sambil tersenyum. “Ya sudah, jeng, cepat panggil Wini ke sini!”
Dengan senyuman yang selalu mengembang, wanita itu masuk ke dalam rumah memanggil anak gadisnya, yang saat itu sedang memasak di dapur.
“Wini, cepat cuci tanganmu! Kemudian ganti bajumu dan dandan yang cantik! Teman mama, Jeng Tuti, mau mengenalkan kamu dengan putra bungsunya. Dia sangat tampan dan juga gagah. Mudah-mudahan saja dia adalah jodohmu!” Ujar Ratna penuh dengan semangat.
Wini menghela nafasnya, kemudian beranjak masuk ke dalam kamarnya. Dia sudah tidak heran lagi dengan ulah mamanya, yang selalu saja berusaha menjodohkannya dengan semua anak temannya. Dia malas membantah, apalagi dengan usianya yang kini sudah menginjak 28 tahun. Usia yang matang untuk berumah tangga. Akan tetapi, dia selalu saja gagal dalam menjalin hubungan. Semua pacarnya selalu selingkuh dan meninggalkannya. Maka dari itu, dia sudah malas berkenalan dengan pria dan membiarkan mamanya saja yang mencarikan jodoh untuknya.
Sepuluh menit kemudian, kedua teman arisan itu sudah duduk berhadapan dengan masing-masing menggandeng anak mereka.
“Wini ini seorang perawat. Usianya sudah 28 tahun.” Ujar Ratna sambil melirik ke arah sang putri yang kini sudah duduk di sampingnya.
“Gus, lihat! Wini cantik sekali ya?” Bisik Tuti sambil menyikut lengan Agus, yang malah fokus pada layar handphone-nya.
“Eh…..!” Ujar Agus gugup. Handphone-nya langsung terlepas dan jatuh ke lantai.
“Mana handphone kamu? Untuk sementara mama sita dulu!” Bisik Tuti lagi mengambil handphone milik Agus yang jatuh di kakinya, kemudian menyimpannya ke dalam tasnya.
Agus menghela nafas panjang melihat tingkah mamanya itu, kemudian mengangkat wajahnya. Kini tatapan matanya beradu pandang dengan Ratna dan Wini. Dia tersenyum tidak enak hati dan sedikit salah tingkah diperhatikan oleh ibu dan anak itu.
“Silahkan diminum teh, mas.” Ujar Wini pada Agus.
“Oh ya….. Terima kasih.” Jawab Agus sambil meraih cangkir teh dan meminumnya.
“Mas Agus sudah berapa lama kerja di Damkar? Sepertinya kemarin kita pernah ketemu, saat mas sedang memadamkan api di perumahan Permata Biru, sekitar seminggu yang lalu.” Ujar Wini lagi. Saat itu dia merasa salut akan salah satu tim Damkar yang dengan beraninya menerobos api demi menyelamatkan seorang anak kecil.
“Oh ya……! Jadi kamu adalah perawat yang ada di sana saat kejadian naas itu terjadi?” Agus mulai mengingat-ingat kejadian sekitar seminggu yang lalu.
“Iya, mas. Wini salah satu dari dua perawat waktu itu. Mas pasti tidak melihat aku, soalnya waktu itu mas sedang bertugas.”
“Ehm…. Iya.” Kata Agus sambil tersenyum.
Tuti dan Ratna saling pandang. Mereka menaikkan alis melihat anak-anak mereka sudah saling pendekatan.
Satu jam kemudian, Tuti pamit pulang dan berjanji akan datang kembali di lain waktu. Agus hanya bisa menghela nafas panjang dan menarik baju ibunya, mengajaknya pulang, karena biar pun sudah ada di depan pagar, namun kedua ibu-ibu arisan itu masih tetap saja melanjutkan obrolan mereka dengan asyiknya.
“Ayo pulang, ma!” Ajak Agus yang sudah bersiap di atas motornya.
“Iya, iya, tunggu sebentar lagi!” Jawab Tuti sambil menoleh sekilas ke arah Agus, yang sudah cemberut karena bosan.
“Ya sudah, Jeng Ratna. Kami pamit pulang dulu ya. Selebihnya nanti kita bicarakan di WA ya, jeng!” Tuti naik ke motor, kemudian melambaikan tangannya pada temannya itu.
Motor mulai melaju menuju ke rumah. Tuti tersenyum senang sambil memeluk pinggang Agus. “Gus, Wini itu orangnya cantik dan baik ya? Kamu mau kan kalau mama jodohin kamu sama dia?” Tanyanya.
Agus menarik nafasnya dengan berat. Dugaannya ternyata benar. Dia akan dijodohkan dengan anak teman mamanya itu.
“Sekarang Agus sudah ada istri, ma.” Jawab Agus kesal.
“Istri kamu yang mana, Gus? Mama saja tidak pernah tahu siapa istrimu itu. Berhentilah berhalusinasi, nak! Sekarang umurmu sudah tua, Gus. Sebaiknya terima saja Wini sebagai jodohmu. Kalau mama lihat, Wini itu wanita yang baik, cantik dan seorang perawat pula. Pekerjaan kalian saja sudah ada chimestrynya. Kurang apalagi, coba? Kalian sama-sama berjiwa sosial dan mengabdi pada masyarakat.” Ucap Tuti berapi-api.
Agus terdiam mendengar ucapan mamanya itu.
“Kalau kamu menolak untuk dijodohkan, mama akan membawamu ke Pak Ustad untuk diruqyah!” Ancam Tuti.
Agus mengerutkan keningnya mendengar ancaman dari mamanya barusan.
Apakah Agus jadi menikah dengan Wini? Nantikan jawabannya pada bab selanjutnya…..