6. Wah, Sungguh Pembicaraan Yang Gila
Chapter 6
Wah, Sungguh Pembicaraan Yang Gila.
Saat Rosie membuka mata, punggungnya didera rasa perih dan nyeri. Ia teringat pagi ini terbangun dengan kondisi punggung terluka parah. Meski tidak terlalu mendengarkan, tetapi Vera bilang bahwa punggungnya mengalami luka robek yang parah karena cambuk. Padahal Rosie hanya bermimpi.
Ah, saat tidur usai diberikan obat pereda rasa sakit, Rosie juga memimpikan hal yang sama. Apa orang yang dicambuki dalam mimpinya itu sedang berbagi rasa sakit? Tetapi sangat tidak masuk akal bisa menembus dunia nyata seperti ini.
Sekeras apa pun Rosie memikirkannya sampai tidak nafsu makan, ia bahkan tak bisa menemukan jawabannya. Terlalu berat untuk otaknya yang tidak seberapa. Lagi pula ia hanya bekerja sebagai kepala divisi di sebuah perusahaan besar dan Rosie pun bukan penyukai fiksi. Hal seperti ini di luar nalarnya.
Yah, Rosie tidak berharap orang lain bersimpati pada kondisi sakitnya saat ini. Selain Vera, orang-orang tampak tenang. Bahkan Rosie juga sangat tenang sebagai orang yang mengalami luka pagi ini.
Setidaknya sampai Cyan datang mengunjunginya.
Pria itu malah dengan arogannya menuduh Rosie gila karena melukai dirinya sendiri. Untuk ukuran peran piguran tidak penting di buku aneh sialan itu, Rosie bukan orang gila yang mau melukai dirinya sendiri. Yah, ada 1 kegilaan tentang wanita itu yang hanya disebutkan sekali. Rosienante tidak mengeluarkan ucapan apa pun saat Kaisar Cyan naik takhta dengan paksa dan melakukan pembersihan.
Rosenante tidak meminta pengampunan atau komentar pada pria yang dengan dingin menusukkan pedangnya ke jantung Rosenante.
Ah, sialan. Dasar pria berhati dan berotak dingin.
Apa yang barusan dikatakannya? Rosie hanya terluka punggungnya dan bukan telinga. Ia masih jelas mendengar kalau Cyan bilang Putra Mahkota Viridian tertarik pada Rosenante.
Wah, apa tidak cukup dengan menatap jijik pada pria ini agar dia keluar dan meninggalkan Rosie sendirian? Ucapannya sama gila dengan perilakunya.
“Wah, benar-benar,” gumam Rosie. “Dari tadi, apa yang Anda ucapkan? Anda tahu, Yang Mulia? Otak saya hanya sebesar kacang polong. Saya tidak mengerti apa yang Anda ucapkan. Percuma bicara dengan orang sakit.”
Cyan menyeringai.
Oh, astaga. Apa pembicaraannya tidak bisa selesai dengan singkat?
“Jika Yang Mulia Pangeran menyetujui untuk mengadakan pemilihan putri mahkota, kau mungkin akan jadi kandidat terkuat.”
Rosie menghela napas. “Itu artinya Anda akan menjual saya ke istana?”
Cyan tertawa. “Sungguh pertanyaan yang tidak terduga, ya. Nona Lowen, pemilihan putri mahkota bukan hal yang bisa dengan mudah kau hindari. Meski tidak suka kau tetap harus berpartisipasi. Acara itu diperuntukan untuk semua wanita bangsawan.”
Ah, bajingan!
Dalam hati Rosie menjambak rambutnya karena merasa frustrasi. Bagaimana mengatasi pria menyebalkan ini?
“Ya, itu kalau putra mahkota setuju untuk melakukannya ‘kan?” Rosie tersenyum lebar sambil memiringkan kepalanya pada Cyan. Ia sengaja tersenyum sampai matanya tertutup agar pria ini cepat pergi.
Cyan mendengkus lagi. “Ya.”
Tiba-tiba saja senyum di wajah Rosie menghilang. “Kalau begitu tinggal bujuk saja agar Yang Mulia Pangeran tidak melakukannya.”
“Lalu kau bisa menjadi kandidat utama?”
Gaahhh! Ada apa, sih, dengan orang ini? Dia menyebalkan sekali.
“Saya tidak kenal pada putra mahkota.”
“Apa?” Kening Cyan berkerut.
“Kalau Anda bilang saya pernah bicara pada Pangeran Viridian, mungkin dia adalah satu dari sekian orang yang saya temui. Bagaimana saya bisa ingat?”
“He, kau tahu, Nona Lowen. Ucapanmu bisa membuatmu berakhir di tiang gantungan.”
Rosie terkekeh pelan. “Anda juga orang yang populer di kekaisaran ‘kan? Apa Anda ingat pernah mengobrol dengan wanita yang bernama Etylere?”
Cyan diam.
“Tidak, ya? Nah, hal itu juga terjadi pada saya. Jangan memaksakan diri, Yang Mulia.”
Cyan menyeringai. “Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berdebat dengan menyenangkan seperti ini.”
Tuh ‘kan. Grand Duke Orion tidak bisa dikatakan sebagai orang waras sepenuhnya. Obrolannya saja tidak normal begini. Apa yang Rosie harapkan?
“Terima kasih. Setidaknya Anda tidak bilang kalau saya membosankan.”
Apa, sih, ini? Kenapa membicaraannya terasa sangat gila?
Hanya ini satu-satunya cara untuk membuat si gila ini pergi, pikir Rosie. Jadi, ia langsung saja merebahkan tubuhnya, memunggungi Cyan. “Jika tidak ada lagi yang ingin Anda sampaikan, saya akan istirahat sekarang, Yang Mulia. Terima kasih sudah datang.”
“Baiklah.”
Rosie mendengar langkah Cyan yang berjalan menuju pintu. Tetapi kemudian suara itu berhenti. Rosie menduga kalau pria itu belum keluar karena tidak ada suara pintu yang tertutup.
“Lain kali, jangan melewatkan makan siangmu, Nona Lowen.”
Rosie tidak menjawab, tetapi setelah itu suara pintu tertutup dan ia langsung berbalik melihat. Cyan benar-benar sudah pergi. Segera setelah pria itu menghilang, Rosie kembali duduk dan memegang dadanya. Berkali-kali menghembuskan napas.
Huha! Huha!
Rosie sampai melotot karena mengakui keberaniannya berdebat dengan Cyan Scal De Orion. Ia memang bicara sekurang ajar itu, tetapi jantungnya tidak berhenti kembang kempis karena takut. Tetapi kenapa pria itu tidak langsung mencekiknya saja, ya?
Rosie pikir jantungnya akan lepas karena degupnya kencang sekali. Bagaimanapun ia memang tidak bisa menghadapi orang segila Cyan.
“Ya, Tuhan. Sungguh pembicaraan yang sangat gila!” teriaknya sambil mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Rosie harap, selain ia dan Cyan, tidak ada lagi yang mendengar pembicaraan mereka.
***
“Tolong aku, Ian!”
Cyan menghela napas begitu masuk ke ruang kerja putra mahkota. Baru sehari ia tidak datang ke istana untuk membantu sepupunya itu. Ruangan ini sudah benar-benar seperti kapal pecah. Banyak dokumen berserakan di lantai. Belum lagi kondisi putra mahkota yang seperti diekploitasi habis-habisan oleh sekretarisnya. Wajah pria itu seperti orang yang sudah tidak tidur beberapa hari.
“Jangan merengek seperti itu, Yang Mulia Pangeran. Anda membuat saya terdengar jahat,” kata pria berkaca mata yang berdiri di dekat sebuah meja tidak jauh dari meja kerja putra mahkota. “Saya tidak mengekploitasi Anda.”
“Kau melakukannya, Ather. Kau tidak membiarkanku kembali ke kamar.”
“Saya baru sehari tidak ke sini. Tapi pekerjaannya sudah menumpuk, ya,” kata Cyan saat berjalan masuk diikuti oleh Skot. Ia membungkuk untuk mengambil salah satu dokumen yang berserakan di lantai.
Harus Cyan akui bahwa Viridian termasuk hebat bisa mengerjakan banyak dokumen seperti ini sendirian. Tidak benar-benar sendirian. Pria itu dibantu oleh sekretarisnya, Count Ather Onix. Terkadang Cyan juga membantunya menyortir dokumen yang darurat ditangani atau yang bisa menunggu.
“Kau datang untuk bertemu dengan Baginda?” tanya putra mahkota.
Cyan mengangguk. “Saya dengar beliau mengoceh untuk menikah lagi.”
Pangeran Viridian tersenyum sambil mengangkat kedua tangannya. “Mungkin saja dia akan menikah lebih dulu dari aku.”
“Apa Anda mau punya ibu tiri yang usianya jauh lebih muda dari Anda, Yang Mulia Pangeran?” pancing Ather yang sudah memegang dokumen. Sepertinya bersiap untuk pulang hari ini karena Cyan sudah datang ke istana.
Ather tahu kapan waktunya istirahat dengan memanfaatkan keberadaan seseorang.
“Jangan membuatku merinding, Ather.”
“Dari itu makanya Grand Duke datang,” ucap Ather kemudian sambul membenarkan kacamatanya. “Untuk membuat Banginda tidak menikah dengan wanita yang harusnya jadi istri Anda.”
Cyan mendengkus pelan. “Kau boleh istirahat, Count Onix.”
“Terima kasih atas kebaikan hati Anda, Yang Mulia.” Ather membungkuk pada Cyan dan Viridian sebelum melangkah.
“Nah, haruskan kita pergi juga? Aku mau mencoba mengobrol dengan wanita itu.”
“Apa?”
Cyan sedikit memiringkan tubuhnya mendengar suara Ather yang semula dipikir telah keluar. Ternyata pria berambut hijau gelap itu masih berdiri di depan pintu ruangan yang tertutup.
“Anda mau pergi menemui Nona Lowen?” Ather kembali berjalan mendekat.
“He, aku hanya ingin menyapanya. Mana mungkin aku tidak menyapa orang yang baru tinggal di rumah sepupuku,” kata Viridian dengan senyum lebar.
“Anda ingin kabur,” gumam Ather dan Viridian terkekeh pelan. “Anda kan sudah dengar rumornya. Kalau Anda menemui Nona itu—”
“Kediaman Orion adalah tempat paling aman selain istana,” potong Viridian dengan senyum kecil. “Aku kan sudah berhasil bicara pada orang itu. Kenapa aku harus menyia-nyiakan kesempatan lainnya?”
“Berhasil sekali bukan berarti akan beruntung lagi, Yang Mulia Pangeran.”
“Keberuntungan itu bisa diketahui kalau sudah mencobanya, Ather.”
Cyan melirik pada Skot. Asistennya itu pasti juga berpikiran sama. Alasan putra mahkota bisa berhasil bicara pada si Mayat Hidup Pergaulan Atas karena pria itu adalah calon kaisar berikutnya. Mana ada orang yang cari mati dengan mengabaikan putra mahkota. Hal itu mungkin juga berlaku untuk Rosenante yang dingin di publik.
“Sebisa mungkin, tolong untuk menghindari rumor, Yang Mulia,” Ather menghela napas karena merasa sangat lelah.
“Kupikir tidak masalah,” kata Cyan kemudian. “Aku tidak mendengar rumor buruk tentang wanita itu.”
“Tidak mendengar bukan berarti tidak ada, Grand Duke.”
“Itu kan hanya rumor tentang Marquess Lowen. Tidak ada kaitannya dengan Nona Lowen,” bantah Viridian yang tetap kukuh dengan pendiriannya terhadap penilaian untuk Rosenante.
“Ada, Yang Mulia. Meski orang-orang tidak berani mengungkitnya saat diperkumpulan. Tetapi rumor tentang Marquess menjual adiknya pada Grand Duke Orion itu terus menyebar.”
“Apa kau bilang?” tanya Cyan dengan kening berkerut. “Rumor apa?”
.
.
Original story by Viellaris Morgen
Rabu (13 Maret 2024)