Bab 2
"Prinsip hidup, hidup adalah pilihan. Anda hidup, karena pilihan. Pilihan anda adalah hidup--"
Zahra menahan kantuknya yang luar biasa. Pak Ayan, guru ekonomi yang mengajar di kelasnya terlalu bertele-tele. Kadang tidak sesuai dengan materi, membuat orang-orang yang ada di kelas jadi bosan. Penyampaian materi yang lambat sangat kurang cocok dengan type pelajar jaman sekarang, belum lagi di sela-sela mengajar, ada saja yang guru tersebut sangkut pautkan dengan kehidupan pribadinya.
Terkadang, saat sedang asyik-asyiknya sedang membahas soal, mereka malah menyangkut pautkan dengan kehidupan pribadi. Ada yang membanggakan anaknya, ada yang curhat soal rumah tangganya, ada yang kesal dari rumah dan dibawa ke sekolah akhirnya murid yang kena imbas. Apadaya para murid, seperti hukum alam, bahwa :
1. Guru selalu benar
2. Kalau guru salah, kembali ke nomor satu.
Ah, sudahlah.
"Ra, Ra!" Panggil Lea pelan, seraya menyikut perut Zahra yang duduk tepat di sampingnya.
Zahra menoleh, wajahnya sudah kusut karena menahan kantuk. Belum lagi rasanya ia ingin terus marah-marah, bahkan pada hal kecil. Mungkin sebentar lagi ia akan mendapatkan tamu bulanan, karena memang hal itu selalu merubah sosok gadis pendiam sekalipun menjadi singa.
"Elah, muka lo galak amat. Kaga jadi dah," ucap Lea kemudian. Membuat Zahra kesal, kemudian memilih mendiamkan saja bila Lea kembali memanggilnya.
Memang, hal yang paling mengesalkan di dunia ini, saat seseorang membuat kita penasaran dan dia tidak jadi mengatakannya. Apalagi, waktu teman kita sudah bersemangat ingin bercerita, membuat kita penasaran kemudian ia malah tidak jadi menceritakannya. Tolong, jenis teman seperti ini minta ditenggelamkan.
"Ra.." panggil Lea, lagi. Kali ini suaranya kecil, mirip suara tikus kejepit pintu.
Zahra sudah bertekat, tidak akan menghiraukan. Biar saja Lea memanggilnya sampai mulut gadis itu berbusa, Zahra kesal.
"Ra.." panggil Lea sekali lagi, kali ini suaranya terdengar memelas. "Gue diputusin Davin.."
Mendengar itu, Zahra langsung menoleh. Menatap ke arah Lea yang sudah bersiap ingin menangis. Huh, Zahra sangat membenci momen seperti ini. Momen dimana para sahabatnya menangis karena makhluk yang disebut lelaki. Apalagi, nangisnya dateng ke Zahra. Bukannya Zahra sahabat yang buruk karena tidak suka mendengarkan curhatan para sahabatnya tentang cowok, tapi Zahra sudah sering menasehati ini dan itu namun mereka tidak mendengarkan, waktu yang Zahra katakan terjadi, mereka malah datang seraya menangis. Kan Zahra kesal.
"Kenapa? Diselingkuhin? Dia bosen? Nggak suka dikekang?" Tanya Zahra dengan nada malas.
"Bukan.." Lea menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terus?" Zahra menaikkan sebelah alisnya.
"Gue nelfon dia waktu dia main mobile legend, dia kalah dan gue diputusin."
See? Cowok memang gitu. Kalau nggak banci, ya brengsek. Ada gitu, putus gara-gara kalah main mobile legend? Please, cinta nggak semain-main itu.
"Goblok, sih." Ucap Zahra, cewek itu menatap datar ke arah Lea. "Udah bisa diambil kesimpulannya kan, Le? Dia nggak bener-bener sayang sama lo, diputusin gara-gara game? Lol."
"Tapi dia bilang dia sayang banget sama gue, Ra.."
"Astgfirullah, Lea." Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gini, ya. Cowok itu mulutnya emang udah diatur buat ngomong manis melulu. Buktinya? Nggak ada. Yaiyalah semua cowok bilang sayang ke pacarnya, yakali enggak. Tapi kan kita nggak tau, isi hati dia sebenernya gimana."
"Jadi, Davin nggak sayang sama gue?" tanya Lea dengan suara melemas.
"Ya lo pikirin aja sendiri. Emangnya ada ya, cowok yang katanya sayang, tapi mutusin gara-gara game doang?"
"Zahra..gue pengen nangis.."
"Lo daritadi udah nangis, bego." cibir Zahra. "Udah deh, Le. Jangan buang air mata lo sia-sia."
"Baik, saya rasa cukup pelajaran kita hari ini. Selamat pagi."
"Pagi, Pak!" sahut seluruh murid serentak.
Tepat saat kelas mulai kosong, tangis Lea pecah. Gadis itu memangis sesegukan, seperti anak kecil yang permennya direbut. Membuat Tania dan Diandra yang duduk di depannya, menoleh ke belakang.
"Le, lo kenapa?" tanya Tania heran.
"Hp lo rusak lagi?" tebak Diandra. "Ih, kan udah gue bilangin itu hp dijual aja. Bandel, sih."
"Bu-bukan," jawab Lea sesegukan.
"Diputusin Davin, noh." celetuk Zahra seraya menatap ponselnya.
"Serius?!"
Lea menganggukkan kepalanya.
"Ya Allah, gue harus datengin Zafran!" geram Tania yang langsung bangkit dari duduknya.
"Ngapain? Lo mau mutusin Zafran juga?"
"Ya enggak lah, Di! Gue mau nampol si Davin! Dulu dia maksa gue buat comblangin dia sama Lea, sekarang seenak jidat mutusin."
"Ikut, Tan." Diandra bangkit dari posisinya, kemudian menoleh pada Zahra yang masih setia menatap ponselnya. "Lo nggak ikut, Ra?"
Zahra mendongakkan kepalanya, "ikut kemana?"
"Ke kelas Zafran,"
"Ngapain?"
"Masa lo nggak denger kata Tania tadi?"
"Nggak denger, gue main hp."
"Yaudahlah serah, ikut kaga?"
"Males."
"Yaudah," Diandra dan Tania melengos pergi. Meninggalkan Lea yang sedang menangis sesegukan, dan Zahra yang berusaha menenangkan sahabatnya itu dengan ogah-ogahan.
"Udah deh, Le. Mau sampe kapan nangisin cowok brengsek kayak dia?"
Lea menghapus air matanya, "Sampe gue mau berheti, Ra."
"Kapan lo berhenti?"
"Nanti, waktu gue mau berhenti."
Ingin sekali rasanya Zahra menggetok kepala Lea. Begitu bodohnya, membuang air mata untuk lelaki yang tidak jelas. Zahra bahkan tidak akan pernah melakukannya.
"Lo berhenti nangis, atau-"
"Happy Birthday Lea, happy birthday Lea-"
Ucapan Zahra terhenti, tepat saat Davin dan teman-temannya diikuti Diandra, Tania dan Chatrine di belakangnya datang dengan membawa sebuah kue dengan lilin angka 17 di atasnya. Lea menutup mulut tidak percaya, sedangkan Zara menatap datar ke arah mereka.
"Happy birthday, sayang." kata Davin dengan senyum manisya. Cowok itu menyodorkan kue di genggamannya pada Lea, dan Lea mulai menangis lagi. Bedanya, kali ini ia menangis bahagia.
"Maafin kita udah ngerjain lo ya, Le." celetuk Tania seraya memeluk sahabatnya itu.
"Maafin aku udah kasar sama kamu, ya." Davin mengacak puncak kepala Lea. "Kita nggak putus, kok."
"Ini surprise?" tanya Zahra.
Tania menggigit bibir bawahnya, kemudian mengangguk ragu. "I-iya, Ra. Sorry kita nggak kasih tau lo, soalnya lo pasti bakalan nolak."
"Oh," Zahra menganggukkan kepalanya. "Kalo gitu, gue cabut."
"Ra, mau ke mana?" cegat Tania.
"Cari angin," sahut Zahra datar sebelum ia melengos pergi tanpa menghiraukan teman-temannya.
"Gue yakin 100%, Zahra marah." kata Diandra.
Chatrine mengangguk setuju, "pasti. Udah gue bilang, harusnya kita kasih tau dulu ke dia."
"Terus, sekarang gimana?"
"Biarin dulu, adek gue emang ambekkan. Tar juga baek ndiri." celetuk Zafran.
"Itu kuenya mau diemin aja?" timpal Regan. "Laper, belom sarapan."
"Makan mulu!" Chatrine mencubit pelan perut Regan, membuat Regan meringis. "Zahra ngambek, itu masalah besar."
"Ye, suruh Eldy susul lah, yang. Kan doinya." Regan mencebikkan bibirnya. "Lah, Eldy mana?"
"Udah ngacir nyusulin Zahra dari tadi." sahut Tama
"Prinsip hidup, hidup adalah pilihan. Anda hidup, karena pilihan. Pilihan anda adalah hidup--"
Zahra menahan kantuknya yang luar biasa. Pak Ayan, guru ekonomi yang mengajar di kelasnya terlalu bertele-tele. Kadang tidak sesuai dengan materi, membuat orang-orang yang ada di kelas jadi bosan. Penyampaian materi yang lambat sangat kurang cocok dengan type pelajar jaman sekarang, belum lagi di sela-sela mengajar, ada saja yang guru tersebut sangkut pautkan dengan kehidupan pribadinya.
Terkadang, saat sedang asyik-asyiknya sedang membahas soal, mereka malah menyangkut pautkan dengan kehidupan pribadi. Ada yang membanggakan anaknya, ada yang curhat soal rumah tangganya, ada yang kesal dari rumah dan dibawa ke sekolah akhirnya murid yang kena imbas. Apadaya para murid, seperti hukum alam, bahwa :
1. Guru selalu benar
2. Kalau guru salah, kembali ke nomor satu.
Ah, sudahlah.
"Ra, Ra!" Panggil Lea pelan, seraya menyikut perut Zahra yang duduk tepat di sampingnya.
Zahra menoleh, wajahnya sudah kusut karena menahan kantuk. Belum lagi rasanya ia ingin terus marah-marah, bahkan pada hal kecil. Mungkin sebentar lagi ia akan mendapatkan tamu bulanan, karena memang hal itu selalu merubah sosok gadis pendiam sekalipun menjadi singa.
"Elah, muka lo galak amat. Kaga jadi dah," ucap Lea kemudian. Membuat Zahra kesal, kemudian memilih mendiamkan saja bila Lea kembali memanggilnya.
Memang, hal yang paling mengesalkan di dunia ini, saat seseorang membuat kita penasaran dan dia tidak jadi mengatakannya. Apalagi, waktu teman kita sudah bersemangat ingin bercerita, membuat kita penasaran kemudian ia malah tidak jadi menceritakannya. Tolong, jenis teman seperti ini minta ditenggelamkan.
"Ra.." panggil Lea, lagi. Kali ini suaranya kecil, mirip suara tikus kejepit pintu.
Zahra sudah bertekat, tidak akan menghiraukan. Biar saja Lea memanggilnya sampai mulut gadis itu berbusa, Zahra kesal.
"Ra.." panggil Lea sekali lagi, kali ini suaranya terdengar memelas. "Gue diputusin Davin.."
Mendengar itu, Zahra langsung menoleh. Menatap ke arah Lea yang sudah bersiap ingin menangis. Huh, Zahra sangat membenci momen seperti ini. Momen dimana para sahabatnya menangis karena makhluk yang disebut lelaki. Apalagi, nangisnya dateng ke Zahra. Bukannya Zahra sahabat yang buruk karena tidak suka mendengarkan curhatan para sahabatnya tentang cowok, tapi Zahra sudah sering menasehati ini dan itu namun mereka tidak mendengarkan, waktu yang Zahra katakan terjadi, mereka malah datang seraya menangis. Kan Zahra kesal.
"Kenapa? Diselingkuhin? Dia bosen? Nggak suka dikekang?" Tanya Zahra dengan nada malas.
"Bukan.." Lea menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terus?" Zahra menaikkan sebelah alisnya.
"Gue nelfon dia waktu dia main mobile legend, dia kalah dan gue diputusin."
See? Cowok memang gitu. Kalau nggak banci, ya brengsek. Ada gitu, putus gara-gara kalah main mobile legend? Please, cinta nggak semain-main itu.
"Goblok, sih." Ucap Zahra, cewek itu menatap datar ke arah Lea. "Udah bisa diambil kesimpulannya kan, Le? Dia nggak bener-bener sayang sama lo, diputusin gara-gara game? Lol."
"Tapi dia bilang dia sayang banget sama gue, Ra.."
"Astgfirullah, Lea." Zahra menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gini, ya. Cowok itu mulutnya emang udah diatur buat ngomong manis melulu. Buktinya? Nggak ada. Yaiyalah semua cowok bilang sayang ke pacarnya, yakali enggak. Tapi kan kita nggak tau, isi hati dia sebenernya gimana."
"Jadi, Davin nggak sayang sama gue?" tanya Lea dengan suara melemas.
"Ya lo pikirin aja sendiri. Emangnya ada ya, cowok yang katanya sayang, tapi mutusin gara-gara game doang?"
"Zahra..gue pengen nangis.."
"Lo daritadi udah nangis, bego." cibir Zahra. "Udah deh, Le. Jangan buang air mata lo sia-sia."
"Baik, saya rasa cukup pelajaran kita hari ini. Selamat pagi."
"Pagi, Pak!" sahut seluruh murid serentak.
Tepat saat kelas mulai kosong, tangis Lea pecah. Gadis itu memangis sesegukan, seperti anak kecil yang permennya direbut. Membuat Tania dan Diandra yang duduk di depannya, menoleh ke belakang.
"Le, lo kenapa?" tanya Tania heran.
"Hp lo rusak lagi?" tebak Diandra. "Ih, kan udah gue bilangin itu hp dijual aja. Bandel, sih."
"Bu-bukan," jawab Lea sesegukan.
"Diputusin Davin, noh." celetuk Zahra seraya menatap ponselnya.
"Serius?!"
Lea menganggukkan kepalanya.
"Ya Allah, gue harus datengin Zafran!" geram Tania yang langsung bangkit dari duduknya.
"Ngapain? Lo mau mutusin Zafran juga?"
"Ya enggak lah, Di! Gue mau nampol si Davin! Dulu dia maksa gue buat comblangin dia sama Lea, sekarang seenak jidat mutusin."
"Ikut, Tan." Diandra bangkit dari posisinya, kemudian menoleh pada Zahra yang masih setia menatap ponselnya. "Lo nggak ikut, Ra?"
Zahra mendongakkan kepalanya, "ikut kemana?"
"Ke kelas Zafran,"
"Ngapain?"
"Masa lo nggak denger kata Tania tadi?"
"Nggak denger, gue main hp."
"Yaudahlah serah, ikut kaga?"
"Males."
"Yaudah," Diandra dan Tania melengos pergi. Meninggalkan Lea yang sedang menangis sesegukan, dan Zahra yang berusaha menenangkan sahabatnya itu dengan ogah-ogahan.
"Udah deh, Le. Mau sampe kapan nangisin cowok brengsek kayak dia?"
Lea menghapus air matanya, "Sampe gue mau berheti, Ra."
"Kapan lo berhenti?"
"Nanti, waktu gue mau berhenti."
Ingin sekali rasanya Zahra menggetok kepala Lea. Begitu bodohnya, membuang air mata untuk lelaki yang tidak jelas. Zahra bahkan tidak akan pernah melakukannya.
"Lo berhenti nangis, atau-"
"Happy Birthday Lea, happy birthday Lea-"
Ucapan Zahra terhenti, tepat saat Davin dan teman-temannya diikuti Diandra, Tania dan Chatrine di belakangnya datang dengan membawa sebuah kue dengan lilin angka 17 di atasnya. Lea menutup mulut tidak percaya, sedangkan Zara menatap datar ke arah mereka.
"Happy birthday, sayang." kata Davin dengan senyum manisya. Cowok itu menyodorkan kue di genggamannya pada Lea, dan Lea mulai menangis lagi. Bedanya, kali ini ia menangis bahagia.
"Maafin kita udah ngerjain lo ya, Le." celetuk Tania seraya memeluk sahabatnya itu.
"Maafin aku udah kasar sama kamu, ya." Davin mengacak puncak kepala Lea. "Kita nggak putus, kok."
"Ini surprise?" tanya Zahra.
Tania menggigit bibir bawahnya, kemudian mengangguk ragu. "I-iya, Ra. Sorry kita nggak kasih tau lo, soalnya lo pasti bakalan nolak."
"Oh," Zahra menganggukkan kepalanya. "Kalo gitu, gue cabut."
"Ra, mau ke mana?" cegat Tania.
"Cari angin," sahut Zahra datar sebelum ia melengos pergi tanpa menghiraukan teman-temannya.
"Gue yakin 100%, Zahra marah." kata Diandra.
Chatrine mengangguk setuju, "pasti. Udah gue bilang, harusnya kita kasih tau dulu ke dia."
"Terus, sekarang gimana?"
"Biarin dulu, adek gue emang ambekkan. Tar juga baek ndiri." celetuk Zafran.
"Itu kuenya mau diemin aja?" timpal Regan. "Laper, belom sarapan."
"Makan mulu!" Chatrine mencubit pelan perut Regan, membuat Regan meringis. "Zahra ngambek, itu masalah besar."
"Ye, suruh Eldy susul lah, yang. Kan doinya." Regan mencebikkan bibirnya. "Lah, Eldy mana?"
"Udah ngacir nyusulin Zahra dari tadi." sahut Tama
To be continued