02. bayangan yang tak pernah padam
Malam turun lebih cepat dari biasanya. Hujan gerimis mengetuk atap, meninggalkan aroma tanah basah yang memenuhi udara. Di ruang tengah, aku dan Nadya duduk di sofa, menonton berita tanpa benar-benar memperhatikan isinya. Lampu kuning temaram membuat suasana terasa hangat, tapi juga anehnya... terlalu sunyi.
“Masih sering mimpi buruk?” tanya Nadya tiba-tiba, suaranya pelan tapi tajam.
Aku menoleh, sedikit kaget. “Kadang. Kalau malam terlalu sepi.”
Ia menatapku sesaat, lalu mengangguk, seolah memahami sesuatu yang tidak kuucapkan.
“Dulu kamu selalu takut sendirian, Arga,” katanya. “Aku ingat waktu kamu kecil, kamu sering minta aku duduk di depan kamarmu sampai kamu tidur.”
Aku tertawa kecil. “Dan Mbak selalu ketiduran duluan.”
Kami berdua tertawa pelan. Suara itu menyatu dengan gemericik hujan di luar jendela, menciptakan keheningan yang justru menenangkan.
Tapi kemudian, keheningan itu berubah menjadi sesuatu yang lain.
Tatapan Nadya jatuh pada wajahku—lama, tenang, tapi juga mengandung sesuatu yang sulit didefinisikan.
Aku menunduk, mencoba mencari kata-kata untuk mengisi udara yang mendadak padat itu. “Aku nggak nyangka bisa serumah lagi sama Mbak, setelah semua yang terjadi.”
“Takdir suka main aneh-aneh,” jawabnya. “Kadang membawa orang pergi, lalu mengembalikannya saat kita paling tidak siap.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa.
Yang bisa kulakukan hanyalah menatap cangkir teh di tanganku, memperhatikan uap yang menari di udara.
“Mbak,” kataku pelan, “apa nggak capek?”
“Capek?”
“Hidup sendirian.”
Ia tersenyum samar. “Manusia itu aneh. Kadang capek karena kesepian, kadang capek karena terlalu ramai. Aku memilih capek yang pertama.”
Aku menatap wajahnya lebih lama kali ini. Ada ketenangan yang menipu di sana, seperti seseorang yang sudah terlalu sering menenangkan diri sendiri.
Dan entah kenapa, aku merasa ingin menghapus lelah itu.
“Kalau ada aku di sini,” kataku akhirnya, “semoga capeknya bisa berkurang sedikit.”
Nadya menatapku, matanya lembut tapi juga bergetar oleh sesuatu yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Terima kasih, Arga.”
Suaranya nyaris seperti bisikan.
---
Beberapa hari berlalu. Aku mulai terbiasa dengan rutinitas rumah itu—membantu menyapu halaman, memperbaiki keran bocor, dan kadang menemani Nadya belanja ke pasar.
Setiap kali kami pergi bersama, orang-orang selalu memandang aneh, seolah menebak hubungan kami lebih dari sekadar ipar. Nadya hanya menanggapinya dengan senyum dingin, tapi aku tahu tatapan-tatapan itu membuatnya tidak nyaman.
Suatu sore di pasar, ketika kami sedang memilih sayur, penjual tua menatap kami dan berkata, “Cocok ya, kalian berdua. Suaminya pasti beruntung punya istri sebaik Mbak ini.”
Nadya terdiam. Aku juga.
Lalu ia tersenyum sopan. “Ini adik ipar saya, Bu.”
“Oh, maaf, saya kira—”
“Tidak apa-apa,” potong Nadya cepat, tapi suaranya terdengar sedikit gemetar.
Sepanjang perjalanan pulang, mobil kami sunyi.
Aku ingin bicara, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Baru ketika kami hampir sampai rumah, aku memberanikan diri.
“Mbak…”
“Ya?”
“Aku tahu itu nggak enak tadi.”
Ia menatap ke depan. “Sudah biasa.”
“Tapi tetap aja…”
Ia menoleh, menatapku sekilas. “Arga, kamu nggak perlu minta maaf untuk hal yang bukan salahmu.”
Nada suaranya lembut, tapi di matanya ada sesuatu—sebuah perasaan yang menahan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar salah paham pasar.
Aku tidak melanjutkan pembicaraan itu lagi, tapi perasaan ganjil terus menempel di pikiranku.
---
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku turun ke dapur untuk mengambil air, tapi berhenti di depan ruang tengah. Nadya duduk sendirian di sana, menatap foto pernikahannya di meja kecil.
Aku berdiri di ambang pintu, menatap diam-diam.
Ia menyadari kehadiranku beberapa detik kemudian. “Belum tidur?” tanyanya, tanpa menoleh.
“Nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin terlalu banyak pikiran.”
Ia menghela napas. “Sama.”
Aku melangkah mendekat. “Aku nggak mau ganggu, tapi... kalau mau cerita, aku bisa dengar.”
Ia menatap foto itu lama, lalu berkata pelan, “Aku dulu pikir pernikahan itu tempat pulang. Tapi ternyata, kadang rumah juga bisa jadi tempat kita tersesat.”
Aku duduk di sofa sebelahnya. “Dia nyakitin Mbak?”
Ia menatapku, ragu sejenak. “Bukan nyakitin. Hanya… berhenti peduli.”
Kata-katanya menancap dalam. Aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.
Lalu tanpa sadar, aku berkata, “Kalau seseorang berhenti peduli pada orang seperti Mbak, dia pasti orang paling bodoh di dunia.”
Nadya terdiam. Ia memandangku lama—terlalu lama.
Dan di antara tatapan itu, aku tahu, sesuatu sedang tumbuh di antara kami.
Perlahan, tenang, tapi pasti.
“Arga,” katanya akhirnya, “jangan bicara seperti itu.”
“Kenapa?”
“Karena nanti aku bisa percaya.”
Keheningan jatuh di antara kami. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.
Aku ingin bicara, tapi tidak ada kata yang cukup aman untuk diucapkan.
Jadi kami hanya duduk di sana—dua orang yang terjebak antara masa lalu dan sesuatu yang belum boleh mereka sebut.
---
Keesokan paginya, suasana berubah. Nadya bersikap seperti biasa lagi, seolah malam sebelumnya tidak pernah terjadi. Ia sibuk di dapur, menyapaku dengan nada ringan.
Tapi aku tahu, sesuatu di matanya telah berubah. Ada keteduhan baru, tapi juga kehati-hatian yang lebih dalam.
Kami sarapan tanpa banyak bicara. Namun setiap kali ia tertawa, setiap kali tangannya tanpa sengaja menyentuhku, dunia terasa sedikit lebih hidup.
Dan aku tahu, meski kami berdua berusaha menyangkalnya, ada sesuatu yang sedang berjalan pelan di bawah permukaan—seperti arus sungai yang tenang tapi kuat.
---
Beberapa minggu berlalu. Rumah yang dulu sunyi kini penuh dengan percakapan, tawa, dan kehadiran yang tidak lagi canggung.
Aku mulai merasa nyaman di sana—mungkin terlalu nyaman.
Dan Nadya… ia mulai terlihat berbeda. Lebih sering tersenyum, lebih ringan langkahnya.
Tapi aku juga tahu, setiap kali kami saling menatap terlalu lama, ia akan berpaling, seolah mengingat sesuatu yang tak boleh ia langgar.
Suatu sore, aku memperbaiki lampu di teras. Nadya keluar membawa dua gelas teh.
“Makasih,” kataku.
Ia duduk di kursi rotan, menatap langit jingga. “Aku lupa rasanya punya seseorang yang bisa diandalkan.”
Aku menatapnya. “Aku nggak ke mana-mana, Mbak.”
Ia menoleh, menatapku lama. Tatapannya kali ini berbeda—lembut tapi tidak lagi ragu.
“Kadang aku takut, Arga,” katanya pelan.
“Takut apa?”
“Kalau perasaan bisa tumbuh di tempat yang salah.”
Aku menelan ludah. Hati berdebar, tapi aku mencoba tersenyum. “Mungkin yang salah itu waktunya, bukan perasaannya.”
Ia menunduk, terdiam lama.
Lalu ia berkata, “Kalau begitu, semoga waktu mau menunggu.”
Dan di saat matahari tenggelam di balik pohon mangga, aku tahu—hari itu, sesuatu benar-benar berubah.
---