03. Rasa yang Tumbuh dalam Diam
Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah itu. Perlahan, rutinitas kecil kami berubah menjadi sesuatu yang terasa alami—seperti dua planet yang awalnya asing, kini mulai berputar dalam orbit yang sama.
Setiap pagi, Nadya selalu lebih dulu bangun. Suara panci dari dapur jadi alarm paling lembut yang pernah kudengar. Kadang ia menyapaku dengan senyum tipis ketika aku keluar kamar, kadang hanya dengan tatapan singkat yang cukup untuk membuat udara terasa berbeda.
Kami jarang membicarakan masa lalu, tapi setiap hal kecil yang ia lakukan selalu terasa seperti potongan cerita yang ingin kucari tahu lebih dalam.
---
Suatu pagi, hujan turun deras. Aku berdiri di depan jendela, menatap halaman yang becek. Nadya muncul dengan sweater abu-abu dan secangkir kopi di tangannya.
“Dingin ya,” katanya pelan, lalu duduk di kursi di sebelahku.
Aku mengangguk. “Dingin, tapi tenang.”
“Hujan memang gitu. Kadang bikin tenang, kadang bikin ingat hal-hal yang pengen dilupain.”
Aku menoleh padanya. “Mbak ingat apa?”
Ia terdiam beberapa detik, matanya menerawang ke luar jendela. “Dulu, setiap kali hujan, dia selalu pulang lebih cepat. Katanya takut aku kesepian.”
Aku bisa mendengar nada getir yang ia sembunyikan di balik senyumnya.
“Kini?”
“Kini, setiap kali hujan, aku malah berharap dia nggak pulang. Karena kalau dia pulang pun, rasanya tetap sendiri.”
Aku diam.
Aku ingin bicara, tapi tidak ada kalimat yang cukup aman.
Akhirnya, aku hanya menatap hujan bersamanya. Dan di antara derasnya suara air, aku bisa merasakan sesuatu yang tak terlihat: kesepian yang perlahan menemukan teman.
---
Hari-hari berikutnya berjalan seperti irama yang lembut tapi menegangkan.
Nadya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Ia mulai bercerita tentang pekerjaannya, tentang masa-masa ketika rumah ini penuh tawa, hingga akhirnya sepi.
Aku mendengarkan, dan entah kenapa, setiap kali ia bicara, aku merasa ingin jadi alasan kenapa ia bisa tersenyum lagi.
Suatu sore, kami membersihkan gudang di belakang rumah.
Debu menempel di mana-mana, aroma kayu tua menguar.
Aku membuka satu kotak lama berisi foto-foto lama, dan di antara tumpukan itu, aku menemukan gambar Nadya dan kakakku di hari pernikahan mereka.
Ia berdiri di sebelahku, ikut melihat.
“Lucu ya, dulu aku segugup itu,” katanya, menatap fotonya sendiri yang tersenyum kikuk.
“Kelihatan bahagia,” sahutku pelan.
Ia mengangguk, lalu berkata lirih, “Dulu iya.”
Keheningan menggantung.
Aku menatap fotonya lama.
Lalu tanpa sadar, aku berkata, “Kalau aku di posisi Mas Dimas waktu itu, aku nggak akan pernah bikin Mbak sesedih ini.”
Nadya menoleh cepat, menatapku.
Tatapannya bukan marah—lebih seperti seseorang yang tidak siap mendengar kebenaran yang terlalu jujur.
“Jangan bicara begitu, Arga,” katanya pelan.
“Tapi itu yang aku pikirkan.”
Ia menghela napas, lalu menunduk. “Kamu masih muda. Nanti kamu tahu, cinta nggak selalu bisa menyelamatkan orang.”
“Kalau begitu, aku pengen jadi orang yang nggak nyerah buat nyoba.”
Untuk sesaat, mata kami bertemu.
Tak ada yang berani berpaling lebih dulu.
Ada sesuatu di sana—rasa yang tumbuh di tempat yang salah, tapi terasa begitu benar.
---
Malamnya, aku tak bisa tidur. Pikiran tentang percakapan siang tadi terus berputar di kepala.
Aku turun ke ruang tamu, dan mendapati lampu dapur masih menyala. Nadya duduk di meja makan, menulis sesuatu di buku kecil.
“Belum tidur, Mbak?” tanyaku sambil mendekat.
Ia tersenyum kecil. “Aku sedang menulis daftar kebutuhan rumah.”
Aku duduk di seberangnya. “Serius banget, padahal tengah malam.”
Ia tertawa pelan. “Kalau nggak disibukkan hal kecil, nanti pikirannya ke mana-mana.”
Aku mengangguk. “Aku tahu rasanya.”
Ia menatapku sebentar. “Kamu juga sering susah tidur?”
“Belakangan, iya. Banyak hal yang belum selesai di kepala.”
“Hal apa?”
Aku menatap meja, berusaha memilih kata. “Hal yang nggak seharusnya aku rasakan.”
Suasana langsung hening.
Aku bisa melihat matanya sedikit membesar, tapi ia tidak bertanya.
Hanya diam.
Kemudian, ia menutup bukunya pelan, lalu berkata, “Kadang kita nggak bisa memilih perasaan, Arga. Tapi kita bisa memilih apa yang mau kita lakukan dengan perasaan itu.”
Aku menatapnya dalam. “Kalau aku memilih untuk nggak pergi?”
Ia menarik napas panjang, matanya bergetar. “Berarti kamu harus siap menanggung semuanya.”
---
Hari-hari setelah itu terasa berbeda.
Kami berusaha menjaga jarak, tapi jarak itu justru membuat setiap pertemuan kecil terasa lebih bermakna.
Sentuhan kecil saat menyodorkan gelas, tatapan yang bertemu tanpa sengaja, percakapan singkat yang berakhir terlalu cepat—semuanya seperti potongan puzzle yang diam-diam membentuk gambar yang sama.
Suatu pagi, ketika aku hendak berangkat membantu tetangga memperbaiki pagar, Nadya memanggilku dari teras.
“Arga!”
Aku menoleh. Ia berdiri di depan pintu, mengenakan blus putih sederhana dan senyum yang entah kenapa terasa sulit kulupakan.
“Hati-hati, ya,” katanya pelan.
Aku mengangguk, tapi langkahku berhenti.
“Mbak,” kataku, “kalau nanti aku nggak pulang cepat, jangan nunggu.”
Ia menatapku, bingung. “Kenapa harus bilang begitu?”
“Karena kalau Mbak nunggu, aku pasti pulang lebih cepat.”
Nadya tertawa pelan, tapi matanya menyimpan sesuatu yang lain—semacam perasaan yang tidak berani ia ucapkan.
---
Sore harinya, ketika aku pulang, hujan turun deras lagi.
Aku berlari ke dalam rumah, basah kuyup. Nadya langsung menyambut dengan handuk dan wajah khawatir.
“Ya ampun, Arga. Lihat kamu. Bisa masuk angin nanti,” katanya sambil menepuk bahuku dengan handuk.
Aku hanya diam, membiarkan ia mengeringkan rambutku dengan gerakan lembut.
Untuk sesaat, waktu berhenti.
Aku bisa mendengar napasnya, aroma sabun yang biasa ia pakai, dan kehangatan yang terlalu dekat.
Ketika tangannya berhenti di pundakku, aku menatapnya. Ia juga menatapku.
Tak ada yang bicara, tapi seluruh ruangan terasa penuh dengan kata-kata yang tak berani keluar.
Lalu ia mundur satu langkah. “Kamu... ganti baju dulu. Aku bikinin teh.”
Aku mengangguk, menatapnya berlalu ke dapur, dan untuk pertama kalinya, aku sadar—aku tidak lagi sekadar menumpang di rumah ini. Aku sedang tenggelam perlahan dalam sesuatu yang belum bisa kusebut namanya.
---
Beberapa hari kemudian, saat aku pulang dari luar kota untuk urusan kerja singkat, Nadya menyambut di teras.
“Capek?” tanyanya.
“Lumayan.”
“Masuk, aku udah masak.”
Di meja makan, ada dua piring, dua gelas, dan suasana yang entah kenapa terasa seperti rumah dalam arti yang sesungguhnya.
Kami makan tanpa banyak bicara, tapi setiap gerakannya, setiap senyumnya, membuat dadaku sesak oleh hal yang sama: rasa takut sekaligus keinginan untuk tetap di sisinya.
Setelah makan, aku berkata, “Aku bakal di sini agak lama. Proyek di luar kota ditunda.”
Nadya terdiam, lalu tersenyum kecil. “Berarti aku nggak sendirian lagi, ya.”
Aku menjawab pelan, “Aku juga.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku tidak merasa bersalah karena mencintai kehangatan yang bukan milikku.
---