
Ringkasan
Arga, seorang pria sederhana namun ambisius, menjalani hidupnya dengan tenang hingga suatu hari pertemuan kembali dengan keluarganya setelah lama merantau membuka lembaran yang tak pernah ia bayangkan—sebuah perasaan yang tumbuh diam-diam pada kakak iparnya, Nadya. Nadya, sosok wanita dewasa yang lembut dan kuat, istri dari kakak kandung Arga, adalah seseorang yang selama ini ia hormati. Namun, di balik senyum hangat dan tutur halusnya, Nadya menyimpan luka dalam rumah tangga yang perlahan retak tanpa seorang pun menyadarinya. Kedekatan mereka bermula dari hal-hal kecil—obrolan di dapur, tatapan yang tak sengaja bertemu, perhatian sederhana yang berubah menjadi kebutuhan emosional. Di tengah batas yang seharusnya tak terlewati, keduanya terseret dalam pergulatan antara moral, cinta, dan rasa bersalah. “Pesona Kakak Ipar” bukan sekadar kisah tentang cinta terlarang, tetapi tentang perjalanan batin dua jiwa yang saling menemukan arti kebersamaan di tempat yang paling tak seharusnya. Di antara rahasia, penyangkalan, dan waktu yang tak bisa diputar, Arga dan Nadya harus memilih: mengikuti hati yang menyakitkan, atau melepaskan demi menjaga yang tersisa.
01. Pulang yang Tak Kusangka - 1
Sudah lima tahun aku tidak menginjakkan kaki di kota ini.
Lima tahun sejak aku meninggalkan semuanya—rumah, keluarga, bahkan sebagian dari diriku sendiri. Aku selalu bilang pada siapa pun kalau aku sibuk, terlalu banyak kerjaan, atau belum sempat libur panjang. Tapi kebenarannya sederhana: aku tidak siap pulang.
Dan sekarang, di depan rumah yang cat temboknya mulai pudar, aku berdiri dengan jantung yang entah kenapa berdetak lebih cepat dari seharusnya.
Pintu itu kubuka perlahan. Bau khas rumah lama langsung menyergap—perpaduan antara kayu, debu, dan sesuatu yang membuatku ingin menutup mata: kenangan.
Aku belum sempat memanggil siapa pun ketika suara langkah pelan terdengar dari dalam.
“Arga?”
Suaranya lembut, agak serak, seperti baru bangun dari lamunan.
Aku menoleh.
Nadya berdiri di ambang pintu ruang tamu. Rambutnya diikat rapi, sedikit berantakan di sisi kanan, membuat wajahnya terlihat lebih alami daripada dulu. Tatapannya ragu, seperti tak percaya kalau aku benar-benar ada di depannya.
Aku mencoba tersenyum. “Iya, Mbak. Aku pulang.”
Beberapa detik hening. Lalu ia tersenyum—senyum yang dulu kukenal hangat tapi sekarang entah kenapa terasa lebih tenang, lebih matang… dan jujur, lebih sulit kuabaikan.
“Masuklah,” katanya pelan. “Kamu pasti capek.”
Aku melangkah masuk. Begitu melewati ambang pintu, ada perasaan aneh yang tak bisa kujelaskan. Rumah ini dulu terasa ramai—suara kakakku, tawa kecil Nadya, musik dari dapur saat mereka menyiapkan makan malam. Tapi kini, hanya suara kipas angin berdecit dan langkah kaki kami berdua yang terdengar.
“Mas Raka masih di luar kota?” tanyaku, berusaha terdengar santai.
Nadya menatap ke arah foto pernikahannya di dinding, lalu kembali padaku. “Iya. Proyeknya belum selesai. Mungkin baru pulang akhir minggu.”
“Oh…”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Ada sesuatu dalam suaranya—lembut tapi seolah menyimpan jarak yang tidak kukenal dulu.
“Duduk dulu, aku ambilkan teh.”
Dia berbalik ke dapur tanpa menunggu jawabanku.
Aku memperhatikan langkahnya. Masih sama: tenang, penuh perhitungan, tapi setiap gerakannya punya keanggunan yang alami. Dulu aku sering berpikir kakakku beruntung mendapat wanita seperti Nadya. Sekarang, entah kenapa pikiran itu terasa sedikit… berbeda.
Aku menurunkan koper, menghempaskan tubuh ke sofa yang sedikit empuk di bagian tengah. Ruangan itu masih penuh foto keluarga. Di salah satunya, aku, Raka, dan Nadya berdiri bertiga di depan taman rumah. Aku ingat hari itu—ulang tahun ibuku. Nadya baru menjadi bagian dari keluarga ini selama dua bulan, tapi sudah terasa akrab.
Dia datang membawa dua cangkir teh dan sepiring kue kering.
“Masih suka teh tanpa gula?” tanyanya sambil menatapku, seolah ingin memastikan ingatannya tidak salah.
Aku mengangkat alis. “Kok masih ingat?”
Dia tersenyum. “Kamu dulu suka protes kalau aku bikin terlalu manis.”
Aku terkekeh pelan. “Ternyata Mbak masih hafal ya kebiasaan orang yang jarang pulang.”
“Beberapa hal susah dilupakan,” jawabnya singkat.
Dan entah kenapa, matanya sedikit berkilat saat mengatakan itu.
Aku menunduk, pura-pura fokus pada uap teh.
Ruang tamu terasa lebih hangat dari tadi. Bukan karena suhu, tapi karena sesuatu yang samar—seperti udara yang berubah sejak kehadiranku barusan. Nadya duduk di seberang, namun tidak terlalu jauh. Jarak kami hanya sekitar satu meter.
Cukup dekat untuk mencium aroma sabun lembut dari kulitnya.
“Bagaimana kerjaanmu di Jakarta?”
Pertanyaan standar, tapi nadanya tulus.
“Berjalan. Capek juga, tapi ya, siapa yang nggak?”
Aku menatap cangkirku. “Kadang aku cuma pengin berhenti sebentar. Pulang.”
Dia tersenyum tipis. “Mungkin itu sebabnya kamu ada di sini sekarang.”
Aku menatapnya. Tatapan kami bertemu.
Sekilas, hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat waktu berhenti. Ada sesuatu di matanya—sebuah kehangatan yang samar-samar bercampur kesepian. Aku tahu, Nadya bukan tipe perempuan yang mudah menunjukkan perasaan. Tapi sorot mata itu... seolah berbicara lebih jujur daripada kata-kata.
Aku berdeham, mencoba memecah keheningan. “Rumah ini… terasa lebih sepi dari dulu.”
“Sejak Ibu meninggal, suasananya memang berubah,” jawabnya pelan. “Raka jarang di rumah, aku juga lebih banyak di atas. Jadi ya… begini.”
Aku mengangguk pelan.
Keheningan kembali turun. Tapi kali ini bukan keheningan yang canggung—lebih seperti sesuatu yang menggantung di antara kami, lembut tapi tak bisa diabaikan.
Dia berdiri. “Kamu mau aku siapkan kamar atas atau di kamar tamu?”
Aku menatapnya. “Yang mana saja, Mbak. Aku ikut saja.”
“Kalau begitu di kamar atas, yang dekat balkon. Biar nggak panas,” katanya sambil melangkah ke tangga.
Aku mengikuti dari belakang.
Setiap langkah menimbulkan bunyi lembut di lantai kayu. Di depanku, Nadya melangkah perlahan, satu tangan menahan dinding, tangan lain menyentuh pegangan tangga. Ada keanggunan sederhana di sana, sesuatu yang dulu tak pernah kuperhatikan—atau mungkin dulu aku terlalu muda untuk menyadarinya.
Sesampainya di atas, dia membuka pintu kamar.
“Aku sudah bersihkan kemarin. Kupikir kamu mungkin datang minggu ini.”
Aku menatapnya. “Kok tahu?”
Dia tersenyum samar, tidak menjawab.
Tapi tatapannya cukup memberi tahu: dia memang menunggu.
Malam turun perlahan. Dari jendela kamarku di lantai atas, aku melihat lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti cahaya yang berjuang menembus kabut tipis. Angin membawa aroma tanah basah; hujan sepertinya baru saja berhenti.
Aku duduk di tepi ranjang, menatap koper yang belum kubuka. Ada banyak hal yang harus kubicarakan dengan kakakku, tapi entah kenapa pikiranku justru terisi oleh hal-hal kecil: tawa Nadya di dapur, nada suaranya yang lembut, dan cara ia menatapku tadi—hangat, tapi sulit kutafsirkan.
Ketika pintu diketuk pelan, aku refleks menoleh.
“Masuk,” jawabku.
Pintu terbuka sedikit. Nadya muncul sambil membawa segelas susu hangat. “Kupikir kamu belum tidur.”
Ia menaruh gelas itu di meja kecil dekat ranjang, lalu berdiri di ambang pintu, seolah tak yakin harus pergi atau bertahan.
“Terima kasih, Mbak.”
Aku mencoba tersenyum, tapi terasa kaku. Ada sesuatu di antara kami malam ini—bukan jarak, tapi semacam kesadaran baru.
“Kamu nggak berubah,” katanya tiba-tiba. “Masih diam kalau bingung.”
Aku tertawa kecil. “Dan Mbak masih pandai membaca pikiran orang.”
Ia ikut tersenyum, tapi matanya tampak lelah.
“Kadang aku berharap bisa berhenti menebak-nebak perasaan orang. Rasanya capek.”
Nada suaranya membuat dadaku sesak.
“Mas Raka baik-baik saja?” tanyaku hati-hati.
“Baik. Sibuk saja.” Ia menatap ke lantai. “Aku juga sibuk menunggu.”
Hening lagi.
Aku ingin berkata sesuatu, tapi takut terlalu jauh. Jadi aku hanya mengangguk pelan, sementara matanya menatap ke luar jendela. “Kamu tahu,” katanya, “rumah ini terlalu besar untuk satu orang.”
