01. Pulang yang Tak Kusangka - 2
Kalimat itu menggantung di udara.
Aku bisa merasakan kesepiannya—bukan dari kata-kata, tapi dari cara ia menghembuskan napas, dari bahunya yang sedikit turun, seolah menanggung beban yang tak terlihat.
“Mungkin sekarang rumah ini jadi sedikit lebih ramai,” kataku pelan.
Nadya menoleh, menatapku lama. “Iya,” ujarnya akhirnya. “Mungkin.”
Senyumnya kali ini berbeda—bukan senyum basa-basi, tapi seperti senyum seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menenangkan.
Aku menatap susu di meja, mencoba mengalihkan perhatian. “Mbak sendiri nggak minum?”
Ia menggeleng. “Aku nggak bisa tidur kalau minum susu malam-malam.”
“Lalu kenapa buatkan untukku?”
“Karena kamu butuh sesuatu yang menenangkan,” katanya dengan nada lembut. “Aku bisa lihat dari matamu.”
Aku menelan ludah.
Entah kenapa, malam itu udara di kamar terasa lebih hangat. Nadya berdiri di sana, hanya beberapa langkah dariku. Lampu tidur memantulkan cahaya lembut di wajahnya—cukup untuk menonjolkan garis lembut di pipi dan mata yang tampak jujur tapi rapuh.
“Aku senang kamu pulang, Arga,” katanya pelan. “Rumah ini jadi punya suara lagi.”
Aku mengangguk, tak berani bicara.
Sebelum pergi, ia berbalik sejenak. “Kalau kamu belum bisa tidur, turun saja ke teras. Aku juga sering duduk di sana malam-malam.”
Lalu ia menutup pintu perlahan.
Suara langkahnya menghilang di lorong, tapi aroma samar sabun dan udara hangat yang ia tinggalkan tetap bertahan.
Aku menatap gelas susu itu. Uapnya sudah mulai memudar, tapi rasa yang tersisa di dada justru semakin jelas—campuran antara rindu, penasaran, dan sesuatu yang belum berani kuakui.
Malam itu aku tidak langsung tidur.
Aku turun ke teras, seperti yang ia katakan.
Nadya sudah duduk di sana, mengenakan cardigan tipis, rambutnya dibiarkan terurai. Ia menoleh dan tersenyum begitu melihatku. “Aku tahu kamu nggak akan bisa tidur,” katanya.
Kami duduk berdua tanpa banyak bicara. Hanya suara jangkrik, angin, dan denting gelas di meja kecil di antara kami.
Kadang-kadang, ia menatap langit; kadang menatapku sebentar lalu menunduk lagi. Aku tahu ia sedang menahan sesuatu, tapi aku tidak berani memaksa.
Setelah beberapa lama, ia berkata lirih, “Lucu ya. Dulu kamu masih mahasiswa waktu pertama kali aku kenal. Sekarang kamu sudah dewasa. Tapi caramu diam masih sama.”
Aku tersenyum. “Dan Mbak masih suka memperhatikan.”
Ia mengangkat bahu kecil-kecil. “Mungkin karena aku kesepian.”
Suara itu begitu jujur sampai-sampai aku tidak tahu harus menjawab apa.
Aku hanya menatapnya.
Dan dalam tatapan itu, aku tahu: mulai malam ini, pulang tidak akan lagi berarti sekadar kembali ke rumah. Pulang berarti berhadapan dengan perasaan yang perlahan tumbuh di tempat yang paling tidak seharusnya.
Pagi datang perlahan, menembus sela tirai kamar. Cahaya keemasan menari di lantai, membangunkanku dari tidur yang setengah lelap. Aku tidak yakin berapa lama semalam aku duduk di teras bersama Nadya—mungkin satu jam, mungkin dua. Waktu terasa berjalan pelan setiap kali ia berbicara.
Aku bangun, berjalan ke balkon kecil di sebelah kamar. Dari sana aku bisa melihat halaman belakang rumah. Nadya sudah di luar, mengenakan kemeja rumah warna lembut dan celana panjang sederhana. Ia sedang menyiram tanaman, rambutnya dikuncir setengah, sebagian terlepas dan tertiup angin. Gerakannya tenang, seperti seseorang yang berusaha memulai hari dengan alasan yang masih ia cari.
Untuk sesaat aku hanya berdiri, memperhatikannya dalam diam.
Ada sesuatu tentang ketenangan itu—bukan kesempurnaan, tapi justru kelelahannya yang membuatku ingin tahu lebih banyak.
Ia menoleh dan melihatku di balkon. “Pagi,” katanya, sambil tersenyum.
Aku mengangguk. “Pagi, Mbak.”
“Kopi?” tanyanya.
Aku membalas senyum kecil. “Kalau dibikinkan, aku nggak nolak.”
Beberapa menit kemudian aku sudah duduk di meja makan. Nadya menuang kopi ke cangkirku dengan gerakan hati-hati. Aroma robusta yang kuat memenuhi ruangan.
“Dulu kamu nggak suka kopi,” katanya sambil duduk di seberangku.
“Sekarang justru butuh setiap pagi,” jawabku. “Tanda penuaan, mungkin.”
Ia tertawa kecil. “Kalau begitu kita sama.”
Ada jeda sebentar. Kami berdua menyesap kopi, menikmati hening yang nyaman. Tidak ada musik, tidak ada suara televisi, hanya suara sendok menyentuh cangkir dan angin yang berhembus dari jendela.
Aku memperhatikan wajah Nadya dari dekat. Ada garis-garis halus di sekitar matanya, tanda waktu yang lewat, tapi justru membuatnya tampak nyata.
“Aku lupa rasanya sarapan di rumah,” kataku tanpa sadar.
Ia menatapku sebentar. “Kalau begitu, hari ini kamu mulai lagi.”
Ia kemudian berdiri, menuju dapur.
Aku bisa mendengar suara piring, aroma tumisan, lalu wangi telur dadar. Sesuatu dalam rutinitas kecil itu terasa menenangkan—seperti nostalgia yang tiba-tiba punya bentuk.
Ketika ia kembali membawa dua piring, aku berkata spontan, “Mbak… kamu masih masak seenak dulu.”
“Masih ingat rasanya?” ia menggoda.
“Sulit lupa.”
Ia duduk kembali, memindahkan lauk ke piringku. Tangannya tanpa sengaja menyentuh ujung jariku. Sekilas saja, tapi cukup membuat waktu berhenti sesaat.
Aku menarik tangan perlahan, berusaha tenang.
Ia hanya tersenyum kecil, seolah paham tapi tidak ingin membahasnya.
Kami makan dalam diam.
Namun setiap kali aku mengangkat kepala, matanya sudah lebih dulu menatapku, lalu berpaling seolah tak terjadi apa-apa.
Setelah sarapan, aku membantu membereskan meja.
“Kamu nggak perlu bantu,” katanya.
“Kalau begini caranya, aku bisa betah di sini lama,” jawabku ringan.
Nadya menatapku lama, lalu berkata pelan, “Kamu boleh lama di sini, kalau memang butuh waktu.”
Nada suaranya tulus. Tapi di baliknya, aku mendengar sesuatu yang lebih halus—seperti permintaan agar aku tidak cepat pergi.
Kami berjalan ke halaman belakang. Matahari naik perlahan, menghangatkan udara. Nadya duduk di bangku kayu, menatap pohon mangga yang baru berbuah kecil.
“Kadang aku merasa rumah ini diam karena terlalu banyak kenangan,” katanya. “Kalau ada orang lain, rasanya seperti bisa bernapas lagi.”
Aku duduk di sebelahnya. “Aku nggak tahu kenapa, tapi aku juga merasa tenang di sini.”
Ia menoleh, menatapku dalam.
Untuk pertama kalinya sejak aku tiba, kami menatap tanpa menunduk. Tak ada kata, hanya dua pasang mata yang saling mengukur jarak.
Lalu Nadya tersenyum—pelan, lembut, seperti seseorang yang akhirnya bisa jujur.
“Selamat datang pulang, Arga.”
Aku menatapnya balik. “Terima kasih, Mbak.”
Dan entah kenapa, di dalam diriku, kata “pulang” terasa punya makna baru.
---
️
