Bab 9 Sisi yang Berbeda
Bab 9 Sisi yang Berbeda
“Ketika kamu mendengar ucapan orang-orang di sekitarmu tentang kekurangan ataupun kejelekanmu, tutuplah kedua telingamu dengan tanganmu. Karena tanganmu tak mungkin bisa menutup satu persatu mulut mereka.”
Sebulan setelah kejadian cafe miliknya terbakar, Vincent mengajak istrinya kelua rumah. Ia terus menggandeng tangan istrinya menuju mobil miliknya.
“Mas ini kita mau ke mana?” tanya Meira sambil mengulurkan tangan kirinya ke depan.
“Tunggu saja, kamu ikuti saja apa tang saya ucapkan,” balas Vincent sambil mendudukkan tubuh istrinya di jok depan.
“Mas tidak mau buang aku, kan?”
Seketika Vincent menatap istrinya tajam, “kamu bicara apa?”
“Aku hanya takut, Mas akan meninggalkan aku karena kekuranganku,”
Vincent menutup pelan pintu mobilnya, ia berjalan memutar dan mendudukkan tubuhnya di jok kemudi.
“Saya tidak pernah berpikiran seperti itu, Meira,”
“Maaf,”
“Apa pun kekurangan kamu akan saya terima. Dibalik kekuranganmu, ada sejuta kelebihan yang jarang kamu tampakkan di hadapan orang lain. Kecuali orang kepercayaanmu,” Vincent menangkup pipi istrinya dengan tangannya. “Jangan pernah minder dengan apa kekuranganmu, orang lain hanya menatap fisik kamu. Tapi aku menatap kamu dari hatimu.”
Meira terdiam, ia kehilangan kata-kata. Ia seolah tersihir apa yang suaminya itu ucapkan.
“Apakah, Mas sadar dengan apa yang Mas ucapkan?” tanya Meira sambil memainkan jari-jari tangannya.
“Saya sadar dengan apa yang saya ucapkan, Meira.”
“Apa, Mas sudah menerima Meira?”
“Saya sedang berusaha, tapi tidak tahu untuk hasilnya.”
Seketika Meira menunduk dalam.
“Berdoalah, pinta saya pada Allah agar aku menerimamu.”
Meira masih terdiam mendengar penuturan suaminya.
“Tidak usah dipikirkan. Sekarang kita jalan saja, ya,”
Meira mengangguk ragu.
Vincent menjalankan mobilnya perlahan sebelah tangannya ia gunakan untuk menggenggam tangan istrinya, walaupun sering ia lepaskan karena harus mengatur mobilnya.
Setelah hampir satu jam mengendarai mobilnya, Vincent membelokkan mobilnya ke sebuah restoran yang cukup terkenal di kotanya itu.
Meira yang pertama kali ini keluar rumah ia terus menggenggam tangan suaminya ketika mendengar bisik-bisik dari orang-orang tentang dirinya terutama.
“Mas,”
“Kenapa?”
“Risih,”
“Mau pindah?”
“Ini di mana sih?”
“Restoran,”
Meira terdiam sesaat.
“Kita pesan ruangan privat saja ya?”
Meira mengangguk setuju, jujur saja ia tidak tahan dengan ucapan orang-orang yang masuk telinganya. Ia sadar pasti sekarang semua orang mengalihkan pandangannya kepada dirinya.
Sebenarnya ia merasa risih ketika umpatan dan juga celaan yang masuk ke telinganya. Jika saja ia bisa, ia ingin menghampiri orang-orang yang membicarakan dirinya dan menutup satu persatu mulut mereka, tapi ia sadar ia tak sanggup, karena ia hanya memiliki dua tangan.
“Mas sudah belum?” tanya Meira sambil menggoyangkan lengan suaminya. Ia sudah tidak kuat mendengar suara orang-orang di sekitarnya.
Vincent mengelus pelan kepala istrinya, “sabar ya,”
Setelah memesan makanan dan juga ruangan privat disana, Vincent membawa istrinya menuju ruangan itu. Tangannya tak pernah ia lepas dari genggaman istrinya.
“Jangan dengarkan apa yang kamu dengar tadi. Jika suara tadi sudah masuk ke telinga kananmu keluarkanlah dari telinga kirimu,” Vincent mengusap lembut pipi istrinya dengan pelan.
Meira tetap terdiam, ia tidak menyangka jika hari ini suaminya itu bersikap lembut dan juga seperti sangat mencintainya. Tapi, mungkinkah suaminya itu akan mencintainya? Ah ia tidak peduli untuk itu, yang ia pedulikan hari ini ia sangat bahagia.
Setelah cukup lama menunggu pintu ruangan mereka di ketuk dari luar. Vincent bangkit dari duduknya, kemudian menyuruh pelayan untuk membawa pesanan makanan yang ia pesan tadi.
“Terima kasih,” ucap Vincent setelah pelayan menurunkan makanan ke meja di depan istrinya.
“Sama-sama, Pak. Selamat menikmati makanan dari kami.”
“Iya,”
Vincent menutup pintu ruangan itu setelah para pelayan pamit dari hadapan mereka. Ia mendudukkan tubuhnya di samping istrinya, kemudian ia menarik piring yang cukup menarik di matanya.
“Mas suapi ya”
“Tapi, Meira bisa sendiri kok, Mas,” bantah Meira sambil mengusap matanya.
“Jangan dikucek,” larang Vincent sambil menurunkan tangan istrinya yang mengucek matanya.
“Gatal!”
“Sini biar saya yang tiup,”
Vincent dengan telaten menyuapi Meira makanan yang tadi ia pesan. Sudah tidak terdengar suara bisikan orang-orang tentang mereka.
Sampai makanan mereka habis Vincent memberikan air minum kepada Meira yang sedari tadi diam tidak bereaksi.
“Mas, kok dada Meira sakit?” Meira memegang kuat dadanya saat merasakan seperti ditimpuk oleh batu besar.
Vincent panik menatap Meira yang seperti kesulitan bernafas, “kamu kenapa, Mei?” Vincent memegang kedua bahu Meira.
“Mas sesak!” teriak Meira sambil memukul dadanya yang terasa sesak. Pernafasannya seperti di ikat oleh tali sehingga membuatnya sulit bernafas.
“Kamu alergi?”
“Sepertinya, aku alergi udang. Sesak, Mas!”
Vincent yang melihat nafas Meira yang sudah tidak teratur dengan cepat ia membawa tubuh Meira untuk keluar dari restoran itu. Mendudukkan tubuh Meira di depan kemudian mengatur jok mobilnya agar Meira bisa tiduran disana.
“Kenapa tidak bilang kalau ada alergi udang?”
Meira hanya terdiam sambil mengatur pernapasannya yang mulai memendek seiring berjalannya waktu.
“Meira jangan tidur!”
“Sesak, Mas!”
Vincent mengemudikan mobilnya dengan cepat, tidak peduli umpatan orang-orang yang ia salip kendaraannya. Bahkan ia menerobos lampu merah, mobil mereka bahkan hampir tertabrak jika Vincent tidak pandai mengendalikan laju kendaraannya.
Vincent tambah panik saat tiba-tiba Meira kejang, tubuhnya kaku. Ia mengumpat saat macet tiba-tiba menghalangi perjalanannya, kendaraannya tak bisa berjalan sama sekali. Akhirnya ia membelokkan kendaraannya ke gang kecil yang hanya muat satu mobil.
Vincent membawa tubuh Meira ke ruang UGD setelah memarkirkan kendaraannya di parkiran rumah sakit. Tubuh istrinya sudah tidak kejang seperti tadi, hanya saja sepertinya istrinya itu pingsan.
Vincent memukul tembok rumah sakit dengan kuat. Berkali-kali ia meluapkan emosinya yang sudah sampai puncaknya. Kepalanya ia benturkan berkali-kali. Kepalanya terasa seperti akan pecah memikirkan apa yang terjadi hari ini. Ia sangat bersalah pada istrinya karena ia tidak tahu apa-apa tentang istrinya itu.
Vincent mondar-mandir di depan ruangan UGD dimana istrinya sedang diperiksa, sudah hampir setengah jam ia menunggu tanpa kabar. Ia menendang tempat sampah di sampingnya dengan kuat untuk meluapkan emosinya yang tidak terkontrol.
Andai saja ia mengetahui apa kekurangan istrinya ia pasti tidak mungkin memesankan makanan tadi.
“Akh....!” Vincent mendudukkan tubuhnya di kursi yang tersedia. Memejamkan matanya yang terasa lelah.
Ia menolehkan pandangannya ke arah pintu UGD ketika mendengar pintu terbuka. Dengan cepat ia berjalan menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan istri saya, Dok?” tanya Vincent sambil memegang bahu dokter itu.
“Istri bapak terkena anafilaksis,” terang dokter tersebut sambil membuka maskernya.
“Apa itu anafilaksis, Dok? Apa itu berbahaya?”
“Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang parah dan berpotensi mengancam nyawa. Reaksi dapat terjadi dalam hitungan detik atau menit sejak terpapar alergen. Gejala termasuk ruam kulit, mual, muntah, kesulitan bernapas, dan shock. Tapi saya sudah memberikan suntikan pada istri, Bapak. Sekarang istri, Bapak sedang beristirahat karena pengaruh obat yang saya berikan.”
“Apa saya bisa melihatnya, Dok?”
“Nanti ya, Pak. Setelah ini istri, Bapak akan kami pindahkan ke ruang perawatan. Silakan Bapak pesan satu ruangan untuk istri, Bapak.”
Vincent berjalan menuju resepsionis untuk memesan ruangan istrinya sekaligus membayar tagihan. Setelah selesai ia mengikuti ranjang di mana istrinya didorong oleh beberapa suster.
Bersambung...