Bab 10 Rumah Sakit
Bab 10 Rumah Sakit
“Sakit adalah salah satu cara Allah untuk menggugurkan dosa kita. Jadi bersyukurlah ketika engkau mendapatkan sakit.”
Vincent duduk di bangku sebelah istrinya yang masih memejamkan matanya. Ia merasakan ada sedikit ngilu saat melihat istrinya terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan infus dan juga selang oksigen. Kulit yang biasanya putih bersih kini sedikit berbeda karena ruam-ruam merah.
“Meira kamu sudah bangun?” tanya Vincent saat melihat pergerakan mata istrinya itu.
Meira hanya diam ia memegangi perut yang terasa mual, dengan cepat ia memiringkan badannya kemudian memuntahkan makanan yang ada di perutnya.
Vincent memijat tengkuk istrinya agar memudahkan istrinya itu memuntahkan makanannya.
“Sudah?”
“Air,” lirih Meira sambil memejamkan matanya.
Dengan cepat Vincent menyambar gelas yang berada di nakas lalu memberikannya kepada Meira dan membantu Meira untuk meminumnya.
“Sudah?”
Meira mengangguk pelan.
“Apa yang kamu rasakan?”
“Perutnya kurang enak. Sama badannya gatal-gatal,” ucap Meira sambil menggaruk tangannya yang terasa gatal.
“Jangan digaruk nanti infeksi. Saya panggilkan dokter, ya,”
Vincent beranjak dari tempatnya kemudian memencet bel pasien yang berada tepat di atas kepala istrinya. Tak lama kemudian seorang berjas putih dan juga perawat datang membuka pintu rawat inap mereka.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Istri saya sudah sadar, tapi dia mengeluh mual dan juga gatal di badan-badannya,” jelas Vincent sambil menatap dokter di depannya.
“Itu adalah efek dari alergi istri Anda, Pak. Nanti setelah jam makan siang saya bawakan resep obat pereda mual dan juga gatal, ya,” ucap Dokter sambil memeriksa tubuh Meira dengan stetoskopnya. “Apa dadanya masih sesak?” tanya Dokter sambil mengalungkan stetoskop ke lehernya.
“Masih, Dok.”
“Ya sudah, biar selang oksigennya jangan di lepas sampai sesaknya hilang,”
Meira mengangguk pelan.
“Ya sudah, saya permisi dulu. Nanti kalau ada apa-apa bisa panggil saya atau perawat,”
“Terima kasih, Dok,”
Setelah kepergian dokter, Vincent mendekati istrinya yang masih terlihat lemah, “kamu mau apa.” Tanya Vincent sambil mengusap kepala istrinya.
Meira menggeleng pelan.
“Saya minta maaf,” ucap Vincent setelah keduanya terdiam beberapa sesaat.
Meira menolehkan kepalanya ke kanan, ia memang tidak bisa melihat tapi ia bisa merasakan seseorang di sekitarnya, “minta maaf buat apa?”
“Buat semua, terutama karena saya, kamu jadi masuk rumah sakit,”
“Semua bukan kesalahan, Mas kok.” Meira meraba sekitarnya.
Vincent menggenggam tangan Meira yang meraba-raba wajahnya.
“Semua kesalahan saya. Saya tidak tahu apa-apa tentang kamu, apalagi kelemahan kamu sampai kamu kena anafilaksis,” ucap Vincent sambil menundukkan kepalanya.
“Semua sudah terjadi, Mas. Lagian salah Meira juga yang tidak bilang sama, Mas kalau Meira punya alergi.”
“Salah saya juga yang tidak bertanya sama kamu,”
“Sudah ya, Mas. Tidak ada yang perlu disalahkan, semua sudah terjadi dan tidak mungkin juga akan kembali seperti semula. Mungkin ini cara Tuhan mendekatkan kita,” ucap Meira sambil terkikik pelan.
Vincent mengacak puncak kepala istrinya dengan gemas, “apa kamu sangat berharap dengan pernikahan ini?”
Meira tersenyum tipis, “berharap? Saya sangat berharap dengan pernikahan ini. Karena sejatinya pernikahan adalah menyatukan dua kepala untuk menjadi satu, terbebas dari mereka saling mencintai atau tidak. Namun seiring berjalannya waktu saya percaya cinta itu akan tubuh dengan sendirinya.”
Di tengah pembicaraan keduanya, muncul seorang perawat yang membawakan sepiring makanan dan juga beberapa butir obat.
“Ini makan siang untuk Ibu Meira beserta obat yang harus diminum untuk siang ini,”
“Terima kasih, Sus. Biar nanti saya yang suapi,” ucap Vincent sambil menerima nampan yang di bawa oleh suster.
“Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya permisi,”
“Silakan.”
“Buka mulutnya,” perintah Vincent sambil menyodorkan sendok yang berisi makanan.
Vincent menyuapi istrinya dengan telaten sampai makanan itu habis tak tersisa, ia memberikan beberapa butir obat dan air putih kepada istrinya.
“Sekarang kamu istirahat, ya,” ucap Vincent sambil merebahkan tubuh istrinya kemudian menyelimutinya.
***
Setelah hampir empat hari dirawat di rumah sakit, hari ini Meira sudah diperbolehkan pulang dengan berbagai catatan dokter.
“Mas,” panggil Meira sambil menurunkan kakinya dari ranjang.
Vincent yang sedang membereskan pakaian mereka selama di rumah sakit menolehkan pandangannya ke arah istrinya.
“Kenapa, Ra?”
“Mas sudah membereskan semuanya?”
“Sudah, kenapa?” tanya Vincent sambil menutup tas ranselnya.
“Pulang,”
“Iya ini mau pulang. Mas bereskan administrasi sama ambil obat kamu dulu, ya.”
“Ikut!”
“Kamu di sini saja,”
“Mas malu ya punya istri tidak bisa melihat?”
Vincent mengusap kepala istrinya, “jujur saja awalnya saya malu dan juga tidak terima jika harus mempunyai istri yang tidak bisa melihat. Karena menurut saya orang yang tidak bisa melihat tidak bisa apa-apa dan hanya merepotkan. Tapi setelah kejadian kemarin semua pikiran itu hilang entah ke mana. Saya bangga sama kamu,” ucap Vincent sambil mencium jari-jari istrinya.
Meira yang mendengar perkataan suaminya, ia merasa terharu. Air matanya menetes tanpa bisa dicegah. Dadanya seperti meloncat-loncat dari tempatnya.
“Jangan menangis.”
“Ini tangisan bahagia, Mas,”
“Jika memang ini tangisan bahagia akan Mas ijin kan. Tapi jika tangis ini tangis kesedihan Mas harap air mata ini berhenti mengalir,” Vincent menghapus air mata di pipi istrinya yang masih terus mengalir dengan derasnya.
Meira memegang jari-jari suaminya, ia genggam tangan suaminya, “Mas, jika suatu saat nanti Meira melakukan kesalahan apa, Mas mau memaafkan Meira?”
“Semua orang pernah melakukan sebuah kesalahan, tak ada seorang pun yang tak luput dari kesalahan. Jika kamu melakukan kesalah itu hal wajar. Begitu pula saya, saya pun pernah melakukan kesalahan. Seperti yang kamu tahu sebelumnya, aku tidak menerima kamu, dan saya juga tidak memperlakukan kamu seperti istri saya.”
“Semua itu suda berlalu, Mas.”
“Semua memang sudah berlalu, tapi kamu memaafkan kesalahan saya. Dan saya pun akan melakukan hal yang sama jika kamu melakukan kesalahan.”
“Tapi akan ada rahasia besar yang akan terungkap di kemudian hari, Mas.”
“Rahasia apa?”
“Meira sulit menjelaskannya, Mas. Haya saja Meira dapat melihat jika suatu saat akan ada rahasia besar yang akan terungkap.”
Vincent menangkup kedua pipi istrinya, “kamu jangan menerawang apa yang akan terjadi dimasa depan. Karena jika ada hal besar yang kamu tahu dimasa depan, itu akan menjadi momok yang menakutkan bagi kamu. Jadi cobalah berpikir positif, ya,” ucap Vincent sambil mengambil tas yang berisi baju-baju mereka.
“Tapi yang Meira bilang itu benar akan terjadi, Mas,”
“Iya sudah ah, terserah kamu. Ayo pulang, mau ikut tunggu antrean obat atau mau di sini?”
“Ikut,”
Meira turun dari ranjang rumah sakit, kemudian mengapit tagan suaminya yang disodorkan kepadanya dan berjalan mengikuti arahan suaminya.
“Mas jika memang benar suatu saat nanti akan ada rahasia besar yang akan terbongkar, Meira harap kamu tidak meninggalkan Meira,” ucap Meira ketika mereka sudah duduk di depan ruang farmasi.
Vincent menatap istrinya tajam, “tolong jangan bicara seperti itu saya tidak suka. Dan jangan pancing emosi saya. Saya lelah, saya takut emosi saya tidak terkontrol dan akan kembali melukai kamu”
Meira menunduk, “maaf,” lirih Meira.
Vincent mengangkat kepala istrinya, “jangan menunduk nanti mahkotamu jatuh,” ucap Vincent sambil terkekeh pelan.
Meira mencubit pinggang suaminya yang sekarang sering sekali menggodanya.
“Sakit ini, nanti kalau mau cubit-cubitan di rumah saja,” bisik Vincent di telinga istrinya.
“Mas!”
Vincent terkekeh pelan melihat reaksi istrinya, ia berjalan menuju ruang farmasi ketika mendengar nama istrinya dipanggil.
“Yuk, pulang,” ajak Vincent sambil menarik lengan istrinya ketika sudah selesai mengambil obat.
Meira mengangguk pelan mengikuti langkah suaminya yang menuntunnya pelan. Setelah sampai mobil Vincent menjalankan mobilnya perlahan menuju rumah yang selama ini mereka tinggalkan.
Bersambung....