Bab 11 Rencana Baru
Bab 11 Rencana Baru
Hari-hari berjalan seperti biasa, Clift perlahan mulai menerima jika Welny adalah istrinya. Walaupun masih ada sedikit rasa tidak rela yang bersarang di hatinya.
Sejak semalam Clift dan Welny menginap di rumah mertuanya, pagi ini mereka duduk berhadapan dengan Ayah Welny. Sebenarnya Ayah Welny hendak mengutarakan maksud mengundang anak dan menantunya untuk menginap malam tadi, tapi karena Welny dan Clift datang ketika malam sudah larut jadilah pagi ini setelah makan pagi mereka berkumpul di ruang keluarga.
“Kamu sudah keluar dari pekerjaanmu, Clift?” tanya Ayah Welny sambil meminum teh yang dibuat oleh pelayannya.
Clift yang dari tadi diam dan menunduk seketika mendongakkan kepalanya menghadap ayah mertuanya itu, “sudah, Yah.”
“Siapa yang mengurus?”
“Welny, Yah. Saya tidak tahu kalau Welny sudah mengurus surat pengunduran diri sebelumnya.”
“Berarti jika Welny tidak mengurus surat pengunduranmu, kamu tidak akan mengundurkan diri dari sana?” Ayah Welny menatap sinis menantunya itu.
Clift terdiam tidak berani menjawab Ayah mertuanya itu.
“Bukan tidak mau, Yah. Tapi belum sempat saja,” suara itu bukan berasal dari Clift, tapi suara dari Welny.
“Benarkah?” tanya Ayah Welny sambil mengangkat sebelah alisnya.
“Iya, Yah,” jawab Clift lirih masih dengan wajah yang menunduk.
“Lantas apa rencanamu ke depannya?”
“Kami mau memulai berbisnis dengan membuka Cafe, Yah,” jawab Welny sambil menggenggam tangan suaminya yang terasa dingin itu.
“Bagus! Sudah menemukan tempatnya?”
“Belum, Yah. Kami masih mencarinya,”
“Kebetulan kemarin Ayah ada kenalan yang menawarkan tempat, lokasinya cukup strategis dekat kampus dan juga stasiun. Tapi di sebelahnya sudah ada kafe, masalahnya.”
“Boleh kami melihatnya, Yah?” tanya Clift menatap ayah mertuanya itu.
“Boleh, hari ini juga bisa, kebetulan teman Ayah ada di sana,”
“Sekarang saja, Yah,” usul Welny.
“Ayo!”
Setelah bersiap ketiganya menuju tempat yang Ayah Welny tunjukan, Clift mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang mengikuti mobil Ayah mertuanya yang sudah ada di depan mobilnya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit mereka sampai di mana tempat yang Ayah Welny tunjukan.
“Nah ini tempatnya, bisa kalian lihat-lihat dulu.”
Ketiganya berkeliling tempat itu sampai sebuah suara menghentikan kegiatan mereka.
“Hai, Fachri!” panggil seorang pria membuat ketiganya menoleh ke sumber suara.
“Gabriel!” balas Ayah Welny sambil merentangkan kedua tangannya kemudian memeluk temannya itu.
“Kamu mau buat usaha baru, ya?” tanya Gabriel teman Ayah Welny itu.
“Bukan aku, tapi putriku dan menantuku ini!” balas Ayah Welny sambil merangkul pundak Clift.
“Welny sudah menikah?”
“Iya, baru beberapa bulan yang lalu, sih. Masih hangat-hangatnya ini,” canda Ayah Welny sambil menepuk bahu Clift.
“Tidak jadi besanan kita,” ucap Gabriel sambil tertawa.
“Belum jodoh sepertinya,” balas Ayah Welny sambil menatap Clift.
Clift yang dari tadi diam hanya tersenyum tipis mendengar guyonan kedua orang tua itu.
“Hahahaha... ya sudah kasihan itu menantumu,”
“Tidak apa, Om,” ucap Clift kikuk.
“Siapa namamu? Belum kenalan kita, kemarin mertuamu tidak mengundang saya waktu kamu menikah.”
“Clift, Om.”
“Saya, Gabriel.”
“Iya, salam kenal, Om.”
“Ya sudah, mari keliling. Siapa tahu cocok,”
Akhirnya mereka berkeliling mengikuti langkah teman Ayah Welny itu.
“Nah, ini tempat privat. Sebelah sini bisa buat rapat dan sebelah sana tempat privat yang santai,” ucap Gabriel sambil membuka pintu yang berisi ruangan khusus.
Clift masuk ke dalam ruangan yang tadi di buka oleh Gabriel itu. Ia menatap sekitarnya yang cukup menarik perhatiannya. Di sana terdapat meja yang berbentuk lonjong memanjang yang cukup sekitar dua puluh orang.
Di sana Clift bisa melihat dunia luar karena terlapisi kaca, tapi ia tidak bisa mendengar suara apa pun dari luar, sepertinya tempat ini di desain kedap suara. Ia berpikir, ‘mungkin besok bisa dilapisi gorden agar jika nantinya ada rapat ruangan bisa tertutup.
“Kursinya ke mana, Om?” tanya Clift yang baru menyadari tidak ada kursi di sana.
“Eh iya, baru sadar aku. Mana kursinya, Ril?”
“Masih di gudang, ini tempat baru soalnya. Jadi belum diberi kursi,”
“Oalah pantas ini mejanya masih kelihatan baru,” ucap Clift sambil tertawa.
“Paham sekali kau anak muda,” balas Gabriel sambil menepuk pundak Clift.
Clift hanya tersenyum tipis mendengar ucapan teman Ayahnya itu.
“Outdoornya ada tidak, Om?”
“Lahannya ada, tapi tempat duduknya masih beberapa. Jika mau ditambah masih bisa,”
“Boleh ke sana, Om?”
“Boleh, ayo!”
Gabriel memimpin langkah mereka menuju pintu samping.
“Nah ini tempatnya, tapi ada pohonnya. Nanti kalau kurang suka bisa kami potong.”
“Tidak usah, Om. Biarkan seperti itu, agar terlihat lebih alami.”
“Oke kalau begitu, di belakang juga masih ada lahannya jika masih kurang,” ucap Gabriel sambil melangkah ke belakang tempat itu.
Clift menatap suka dengan suasana di belakang, karena lahan yang cukup luas dan terasa sejuk karena ada beberapa pohon besar di sana.
***
“Saya tertarik dengan tempat ini, Om,” ucap Clift kini mereka duduk melingkar di ruang tengah.
“Alhamdulillah, mau sewa atau beli?”
“Beli saja, Mas,” ucap Welny yang melihat suaminya terdiam.
“Iya beli saja, Ril. Biar nanti aku yang urus pembayarannya,” ucap Ayah Welny.
“Yah....” panggil Clift merasa tidak enak.
“Tidak apa, Clift. Ayah bantu putri Ayah bukan bantu kamu,” balas Ayah Welny mengelak.
Clift menatap istrinya yang mengangguk sambil tersenyum itu.
Clift hanya menghembuskan napas pasrah.
“Ya sudah, nanti urusan pembayaran sama aku, Ril,”
“Siap!” balas Gabriel dengan tangan di pelipisnya seolah hormat.
Kelakuannya itu membuat ketiga orang di sana tertawa.
“Apa mulai besok bisa saya desain kafe ini Om?”
“Boleh! Silakan kalau menurut Clift ada desain yang kurang suka bisa didesain ulang.”
“Terima kasih, Om,”
“Oh ya, saran saja ya. Di seberang sana ada kafe juga, jadi saran Om kasih desain yang lebih menarik.”
“Pasti, Om!”
“Ya sudah, aku mau permisi ada keperluan lain,” ucap Gabriel sambil bangkit dari duduknya. “Ini kuncinya, kalau masih mau di sini,” lanjut Gabriel sambil menyerahkan kunci ke Ayah Welny.
“Belum dibayar sudah dikasih kunci, tidak apa-apa?”
“Tidak apa, percaya saya samamu.”
“Okelah!” balas Ayah Welny sambil menerima kunci yang di berikan Gabriel.
“Hati-hati kau di jalan,”
“Siap!”
***
“Jadi apa rencanamu selanjutnya?” tanya Ayah Welny setelah kepergian Gabriel.
“Rencana saya mau mendesain nama kafe ini untuk di depan dan mendesain beberapa tempat yang masih kosong. Terutama yang di bagian belakang itu nanti bisa jadi tempat favorit sepertinya. Soalnya sejuk banget di sana.”
“Iya, Ayah juga suka di sana. Untuk nama kafenya apa?”
“Sejak tadi saya sudah memikirkannya, Yah. Saya pikir, ‘Tempo Doeloe Cafe’ cocok. Melihat bangunan yang kelihatan klasik di beberapa tempat dan juga nantinya rencana mau saya gambar desain dengan tema klasik. Bagaimana menurut Ayah dan juga Welny?”
“Ayah setuju!” balas Ayah Welny setelah berpikir sesaat.
“Welny juga setuju!”
“Idemu sungguh cemerlang tentang bisnis, Clift,” ucap Ayah bangga sambil menepuk pundak Clift pelan.
“Hanya ide sederhana saja, Yah,” balas Clift sambil tersenyum tipis.
“Lalu mau buka kapan, Mas?”
“Melihat tempat yang masih perlu dibenahi dibeberapa tempat, mungkin tahun depan, Yah. Tepatnya 11 Januari, bagaimana?”
“Ya sudah, Ayah ikut saja.”
“Untuk modal perlu Ayah bantu atau tidak?”
“Tidak usah, Yah. Saya masih ada tabungan kok,” tolak Clift dengan halus.
“Benar? Ayah bisa bantu.”
“Tidak usah, Yah, cukup tempat saja yang sudah Ayah belikan. Untuk modal dagang biar saya saja.”
“Oke kalau begitu keinginan kamu, tapi untuk orang yang bantu-bantu di Cafe besok biar Ayah yang cari. Ayah punya kenalan banyak yang bisa buat minuman dan juga makanan,”
“Boleh, Yah. Saya juga kurang banyak kenalan yang bisa jadi pelayan.”
“Ya sudah balik saja sekarang, sudah siang juga.”
“Iya, Yah. Kami langsung balik ke rumah ya, Yah?”
“Tidak menginap lagi?”
“Lain kali saja, Yah.”
“Ya sudah hati-hati di jalan.”
“Ayah juga, Yah.”
Ketiganya beranjak menuju mobil masing-masing setelah mengunci pintu kafe, kemudian menjalankan mobilnya menuju rumahnya.
Bersambung....