Ringkasan
Ketika sebuah pernikahan yang digelar lewat sebuah Biro Perjodohan tertukar, dua pria harus menjalankan peran sebagai seorang suami yang merasa sial. Vincent menikahi gadis buta yang tidak bisa apa-apa, sementara Clift menikahi gadis boros dan suka mengatur. Padahal kepada biro jodoh Vincent meminta perempuan energic dan penuh semangat, sementara Clift meminta perempuan yang tidak banyak menuntut dan bergantung padanya.
Bab 1 Salah Istri?
Bab 1 Salah Istri?
“Buta bukan berarti tidak bisa melihat, dia bisa melihat hanya saja dengan mata batinnya.”
Vincent menatap nanar perempuan yang kini duduk di atas ranjang, menatap kosong pemandangan di depannya. Perempuan yang beberapa jam lalu ia ikat dengan akad.
Vincent tidak menyangka kalau perempuan yang dinikahinya tidak bisa melihat. Sebelum akad ia memang sama sekali tidak bertemu dengan perempuan di depannya, karena tidak memiliki waktu.
Padahal pemilik Biro Jodoh sudah menyarankan untuk bertemu dengan perempuan yang akan menjadi istrinya tapi tidak ia lakukan. Dan kini ia menyesal karena tidak mengikuti saran pemilik biro jodoh itu.
“Mas,” panggil istri Vincent yang bernama Meira itu.
“Apa?!” tanya Vincent sambil mengacak rambutnya kasar. Sehingga membuat rambut yang semula rapi itu menjadi berantakan.
“Kenapa, Mas dari tadi diam saja?” tanya Meira sambil beranjak dari duduknya dengan tangan terulur ke depan berusaha untuk mencari suaminya.
“Tetap di posisimu, Meira!” titah Vincent sambil melempar jas yang digunakannya ke arah Meira.
Meira sontak saja terkejut saat merasakan sebuah kain yang menempel tepat di wajahnya.
“Ini apa, Mas?” tanya Meira setelah menarik kain di wajahnya.
“Dalamanku!” ucap Vincent dengan kesal.
“Mana mungkin dalaman sekasar dan sepanjang ini, Mas,” bantah Meira sambil meraba-raba kain di tangannya.
Vincent menatap jengah perempuan di depannya, “itu jasku, kamu taruh di gantungan sana!” perintah Vincent seolah lupa jika istrinya itu tidak bisa melihat.
Meira mendengus, “gimana mau naruh jas, Mas, Meira saja belum tau letak-letak kamar ini, Mas,” keluh Meira sambil mendaratkan pantatnya di ranjang.
“Hah! Menyebalkan!” teriak Vincent sambil menarik kasar jas di tangan istrinya.
“Mas pelan bisa, kan?”
“Tidak!”
“Ish menyebalkan!”
“Heh kamu itu yang menyebalkan! Bukan saya!”
“Lah Meira salah apa?”
“Tidak sadar diri ternyata, ya.” Vincent mendekati istrinya dengan tatapan sinis, “kamu itu buta! Kenapa nggak bilang dari awal!” teriak Vincent sambil memegang wajah istrinya dengan kasar.
“Sakit, Mas,” keluh Meira sambil memegang lengan suaminya yang berada di pipinya.
“Sakit? Lebih sakit mana, aku harus menerima wanita seperti kamu yang tidak bisa apa-apa, Hah!” teriak Vincent sambil melepaskan tangannya dari pipi istrinya.
“Kan, Meira juga sudah bilang sama Mas saat itu, kalau Meira memiliki kekurangan,”
Meira memang sudah bilang jika ia memiliki kekurangan pada Vincent sebelumnya melalui telepon.
“Tapi kamu tidak bilang kalau kekuranganmu itu tidak bisa melihat!”
“Heh! Saat itu Meira mau bilang ya, Mas. Tapi siapa yang sudah menyerobot lebih dulu bilang, ‘setiap manusia memiliki kekuarangan begitu pula kamu, aku akan menerima apa pun kekurangan kamu. Biar aku yang menyempurnakan kekuranganmu,’ siapa, Hah!”
“Hah!” Vincent menendang kursi rias di sebelahnya untuk menyalurkan emosi.
“Lagi pula salah, Mas juga, kenapa tidak mau diajak ketemu!”
“Saya itu orang sibuk bukan seperti kamu, ya! Yang memiliki waktu banyak karena tidak memiliki kesibukan,”
“Mas itu pemilik cafe loh ya, sekali saja masa tidak bisa?”
“Halah! Saya mau pergi!” ucap Vincent sambil membuka lemarinya kasar.
“Loh, Mas mau ke mana?” tanya Meira panik.
“Ke mana saja yang penting tidak denganmu!”
“Loh, Mas ini kan malam pertama kita."
“Saya tidak sudi malam pertama dengan kamu!” ucap Vincent lalu keluar kamar dengan menutup pintu dengan kasar.
Meira berjengit kaget saat mendengar pintu yang ditutup kasar oleh suaminya.
“Saat ini kamu boleh bilang seperti itu, Mas. Tapi tunggu suatu saat kamu akan aku buat tidak berdaya olehku,” lirih Meira dengan senyum penuh arti.
***
Dilain sisi, seorang pria duduk di sofa ruang tamu sambil menyeruput kopi hitam di tangannya. Matanya menatap tajam perempuan di depannya yang kini dengan riang memamerkan apa saja yang berada di tangannya.
“Lihat deh, Mas, ini tasnya keren loh! Limited edition lagi,” ucap perempuan bernama Welny itu sambil membolak-balikan tas yang berada di tangannya. “Oh iya, Mas, minggu depan akan ada peluncuran sepatu terbaru dari luar negeri, Mas transfer lagi uang ke Welny ya, Mas,” lanjutnya tanpa menatap orang yang ia ajak bicara.
Lelaki di depannya yang bernama Clift sudah jengah melihat kelakuan istrinya, ia membanting cangkir yang semula di pegangnya ke meja di depannya.
“Kamu kenapa sih, Mas!” teriak Welny sambil mengusap belanjaannya yang terkena tumpahan kopi suaminya.
“Kamu yang kenapa! Setiap hari belanja yang tidak penting, tidak bosen apa?!” teriak Clift sambil membuka sepatunya kemudian melemparnya asal.
Welny menatap suaminya yang kini menatapnya dengan tajam, “kan memang hobi Welny belanja, Mas!” bantah Welny sambil mengambil sepatu yang tadi dilempar oleh suaminya kemudian meletakkannya ke rak sepatu
“Tapi tidak tiap hari, Welny!”
“Memang kenapa kalau tiap hari, toh uang Mas banyak,”
“Uang saya tidak sebanyak yang kamu kira, Welny! Saya hanya pekerja di akuntan pajak, gajiku tidak sebanyak yang kamu kira!”
“Makanya gaji kamu, kasih ke aku semuanya supaya aku tahu berapa gaji kamu,” balas Welny tenang.
“Yang ada langsung habis kalau gaji aku semuanya di kamu! Baru seminggu kita bersama saja kamu sudah menghabiskan uang sebanyak lima puluh juta! Bagiimana kehidupan kita nanti Welny!”
“Halah itu gampang, Mas, yang penting kita senang-senang pada hari ini!”
“Kamu memang susah di atur, ya! Kalau kamu seperti ini terus, kamu tunggu saja surat pengadilan dari saya!” ucap Clift lalu bangkit dari duduknya hendak pergi.
Tapi belum kakinya melangkah tangannya di cekal kuat oleh istri yang di sampingnya itu.
“Mas jangan ceraikan aku,” ucap Welny dengan mata yang berkaca-kaca.
“Jangan kamu pancing aku dengan air mata kamu itu, Welny!”
“Mas! Aku mohon jangan ceraikan aku!”
“Saya tidak peduli! Keputusan saya sudah bulat!” teriak Clif lalu menyentak tangan istrinya dengan kasar.
“Mas! Asal, Mas tahu kalau pun, Mas tidak bekerja Mas tidak akan jatuh miskin!” teriak Welny saat melihat suaminya hendak membuka pintu rumahnya.
Clft seketika menghentikan langkahnya saat mendengar penuturan istrinya, “jangan membohongiku, Welny! Kamu pikir saya percaya sama kamu!”
“Aku bilang apa adanya, Mas! Ayahku seorang Milyader, Mas! Dia memiliki perusahaan di mana-mana. Dan Ayah juga memiliki pertambangan batu bara, Mas!”
“Semua itu bukan milikmu! Semua akan di bagi-bagi oleh saudara-saudaramu.”
“Mas aku itu anak tunggal kalau kamu lupa!”
“Omong Kosong!”
“Kalau Mas tidak percaya ayo kita ke rumah Ayahku, Mas!”
Clif memang belum mengetahui seluk-beluk kehidupan istrinya, ia pun baru sekali bertemu keluarga istrinya saat pernikahan, itu pun belum sempat mengobrol secara mendalam karena saat pernikahan mereka sama-sama sibuk menyambut tamu.
“Ayo cepat kita ke rumah Ayah, Mas!” ajak Welny sambil menarik lengan suaminya.
“Untuk apa?”
“Membuktikan, perkataanku,”
“Eh, tapi....”
“Tidak usah banyak ngomong, cepat!”
Clift menjalankan mobilnya menuju rumah mertuanya, ada rasa takut dan malu tercampur menjadi satu menyerang dadanya. Masih terngiang jelas di ingatannya wajah mertuanya dengan rambut yang memenuhi dagunya dan juga tatapan matanya yang begitu menguliti. Sangar dan juga galak itulah sifat yang terlintas di pikiran, Cilf itu.
Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, Clif memberhentikan mobilnya ke pekarangan rumah yang begitu megahnya.
Setelah memberikan kunci mobilnya kepada pegawai yang menghampirinya, Clif terbengong melihat rumah di depannya, ia tidak menyangka rumah mertuanya itu menjulang tinggi dengan begitu megahnya. Bahkan sejak mobilnya memasuki gerbang rumah ia masih harus menjalankan mobilnya beberapa menit untuk sampai di depan pintu rumahnya.
“Selamat datang, Nona, Tuan,” ucap salah seorang pelayan yang membukakan pintu rumah.
“Ayah ada, Bi?”
“Ada, Nona. Mau Bibi panggilkan?”
“Boleh, Bi, terima kasih, ya,”
Setelah kepergian pelayan itu, Welny mendudukkan tubuhnya di sofa ruang keluarga.
“Sini, Mas, duduk,” ucap Welny sambil menepuk sofa di sebelahnya.
Clif yang masih memandangi sekitar, seketika menoleh ke arah istrinya, kemudian mendudukkan tubuhnya di sebelah istrinya.
“Kamu pulang, Princess?” tanya Pria paru baya dari arah tangga.
“Ayah!” seru Welny sambil berjalan menuju tangga dengan tangan terbentang.
“Ada yang mau, Welny bicarakan dengan Ayah,” ucap Welny dalam pelukan Ayahnya.
“Bicara, apa?” tanya Ayah sambil mendudukkan tubuhnya di sofa.
“Mas Clif mau menceraikan Welny, Yah,”
“Apa!”
Bersambung....