Bab 2 Tukar Istri?
Bab 2 Tukar Istri?
“Bersyukurlah dengan apa yang kamu miliki sekarang, karena apa yang kamu miliki sekarang itu apa yang orang lain inginkan.”
Suasana seketika hening tapi mencekam, setelah Welny mengucapkan tujuan mereka datang ke sana.
“Atas dasar apa kamu mau menceraikan anak saya?!” tanya Ayah Welny dengan menatap Clift tajam.
Clift seketika menunduk tak berani menatap pria di seberangnya.
“Sekali lagi saya tanya, atas dasar apa kamu menceraikan anak saya?”
Clift masih terdiam.
“Punya mulut kamu kan, Tuan Clift yang terhormat!”
“Karena Welny boros, Yah,” jawaban itu bukan terlontar dari Clift, tapi terlontar dari mulut Welny.
“Hanya karena itu?”
“Iya, Yah,”
“Kamu kerja, apa?”
“Akuntan Pajak, Yah,”
“Keluar dari sana!”
“Tapi, Yah,”
“Tidakak ada tapi-tapian, undurkan diri kamu dari sana!”
“Tapi, bagaimana mau menghidupi Welny kalau saya mengundurkan diri dari sana.”
“Semua harta saya milik Welny. Semua kehidupan kamu dan Welny saya yang tanggung, dengan syarat kamu tidak menceraikan anak saya!”
“Mas, jangan ceraikan Welny,” pinta Welny sambil mengapit lengan suaminya.
“Kamu dengar apa permintaan putri saya?”
“Dengar, Yah.”
“Jadi apa keputusan kamu?”
Clift terdiam sesaat, “saya tidak akan menceraikan Welny,”
“Bagus!”
***
Vincent meletakan beberapa lembar kertas di hadapan istrinya yang kini duduk di ruang tamu.
“Tanda tangani kertas, di depanmu!” titah Vincent sambil mendudukkan tubuhnya di seberang istrinya.
“Kertas apa, Mas?”
Vincent diam sambil menatap perempuan di depannya.
“Mas?”
“Kertas Perceraian!”
“Mas mau menceraikan, Meira?”
“Iya!”
“Pernikahan kita baru berumur satu minggu loh, Mas! Masa sudah mau menceraikan Meira?” peringat Meira sambil mengulurkan kedua tangannya untuk menggapai suaminya.
“Tidak peduli!”
“Mas mau jadi, Duda?”
Vincent terdiam.
“Mas tahu? Kalau, Mas jadi duda nantinya usaha Mas akan hancur secara perlahan,”
“Tahu apa kamu tentang usaha saya!”
“Meira memang tidak mengetahui apa-apa tentang usaha, Mas. Tapi satu hal yang perlu, Mas tahu. Meira bisa menerawang masa depan.”
“Tidak usah bicara macam-macam kamu!”
“Meira bilang apa adanya, Mas! Sekarang terserah, Mas. Pilihan ada di tangan, Mas,”
“Akh!” teriak Vincent sambil meraih kertas yang tadi di sodorkan kepada istrinya kemudian ia berjalan keluar rumah.
Meira yang mengetahui suaminya keluar ia hanya tersenyum sinis.
***
Vincent membanting pintu mobilnya setelah ia mendudukkan tubuhnya di jok kemudi.
“Akh!” tangannya terus memukul setir mobilnya dengan kuat untuk meluapkan emosinya.
Setelah terdiam sesaat ia menginjak pedal gas mobilnya menuju suatu tempat. Dan setelah sampai di tempat yang ia tuju, ia pun mengeryitkan keningnya saat melihat papan nama di depannya.
Ia pun berjalan menghampiri pelayan di sana.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
“Maaf mau tanya, bukannya dulu di sini biro perjodohan?” tanya Vincent sambil menyugar rambutnya.
“Iya benar, Pak, tapi maaf biro perjodohan sudah tutup sekarang berganti menjadi konseling pernikahan,”
“Lalu pemilik biro perjodohannya ke mana ya?”
“Wah, maaf, Pak saya kurang tahu.”
“Hah!” Vincent mengacak rambutnya dengan kasar. “ini jadi tempat apa?”
“Konseling pernikahan, Pak. Jika Bapak mempunyai masalah tentang pernikahan Bapak, atau Bapak mau menikah bisa konsultasi dengan atasan kami.”
Vincent terdiam sesaat, sepertinya tidak masalah kalau ia mencoba konsultasi disini, siapa tahu dapat solusi.
“Saya berminat konsultasi di sini,”
“Baiklah, bisa isi datanya terlebih dahulu, Pak,” titah pelayan tersebut sambil menyodorkan kertas ke arah Vincent.
Vincent pun mengisi data-data yang tertera disana dan setelah selesai ia disuruh menunggu namanya dipanggil.
Vincent mendudukkan tubuhnya di samping pria berjas hitam.
“Mau konseling juga?” tanya Vincent membuka pembicaraan dengan orang di sampingnya.
Seketika orang di sampingnya mendongak menatap Vincent dengan tatapan bingung.
“Apa kita saling kenal?” tanyanya sambil menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
“Tidak. Tapi tidak ada salahnya juga kalau kita kenalan, gue Vincent.” Vincent mengulurkan tangannya ke arah pria tersebut.
“Saya Clift. Senang berkenalan dengan anda!” ucapnya sambil membalas uluran tangan Vincent.
“Senang juga berkenalan dengan anda. Jadi anda ke sini ingin berkonsultasi juga?”
“Tidak! Sebenarnya saya mau protes pada biro jodoh di sini tapi sayangnya biro jodoh sudah tutup,” keluhnya sambil menutup wajahnya dengan tangannya.
“Loh kok sama?”
“Maksudnya?”
“Saua juga mau protes dengan pemilik biro jodoh di sini, tapi ya begitu,” ucap Vinvent sambil mengangkat kedua bahunya.
“Memang ada masalah dengan jodoh anda?”
“Banyak! Saat itu saya dikenalkan dengan perempuan buta, tidak bisa apa-apa lagi.”
“Tapi justru perempuan seperti itu yang tidak banyak menuntut, loh,”
“Iya, tapi sayangnya tidak bisa di andalkan! Justru saya yang harus mengurus dia!”
“Masih mending daripada istri saya suka menghambur-hamburkan uang! Baru seminggu hidup bersama dia, uang saya sudah menipis karena menuruti permintaan dia yang setiap hari harus belanja.”
“Heh justru wanita seperti itu yang saya cari! Dia bisa menjadi penyemangat saya dalam bekerja lebih keras lagi!”
“Sebentar... bentar... sepertinya istri kita tertukar,” ucap Clift sambil menatap Vincent yang menyandarkan tubuhnya di kursi.
Vincent terdiam sebentar, “sepertinya seperti itu!”
Keduanya seketika tertawa terbahak-bahak, saling menertawakan satu sama lain. Sehingga membuat mereka menjadi pusat perhatian orang-orang disana.
“Hah kenapa harus tertukar sih!” ucap Clift sambil berusaha menghentikan tawanya yang masih terdengar.
Mereka tidak menyangka kalau istri mereka tertukar, Vincent yang meminta istri yang ceria dan juga bisa menyemangati dirinya untuk bekerja karena ada istrinya yang bida membantunya menghabiskan uangnya. Sedangkan Clift ia membutuhkan istri yang tidak banyak menuntutnya walaupun istrinya memiliki kekurangan.
“Apa kita harus bertukar istri?” usul Vincent sambil mengambil ponsel di kantong jasnya.
“Heh! Jangan gila!” balas Clift sambil menepuk pundak Vincent dengan kuat.
“Saya tidak gila! Hanya memberi saran saja!” balas Vincent sambil mengusap pundaknya yang terasa nyeri.
“Tapi saran yang benar dong!”
“Itu sudah saran yang paling tepat,”
“Saya tidak mau kalau diminta tukar istri!”
“Kenapa? Bukannya anda tidak suka memiliki istri yang selalu menuntut?”
Clift menatap lantai di depannya dengan senyum kecil terpatri di bibir tipisnya. Mana mungkin ia menyerahkan istri seorang anak milyader, tapi ada sesuatu yang tiba-tiba seperti menyusup dadanya.
“Hah! Pokonya saya tidak mau kalau disuruh tukar istri, ya!”
“Itu artinya annda sudah menerima istri anda dong?”
“Bisa dibilang begitu. Tapi,saya masih tidak terima kalau harus mendapatkan istri yang banyak menuntut itu.”
“Lalu anda mau menceraikannya?”
“Tidak juga!
“Aneh!”
“Masa bodohlah!”
“Eh, lebih baik nanti kita masuk bersama-sama saja, lagi pula masalah kita juga satu tujuan kan?”
“Boleh juga usulnya kali ini,”
“Usul saya memang selalu bagus! Hanya saja anda yang tidak setuju!”
“Yah ... mana ada orang yang ingin bertukar istri!”
“Ada! Ini saya contohnya!”
“Itu kan anda! Tidak bakal ada yang lain!”
“Ah masa bodoh dengan yang lainnya! Saya pokoknya tidak terima kalau istri saya seperti itu!”
“Harusnya anda bersyukur! Istri anda tidak akan minta ini itu!”
“Buat apa saya menjadi pengusaha kalau istri saya tidak bisa menghabiskan uang saya?”
“Heh! Bisa untuk anak anda nantinya!”
“Tidak mau saya mempunyai anak dengan perempuan seperti dia!”
“Jadi anda belum pernah menyentuhnya selama menikah?”
“Belum! Saya pisah ranjang dengannya !”
“Astaga, kuat juga iman anda bisa satu atap dengan perempuan! Atau jangan-jangan anda tidak normal.”
“Enak aja! Gue normal ya! Hanya saja nggak sudi gue menyentuh dia! Yang ada nanti nak gue buta juga kaya dia!”
“Hati-hati dengan ucapan anda itu! Suatu saat anda bisa termakan ucapan sendiri!”
“Tidak akan!”
“Kita lihat saja nanti! Lagi pula anda masih pengantin baru, kan?”
“Kok tahu?” tanya Vincent sambil mengeryitkan keningnya.
“Tidak mungkin kan, kalau bukan pengantin baru protesnya baru sekarang? Saya juga pengantin baru,”
“Beuh!!”
“Dasar manusia aneh!”
“Saya dengar, ya!”
“Terserah! Kenapa tidak dipanggil-panggil ya, lama sekali!” keluh Clift sambil melihat jam tangan yang melingkar di tangan kirinya.
“Sabar! Yang datang bukan tidak hanya anda!”
“Ya, tapi saya sudah menunggu lebih dari satu jam!”
“Heh liat di sekitar anda! Masih banyak orang! Di sini ramai jadi ya kemungkinan memang lama!”
“Hah! Apa saya harus kembali saja?”
“Jangan dong!”
“Pulang sajalah!”
Baru saja Clift beranjak dari duduknya ia mendengar namanya dipanggil.
“Noh, nama anda itu kan?”
“Iya!” jawabnya sambil berjalan menuju pintu konsultasi diikuti oleh Vincent.
Bersambung....