Bab 3 Nasehat
Bab 3 Nasehat
“Tidak ada jodoh yang tertukar, semua sudah digariskan oleh pemilik hidup. Sesuai dengan porsinya masing-masing, dengan kekurangan dan kelebihan agar bisa saling melengkapi”
“Ada yang bisa saya bantu Pak Clift dan temannya ini siapa?” tanya pria yang sudah berumur ketika Vincent dan Clift mendudukkan tubuhnya di kursi yang tersedia.
“Saya, Vincent,”
“Baiklah, saya Firman, ada yang bisa saya bantu?”
Vincent pun menjelaskan apa yang telah terjadi pada mereka, dari awal sampai akhir secara rinci.
Setelah menyelesaikan ceritanya tanpa diduga, Pak Firman tertawa dengan keras sampai-sampai air katanya keluar dengan sendirinya.
“Saya ke sini bukan untuk di tertawakan ya, Pak Firman yang terhormat!” seru Clift sambil mengepalkan tangannya yang berada di atas meja.
“Maaf, maaf, bukan maksud saya menertawakan kalian, hanya saja kisah kalian unik,” jawab Pak Firman setelah menghentikan tawanya. “Memang di sini dulunya tempat biro jodoh yang terkenal akan kesuksesannya, tapi entah mengapa beberapa bulan lalu mereka memutuskan untuk pindah,”
“Pindah ke mana?”
“Maaf saya kurang tahu!”
“Hah! Percuma kita ke sini!”
“Heh jangan bilang percuma! Mau dengar saran dari saya? Saya masih ada hubungannya dengan biro jodoh, loh!” ucap Pak Firman dengan wajah seriusnya.
“Apa yang membuat anda yakin, menawarkan saya saran?”
“Sudah banyak pasangan yang saya satukan semula merenggang. Ada pula seseorang yang sadar atas apa yang dia perbuat.”
Vincent dan Clift tampak terdiam saling menatap.
“Bagaimana?” tanya Clift sambil menggaruk pelipisnya.
“Ikuti saja! Lagi pula sudah sampai sini kan?”
“Oke apa saran anda, Pak?”
“Saran saya, lebih baik kalian saling menerima istri kalian, sebenarnya tidak ada jodoh yang tertukar semua sudah digariskan oleh Tuhan untuk kalian,” Pak Firman menghentikan ucapannya sejenak. “Pak Vincent mungkin sudah memiliki segalanya baik berupa materi ataupun moril, tapi tak sadarkan anda selama ini kurang dalam berbagi?” tanya Pak Firman sambil menatap Vincent intens.
Vincent seketika terdiam, karena memang benar apa yang diucapkan oleh pria di depannya itu. Ia menang selama ini jarang sekali membantu orang-orang.
“Dan sekarang waktunya, Pak Vincent untuk berbagi melalui istri Bapak. Bantu dia selama Pak Vincent bisa membantunya. Berbagilah selama Pak Vincent masih bisa berbagi.”
Vincent masih terdiam mendengarkan ucapan Pak Firman itu, semua ucapannya seolah tamparan kuat buat dirinya dengan apa yang selama ini ia perbuat.
“Dan buat, Pak Clift. Terimalah istri Bapak itu, jadikan apa pun yang istri Bapak lakukan sebagai motivasi untuk bekerja lebih giat lagi untuk mendapatkan apa yang dia mau. Suatu saat ada hal besar yang ingin Bapak capai dan itu saatnya istri Bapak untuk membantu u.”
Pak Firman terdiam sesaat memandang dua orang di depannya.
“Bersyukurlah! Masih banyak orang yang tidak seberuntung kalian, masih banyak istri yang tidak hanya buta saja, tapi lebih. Dan masih banyak juga istri di luar sana yang menuntut suaminya lebih dari istri Bapak. Kuncinya hanya satu, selagi kita masih bisa memberikan apa yang istri kita mau berikanlah. Karena bahagianya seorang istri akan mempermudah rezeki suami.”
“Sampai di sini ada yang mau ditanyakan?”
Keduanya sontak menggeleng kompak, keduanya terdiam setelah mendapatkan pencerahan dari Pak Firman. Ada benarnya juga apa yang di bilang oleh Pak Firman, tapi ada pula setitik hatinya yang menolak.
Setelahnya mereka keluar ruangan konseling setelah mengucapkan terima kasih dan juga memberikan selembar amplop. Keduanya menuju parkiran dimana mobil mereka terparkir.
“Bagaimana menurutmu?” tanya Clift setelah mereka sampai di Parkiran.
“Memang benar sih, apa yang dikatakan oleh Pak Firman, tapi ada sedikit hati saya seperti menolak apa yang Pak Firman ucapkan."
“Yah, tidak kompak! Hati dan raga saja tidak kompak bagaimana dengan istri!” kelakar Clift sambil tertawa.
“Heh! Memang anda setuju dengan apa yang Pak Firman katakan?”
“Saya sih bagaimana nantinya saja,” balas Clift acuh.
“Tidak konsisten!”
“Masa bodoh! Sini saya minta nomor telepon anda!” ucap Clift sambil menyodorkan ponselnya ke arah Vincent.
Vincent meraih ponsel yang disodorkan kepadanya, lalu mengetik beberapa angka di sana dan kemudian mendial nomor itu agar masuk ke ponselnya.
“Oke, sudah!” ucap Vincent menyodorkan kembali ponsel milik Clift.
“Ya sudah saya pamit pulang dulu kalau begitu!”
“Pulanglah!”
“Anda tidak mau pulang?”
“Pulang. Mana mungkin saya jaga parkiran!”
“Oohh ..., memang Kang Parkir!” kelakar Clift sambil masuk ke dalam mobilnya.
“Sialan!” teriak Vincent kemudian masuk ke dalam mobilnya.
Vincent menjalankan mobilnya menuju rumahnya, ia butuh istirahat setelah seharian ini menguras otaknya.
Setelah sampai ia membuka pintu rumahnya terlihat istrinya duduk di ruang ramu tanpa melakukan apa pun.
“Mas itu kamu?” tanya Meira sambil mengulurkan kedua tangannya.
“Iya ini saya! Mau apa kamu?”
“Meira mau membicarakan sesuatu, Mas. Sini duduk,” titah Meira sambil menepuk sofa di sebelahnya yang kosong.
“Mau bicara apa? Saya lelah!”
“Sebentar saja, Mas!”
Vincent menghembuskan nafas kasar kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa sebelah istrinya.
Meira tersenyum saat merasakan sofa di sebelahnya terisi. Tangannya terulur untuk mengapai suaminya.
"Tidak usah meraba-raba! Cepat apa yang mau kamu bicarakan!” teriak Vincent sambil menyentak kasar tangan Meira.
“Meira bisa melihat jika, di masa yang akan datang, Mas sebenarnya adalah seseorang yang tidak bisa apa-apa. Mas adalah pria yang selalu bergantung pada orang lain. Jika, Mas tidak memiliki seseorang untuk membantu, Mas, maka Mas akan terpuruk!”
Seketika Vincent terdiam mendengar ramalan istrinya.
“Jangan asal bicara kamu, ya!” teriak Vincent sambil memukul meja di depannya dengan keras. Tapi untunglah meja itu tidak pecah karena ulahnya.
“Meira tidak asal bicara. Memang seperti itu adanya. Jika, Mas tidak percaya ya sudah. Meira hanya mengatakan apa yang Meira ramalkan.”
“Tidak usah meramal-meramal! Saya tidak membutuhkan ramalan konyolmu itu!”
“Mas, tolong percaya sama, Meira!”
“Selamanya saya tidak mempercayai ramalanmu itu, Meira!”
Vincent beranjak dari duduknya menuju kamarnya dengan perasaan kesal dan resah yang menyelimuti relung hatinya.
Ia berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket karena seharian beraktivitas di luar.
Setelah selesai ia merebahkan tubuhnya di ranjang miliknya itu, matanya menatap atap kamarnya menerawang apa yang baru saja terjadi.
Ia memikirkan apa yang istrinya itu ucapkan tadi, semua ucapan istrinya seperti menari-nari di pikirannya. Layaknya kaset yang terus diputar berkali-kali.
Ingin ia tidak mempercayai ramalan istrinya itu, tapi dia juga mengingat apa yang terjadi di hidupnya belakangan ini.
Ia sedikit membenarkan ucapan istrinya, ia memang bukan siapa-siapa, ia mengingat dirinya tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada orang lain. Bahkan bisnis cafenya bisa maju seperti sekarang ini karena dibantu oleh orang banyak.
Haruskan ia mempercayai ramalan istrinya itu? Atau justru menolaknya.
Hah! Memikirkannya saja sudah membuat Vincent bingung sendiri. Ia beranjak dari tempat tidurnya kemudian menuju meja makan untuk melakukan makan malam.
Baru kali ini ia makan malam di meja makan, sebelum-sebelumnya ia selalu makan di kamarnya, karena merasa nggak sudi duduk satu meja makan dengan istrinya.
“Mas makan di sini?” tanya Meira saat mendengar dentingan sendok dan piring lain selain piringnya.
“Ya!”
Meira menahan bibirnya agar tidak tertawa. Hatinya seperti berbunga-bunga seketika. Padahal hanya makan bersama tidak lebih.
“Heh tunggu saya!” cegah Vincent saat melihat istrinya hendak bangun dari duduknya.
“Mas ngomong sama, Meira?”
Vincent berdecak kesal, “siapa lagi yang ada di sini kalau bukan kamu?”
“Panggil nama dong, Mas. Biar Meira tidak bingung.”
“Ah terserah kamu! Pokoknya sekarang duduk kembali!” titah Vincent seolah tidak mau di bantah.
Meira kembali mendudukkan tubuhnya di kursi, “kenapa, Mas?”
Vincent berdehem sebentar untuk menghilangkan kegugupannya.
“Mas?” panggil Meira saat tak mendengar ucapan suaminya.
“Kamu benar bisa meramal?” tanya Vincent cepat sambil menahan rasa malu.
Meira menahan senyumnya agar tidak tertawa mendengar pertanyaan suaminya. Sepertinya suaminya itu sudah mulai mempercayai jika ia bisa meramal. ‘Bagus kalau begitu’ batinnya berkata
“Meira?” panggil Vincent sambil menatap istrinya itu.
Bersambung....