Bab 8 Menerima
Bab 8 Menerima
“Bersyukurlah dengan apa yang kamu punya hari ini, karena kamu belum tahu apa yang akan terjadi pada hari esok.”
Pagi harinya Clift terbangun kaget karena mendapati tubuhnya hanya terbalut selimut tanpa baju yang menutupi tubuhnya seperti biasa. Ia sedikit bingung dengan apa yang terjadi karena nyawanya beluk sepenuhnya terkumpul.
Di saat nyawanya mulai terkumpul ia dikagetkan dengan pintu yang terbuka dan muncullah wanita berpakaian cukup menggoda menurutnya.
Dan dia baru menyadari jika wanita itu istrinya ketika tepat berdiri di depannya dengan membawa sarapan.
“Dari mana?”
“Kan sudah tahu bawa makan, Sayang ya berarti ambil sarapan,”
“Dengan baju sepeti itu?” tanya Clift dengan pandangan menelisik.
“Iya. Orang Cuma ke depan tidak ada siapa-siapa juga. Cuma orang yang mengantar makanan saja,”
“Terserahlah!”
“Mas, cemburu?”
“Ha? Cemburu? Yang benar saja!”
“Kalau cemburu bilang saja, Mas!”
“Tidak!”
“Ya sudah. Istrimu yang cantik ini mengalah saja,” balas Welny dengan terkekeh pelan.
“Narsis!”
“Sudahlah! Ayo sarapan,” ajak Welny sambil mengulurkan tangannya yang berisi sendok makanan ke mulut Clift.
“Nanti, saya mau mandi dulu!”
“Nanti saja, Mas. Makan dulu nanti keburu dingin loh,”
“Lebih baik dingin, daripada saya gerah!”
“Ha, ya sudah sanalah mandi. Nanti kalau makanan habis jangan tanya. Orang istrinya lapar juga . Habis perang sama macan semalam,”
“Kamu mengatai saya macan?”
“Tidak! Tapi kalau merasa ya, alhamdulillah,”
“Terserah kamu saja! Saya mau mandi,” balas Clift sambil mengambil celana boksernya yang tergeletak di samping ranjang.
Welny yang mengetahui suaminya tidak mengenakan apa pun mengalihkan pandangannya dari suaminya itu.
“Bisa tidak sih, kalau pakai celananya sambil pakai selimut,” sungut Welny dengan wajah yang memerah.
Clift tersenyum aneh menatap istrinya yang masih mengalihkan pandangannya, “kamu bilang apa saya tidak dengar?”
“Tidak!”
“Yang benar?”
“Iya sudah ih, sana mandi!”
Clift memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri sedangkan Welny meletakan makanan yang tadi dibawanya ke meja yang tersedia. Ia mengambil ponselnya lalu mendudukkan tubuhnya di sofa.
Setelah hampir setengah jam menunggu sambil memainkan ponsel, Welny bersyukur akhirnya penantian perutnya yang sendari tadi meminta untuk diisi berakhir.
“Mas, sini cepat. Aku sudah lapar.”
“Sabar! Saya belum pakai baju!”
“Jangan lama-lama,”
“Hmmmm....”
“Mas habis ini kita mau ke mana?” tanya Meira sambil menyuapi makan suaminya.
Awalnya Clift menolak suapan Meira, tapi Meira yang kekeh dan beralasan tidak ada sendok lain akhirnya ia mengalah.
“Tidak ke mana-mana. Kita di sini saja, di sini suasananya juga bagus sepertinya.”
“Masa cuma di sini sih, Mas?”
“Kalau kamu mau pergi, ya pergi saja sana sendiri.”
“Ih! Ngeselin!” Meira meletakan piring yang sudah kosong di meja depannya dengan kasar.
Ia berjalan keluar menuju samping Cotage, kemudian menceburkan tubuhnya di kolam renang yang sejak ia sampai di sini sudah menarik perhatiannya.
Ia berenang ke sana-kemari sambil menatap matahari yang perlahan muncul. Dengan cepat ia mengambil ponselnya yang tadi sempat ia bawa dan di letakan di kursi yang tersedia. Ia memotret langit yang sedang sunrise itu. Jujur saja ia memang paling senang jika melihat matahari yang sedang muncul ataupun akan tenggelam.
Tanpa ia sadari seorang lelaki memotretnya diam-diam tanpa ia ketahui, tapi suara jepretan foto mengalihkan pandangannya dengan cepat. Ia tersenyum melihat suaminya yang sepertinya sedang menahan rasa malu.
“Jika mau memotretku bilang-bilang. Biar aku bergaya dulu,” ucap Meira sambil tertawa kecil.
“Siapa yang memotretmu? Orang saya sedang memotret sunrise kok,” kilah Clift sambil berjalan menuju kursi untuk meletakan ponselnya kemudian menceburkan dirinya ke kolam renang.
“Masih mau berkilah, Bung?” tanya Clift dengan tersenyum tipis sambil memperlihatkan ponsel milik Clift yang menampilkan foto dirinya yang di fokus sedangkan langit yang sedikit buram.
Clift tidak membalas ucapan istrinya, ia pura-pura tidak mendengar. Ia mengalihkannya dengan berenang tanpa henti.
Welny yang melihat tidak ada reaksi dari suaminya, ia menceburkan dirinya di kolam renang. Ia memeluk tubuh suaminya dari belakang dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.
Clift merasakan dadanya berdetak cepat saat merasakan tubuhnya dipeluk oleh istrinya. Ia merasakan sedikit berbeda dengan tubuhnya, ada apakah dengan dirinya?
“Jangan tegang begitu, Mas,” ucap Welny sambil terkekeh pelan. Tangannya menyelusup ke dada bidang suaminya.
Clift terdiam sesaat, “entah perasaan apa yang masuk ke hati saya saat kamu memeluk saya. Ada rasa yang sulit saya jelaskan,” ucap Clift sambil mengusap punggung tangan istrinya yang berada di perutnya.
Welny terkekeh, “apa perasaan cinta?”
“Saya tidak tahu ini cinta atau apa. Dada ini berdetak cepat dengan sendirinya, serta ada rasa nyaman pada diri ini,”
Welny membalikkan tubuh Clift untuk menatap dirinya, “aku berharap suatu saat ada rasa yang ada disini,” ia menunjuk dada suaminya. “Walaupun hanya setitik rasa sayang,” lalu mendongak menatap suaminya, “untuk rasa cinta biarkan semua berjalan seiringnya waktu.”
Clift istrinya tanpa kata.
“Jika, Mas tidak menerima aku sebagai istri. Terimalah aku sebagai adik, Mas. Setidaknya aku dianggap ada bukan hanya bayangan yang semu.”
Clift menangkup wajah istrinya, ia melihat tatapan sendu di mata yang berwarna biru bening itu. Walaupun senyum tipis terus terpanti di bibir tipisnya itu. Tangannya mengusap pelan pipi yang baru ia sadari ada lesung di keduanya.
Clift menarik diri dari istrinya, ia duduk di pinggir kolam renang dengan kaki yang ia julurkan di kolam renang. Welny mengikuti istrinya itu, duduk di samping suaminya menatap matahari yang kian beranjak tinggi.
“Selama ini saya hidup sendiri merasakan sebuah kesepian. Walaupun saya mempunyai orang tua angkat, tapi saya merasa hidup sendiri. Karena mereka selalu sibuk dengan anak mereka ketika memiliki seorang anak.” Clift menatap pemandangan di depannya. “Dulu pemikiranku menikah agar tidak kesepian, namun ternyata?” Clift menatap miris. “Yang saya harap orang itu tidak banyak menuntut saya tapi nyatanya?”
Welny menunduk ketika mendengar penuturan suaminya, hatinya seperti tercubit keras. Ia sadar selama ini ia banyak menuntut suaminya, karena kebiasaannya yang selalu dimanja oleh ayahnya dan ternyata terbawa sampai ia menikah.
“Semua terasa berat ketika saya harus menikah dengan wanita yang tidak sesuai dengan harapan saya,” Clift menghentikan ucapannya sebentar. “Tapi mungkin ini cara Allah agar saya mengubah kebiasaanmu menjadi lebih baik lagi.” Clift menatap istrinya yang masih menunduk, “saya berharap kamu bisa mengubah kebiasaan burukmu yang selalu menghambur-hamburkan uang.”
Seketika Welny menatap suaminya yang masih menatapnya.
Clift menatap dalam mata istrinya yang menatapnya seolah tak setuju dengan ucapannya.
“Saya tahu kamu memang memiliki segalanya, apa pun yang kamu butuhkan bisa kamu beli. Tapi tak ingatkah masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita? Kamu tak melihat banyak anak-anak yang tinggal di panti asuhan? Atau bahkan pinggir jalan? Mereka sangat membutuhkan uluran tangan kita. Mereka dengan susah payah mencari apa pun yang bisa mereka jual untuk membeli makanan. Namun apa yang kamu lakukan? Apa kamu menatap mereka?”
Welny menggeleng pelan.
“Hanya satu yang saya inginkan, berubahlah dari gaya hidup kamu yang selalu berbelanja hal-hal yang tidak penting. Berhematlah masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan kita.”
“Terima kasih telah menyadarkan aku, Mas. Aku akan berusaha untuk berhemat, ajari aku untuk berhemat.”
“Semua itu akan berubah berasal dari diri kamu sendiri. Tugas saya hanya mengingatkan jika kamu lalai. Belajarlah dari hal kecil seperti berbelanja kebutuhan rumah misalnya,” Clift mengedipkan sebelah matanya menggoda istrinya.
“Ih, tidak mau!”
“Tuh belum apa-apa sudah tidak mau?”
“Ih... pokoknya jangan tentang rumah! Aku tidak tahu apa-apa!”
“Makanya belajar, Sayang,”
“Eh... bentar-bentar tadi, Mas bilang apa?” tanya Welny sambil mendekatkan telinganya ke mulut istrinya.
“Makanya belajar!”
“Tidak! Tadi masih ada terusannya!”
“Tidak ada!”
“Ada, Mas!”
“Saya bilang tidak ada yang tidak ada!” teriak Clift sambil berjalan masuk ke dalam Cotage karena hawa dingin sudah memasuki tulangnya.
“Mas... tunggu,”
“Apa? Saya mau mandi! Mau mandi bareng?”
“Mau...”
Clift menoyor kepala istrinya, “itu sih keinginan kamu!”
“Mas, tunggu!”
Clift membalikkan badanya cepat sehingga Welny yang tadi berlari kecil menuju suaminya harus mencium dada bidang suaminya.
“Sakit?”
“Iya loh!”
“Siapa suruh lari-lari,”
“Kan mau mandi sama, Mas!”
“Benar mau?”
“Mau!”
“Ya sudah sana masuk!”
Bersambung....