Bab 6 Terbukanya Clift
Bab 6 Terbukanya Clift
Pagi harinya sesuai rencana malam tadi, Clift serta Welny untuk berbulan madu. Sekarang mereka sudah berada di mobil menuju bandara setelah sebelumnya pulang ke rumah di pagi-pagi buta. Dengan di sopiri oleh salah satu pegawai Ayah Welny.
Setelah sampai di Bandara Clift menggeret satu kopernya yang berisi peralatan mereka selama di Labuhan Bajo nanti. Welny berjalan terseok mengejar suaminya yang berjalan dengan langkah lebarnya itu.
“Mas, pelan jalannya!” panggil Welny sambil menarik lengan suaminya agar bisa ia gandeng.
“Kamu saja yang jalannya lambat.”
“Mas itu tinggi! Jadi jalannya cepat, sedangkan aku pendek! Harusnya Mas yang dipelanin jalanannya,”
“Terserah kau saja!” balas Clift sambil mendudukkan tubuhnya di ruang tunggu.
“Mas beli makannya ringan dulu, yuk!” ajak Welny sambil menarik lengan suaminya.
“Nanti di pesawat pasti dapat makanan,”
“Tapi tidak ada makanan ringan, Mas!”
“Saya lelah, Welny, tolong mengertilah. Kau beli sendiri saja sana!”
“Ah tidak jadi kalau begitu,”
“Terserah!”
“Nona, Tuan pesawat sudah siap,” ucap seorang Pria yang berseragam pilot itu.
Keduanya berjalan bersampingan dengan Welny yang melingkarkan tangannya di lengan suaminya.
Setelah sampai di dalam pesawat Clift merebahkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan matanya di sana.
Welny yang melihat kelakuan suaminya, ia mengernyitkan keningnya. Mengulurkan tangannya di kening suaminya, takut-takut suaminya sakit.
“Saya tidak sakit! Hanya butuh istirahat saja,” ucap Clift yang mengetahui apa yang ada di pikiran istrinya itu.
“Ya sudah, Mas istirahat saja. Nanti kalau sudah sampai aku bangunkan,” ucap Welny sambil menarik selimut untuk menutupi tubuhnya dan juga suaminya itu.
“Maaf, Nona, Tuan, sebentar lagi kita sampai di Bandara Manggarai,” ucap wanita yang cukup tinggi menghampiri Clift dan juga Welny yang sedang di dalam kamarnya.
“Ya terima kasih atas pemberitahuannya,”
“Sama-sama, Nona, saya permisi,”
Setelah berjam-jam berada di udara, mereka sampai di Bandara Komodo Airport Nusa Tenggara Timur. Keduanya dijemput oleh suruhan Ayah Welny untuk mengantarkan mereka menuju Contage milik Ayahnya.
Setelah sampai di Contage keduanya mengistirahatkan tubuhnya sebelum menjelajahi wisata Labuhan Bajo esok.
***
Keesokan harinya mereka mengunjungi pantai pasir merah yang letaknya tepat di depan Cotage mereka. Keduanya berjalan beriringan menuju pantai dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.
Setelah sampai di Pantai Welny menghirup udara pagi yang begitu menyejukkan dan menenangkan. Matahari perlahan memunculkan wujudnya di ufuk timur.
Sedangkan Clift memandangi alam di depannya terlihat yang begitu indah dan juga menenangkan. Namun wajahnya datar tanpa ekspresi.
Welny yang melihat suaminya melamun sejak mereka sampai di pantai, ia berjalan menghampiri suaminya.
“Mas,” panggil Welny sambil mengusap punggung suaminya.
Clift memandang sekilas istrinya, “apa?”
“Mas ada masalah? Dari tadi aku lihat, Mas melamun terus,”
Clift hanya diam dengan terus menatap pemandangan di depannya. Deburan ombak begitu menenangkan hatinya.
“Mas kalau mau cerita, aku siap mendengarkan,”
Clift masih saja terdiam seolah tak terusik sama sekali.
“Ya sudah kalau, Mas, tidak mau cerita. Aku tidak papa kok” balas Welny sambil beranjak dari tempatnya.
Tapi belum selangkah kakinya melangkah ia merasakan tangannya di tarik oleh seseorang, yang tak lain adalah suaminya.
“Duduklah, temani saya,” titah Clift sambil menyandarkan kepalanya di pundak istrinya.
“Saya ini bukan siapa-siapa,” lirih Clift memandang sendu air di depannya.
“Maksud, Mas?”
Clift menarik nafas kasar, “saya tidak mengenal orang tua kandung saya. Saya besar di Panti Asuhan sampai di umur sembilan tahun,” Clift memejamkan matanya sebentar. “Orang tua saya itu orang yang tidak bertanggung jawab, mereka meninggalkan saya di Panti sejak umur saya masih balita. Itu yang saya dengan dari Ibu Panti.”
Welny mengusap punggung suaminya lembut.
“Mungkin ada satu alasan yang membuat orang tua, Mas meninggalkan, Mas di Panti.”
“Apa pun alasannya tidak sepantasnya seorang orang tua meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang orang tuanya. Saya iri di saat keluar Panti banyak anak-anak kecil sangat di sayangi oleh orang tuanya. Mereka di manja oleh orang tuanya, sedangkan saya,” Clift menghentikan ucapannya ketika merasakan nyeri di dadanya. “Secuil kasih sayang saja, saya tidak mendapatkan itu,” lanjutnya miris.
Welny tersentuh mendengar cerita suaminya yang begitu menyesakkan, tapi ia senang karena suaminya tanpa sadar sudah terbuka pada dirinya.
“Tapi saya bersyukur, saya mengalami hal itu selama sembilan tahun. Selanjutnya saya mendapatkan kasih sayang dari seorang keluarga yang mengangkatku menjadi seorang anak. Saya mendapatkan kasih sayang itu, walaupun rasanya sedikit berbeda, tapi saya sangat berterima kasih pada keluarga yang membesarkan saya sampai saat ini.”
“Mereka yang menemani kamu saat akad?”
“Ya, mereka yang membesarkan saya dengan limpahan kasih sayang.”
“Sabar, ya semua ada hikmah di balik kisah, Mas. Masih banyak di luar sana yang lebih parah hidupnya. Ada yang bahkan seumur hidupnya tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Mas harus bersyukur setidaknya masih ada yang menyayangi, Mas walaupun hanya orang tua angkat,”
“Terima kasih sudah mau menerima saya,” lirih Clift sambil menatap istrinya dalam.
“Seharusnya, aku yang berterima kasih sama, Mas. Karena, Mas sudah mau menerima aku sampai sekarang ini,”
“Siapa yang menerima kamu?”
“Mas lah! Kalau tidam menerima aku mana mungkin, Mas mau menikahi aku,” seru Welny sambil tertawa.
“Hahaha.... ada-ada saja kamu!” balas Clift sambil menggelitiki pinggang istrinya sehingga membuat Welny berlari menghindari suaminya.
Setelah lelah bermain keduanya kembali menuju cotage milik mereka untuk menghabiskan kisah romantis mereka.
***
Vincent duduk di Sofa ruang keluarga dengan memangku laptop yang menyala untuk memeriksa laporan mingguan kafenya. Sesekali keningnya berkerut saat melihat angka-angka di laptopnya.
“Mas, kopinya,” ucap Meira sambil meletakan secangkir kopi ke atas meja namun karena kekurangannya ia menumpahkan secangkir kopi panas itu di kertas yang tercecer di meja.
“Kamu bisa tidak sih sekali saja tidak membuat saya repot!” teriak Vincent sambil mengangkat kertas-kertas yang masih bisa di selamatkan.
Meira terdiam, tubuhnya bergetar ketika mendengar teriakan suaminya.
“Bisanya hanya merepotkan! Kalau sudah seperti ini mau bagaimana! Ini kertas-kertas penting untuk Cafe saya, Meira!” teriak Vincent geram dengan kelakuan istrinya itu.
“Sudah tahu tidak bisa apa-apa kenapa masih saja cari masalah!” Vincent meletakan laptopnya di samping tubuhnya kemudian menatap tajam istrinya. “Harusnya kamu bersyukur karena saya mau menerima kamu apa adanya! Tapi kenapa kamu malah membuat masalah!”
Meira terdiam seketika dengan tangis yang hampir pecah itu, “maaf, Mas!”
“Maaf saja terus! Sekali lagi kamu berulah tidak segan-segan saya melakukan hal yang selama ini ingin saya lakukan terhadap kamu!”
“Jangan, Mas! Meira mohon,” lirih Meira sambil menyatukan kedua tangannya di depan dadanya.
“Kamu benar-benar mengesalkan, Meira!” teriak Vincent sambil mengangkat tangannya seperti hendak memukul Meira. Namun urung ketika mendengar dering di ponselnya.
Dengan segera Vincent mengambil ponselnya yang berada di sampingnya kemudian menggeser tombol hijau saat melihat nama yang tertera di sana.
“Ada apa?” tanya Vincent setelah menempelkan ponsel di telinganya.
“Ada masalah di Cafe, Pak,” balas seseorang di seberang telepon.
“Saya sendang tidak ingin ke Cafe! Apa kamu tidak bisa mengatasinya!” balas Vincent berang.
“Tidak, Pak! Ini masalah serius,”
“Kenapa di saat seperti ini kamu menganggukku!”
“Maaf, Pak. Ini benar-benar penting,”
“Saya akan ke sana sebentar lagi!”
“Secepatnya ya, Pak!”
“Sebenarnya ada apa! Kenapa kau menyuruh saya buru-buru! Saya ini bos kamu kalau kamu lupa!”
“Maaf, Pak sebelumnya kalau saya seperti menyuruh-nyuruh Bapak. Tapi ini benar-benar penting,”
Vincent ingin berteriak seketika, “saya ke sana sekarang!”
“Baik kami tunggu, Pak,”
Vincent mematikan teleponnya sepihak kemudian membanting ponselnya itu ke sofa.
“Ambilkan saya sepatu, Meira!”
Dengan cepat Meira berjalan menuju tempat rak sepatu yang sudah di hafalnya lalu memberikan sepatu yang di ambilnya kepada suaminya.
Vincent setelah memakai sepatunya ia berjalan keluar rumah menuju kafenya dengan menggunakan mobilnya.
Setelah sampai di Kafenya ia mengernyit bingung saat banyak orang berkumpul di depan kafenya termasuk beberapa polisi di sana.
“Apa yang terjadi?” tanya Vincent pada orang kepercayaannya yang kini berdiri di dalam kafe.
“Telah terjadi kebakaran, Pak,” jawabnya menunduk.
“Apa!”
Bersambung....