Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 08

“Oh ya? Duh, May terima kasih sekali lagi atas pertolongan Bang Salman dan Bang Harun kemarin itu. Jika tak ada orang yang peduli dengan seperti Abang berdua, nggak tau dengan nasib May.”

“Jika pun kami tak ada, pasti Allah akan mengirimkan orang lain buat membela Mpok Maya. Semuanya sudah Allah atur, Mpok Maya. Jadi...”

“Tidak termasuk saya lho, Mpok Maya,” potong Harun. “Hanya dia saja yang kemarin yang sangat peduli. Kalau saya sebenarnya tak mau ikut campur. Biasalah Mpok Maya, naluri kepedulian kekampungannya muncul begitu saja.”

Mendengar ucapan Harun yang terakhir spondan membuat Maya menutut mulutnya dengan tisu, menahan tawa. Kemudian berkata, “Kan Allah menggerakkan Bang Harun dan mengajak untuk mampir di tempat itu. Secara tak langsung, Bang Harun juga sebagai malaikat penolong bagi May.”

“Nah, benar itu, Mpok Maya!” tandas Salman. “Lantas bagaimana kelanjutan hubungan Mpok Maya dengan tuh cowok?”

“Jujur, Bang, sebenarnya May masih sangat sayang dia. Kami telah berhubungan lebih dari dua tahun. Setahu May dia cowok yang setia, tapi ternyata yang seperti itu. Setahun saya tinggal kuliah di Australia, dia gonta-ganti pacar. Itu menurut mata-mata yang saya sewa untuk mengawasi dia, karena memang sebelumnya saya mendapat pemberitahuan dari teman May bahwa pacar saya itu seorang playboy. Ya, ternyata benar. Pengorbanan May selama ini jadi sia-sia, Bang Salman, Bang Harun.”

“Ikut prihatin ya, Mpok May,” ucap Salman. “Mpok harus tetap sabar. Man shabara zhafira, orang yang sabar akan beruntung. Beruntungnya Mpok Maya adalah telah mengetahui siapa cowoknya Mpok itu sebelum benar-benar menjadi suaminya Mpok Maya. Sehingga Allah menghindarkan Mpok Maya dari penderitaan batin yang jauh lebih besar lagi. Jadi—maaf nih Mpok Maya, hanya sekedar berbagi—pengorbanan Mpok Maya tidak akan sia-sia, karena telah Allah ganti dengan sebuah hikmah dan pelajaran yang baik agar Mpok Maya lebih selektif lagi ke depan untuk memilih tambatan hati. Lepaskan dia dengan tangan terbuka, agar Allah memberi pengganti yang jauh lebih bagus dari tangan Mpok yang terbuka itu.”

Terpaku Maya mendengar kalimat yang keluar dari mulut pemuda di depannya. Ia tak menyangka, pemuda kampung itu memiliki pemikiran yang sangat berbobot penuh hikmah.

Bahkan sampai-sampai harun menyeletuk, “Subhanallah. Satu level dengan kalimat bijak dari Aa Gym kudengar.”

Salman langsung menutup wajahnya dengan dua tangannya, menyembunyikan tawa.

Maya pun ikut tersenyum, namun kemudian berkata dengan wajah serius: “Tapi sumpah deh, Bang Salman. Berisi banget kalimatnya barusan. Malah merinding May dengarnya.”

“Oh ya, maaf, Mpok Maya ini kuliah di Australia?” tanya Harun, kemudian.

“Iya, Bang Harun. Pulkam libur semester. Tapi lusa saya sudah kembali ke Australia lagi.”

“Subhanallah, semoga Mpok Maya cepat rampung ya kuliahnya agar bisa segera kembali ke Indonesia,” ucap Salman.

“Aamiin. Terima kasih, Bang Salman, atas doanya.”

“Sama-sama, Mpok...”

“Oh iya, Bang , ini May bawakan sesuatu buat Bang Salman...,” ucap Maya sembari mengambil plastik putih yang berisi sebuah barang berkotah di samping kakinya. “Semoga Bang Salman dan Bang Harun tak keberatan. Ini murni sebagai hadiah dari saya karena Bang Salman telah menolong saya tanpa pamrih.”

“Apa ini, Mpok Maya...?” tanya Salman seperti wajah kebingungan.

“Hanya sebuah hape, Bang Salman. Biar juga jika May ingin curhat dengan Bang salman maupun Bang Harun jadi gampang.”

Salman tak mampu menyembunyikan kekagetannya. Tentu diberi barang yang mewah seperti itu tak pernah terpikirkan olehnya. Barang yang hanya orang-orang tertentu saja yang mampu memilikinya. “Wah, apa tak berlebihan ini, Mpk Maya? Pasti sangat mahal ini.”

“Tak kok, Bang Salman. Kan untuk kepentingan May juga suatu saat, jika May ingin curhat dengan Abang berdua,” sahut Maya.

“Ya...kalau begitu saya terima ya, Mpok Maya. Dan saya mengucapkan banyak terima kasih.”

“Ya, sama-sama, Bang. Sekalian saya mau pamit kepada Abang berdua, karena lusa saya akan terbang ke Australia. Doakan ya, Bang Salman, Bang Harun, penerbangan saya nyaman sampai tujuan.”

“Pastinya Mpok May. Insya Allah, perjalanan Mpok Maya akan nyaman sampai tujuan. Amin Allahumma amin.”

“Amin Allahumma amin.”

* * *

Salman baru pulang sholat ashar dari masjid komplek ketika sebuah suara menyapanya. Ia berpaling, ternyata ibu-ibu muda yang rumahnya di seberang gang.

“Maaf, Ibu berbicara dengan saya?” tanya Salman, sopan.

"Iya, Dik,” sahut wanita itu sambil tersenyum. ”Adik saudaranya Bang Hero?"

Wanita yang ternyata memiliki wajah yang cukup cantik itu mengenakan pakaian rumah biasa sejenis daster dari bahan batik bermotif mega-mendung. Usianya mungkin sekitar tiga puluhan tahun.

“Iya, Bu, kami saudara sekampung.”

“Dari mana? Dari Sumbawa, ya?”

“Iya, Bu. Tepatnya dari Bima.”

“Oh gitu? Sumbawa dengan Bima itu beda ya, Dik?”

Wah, Salman dibuat bingung sesaat oleh pertanyaan itu. “Sebenarnya sih nggak, Bu. Sumbawa itu nama pulau di mana Kabupaten Bima berada. Tetapi di situ juga ada kabupaten yang namanya sama dengan pulaunya, yaitu Kabupaten Sumbawa. Orang Bima dan Orang Sumbawa, eh maksudnya, orang Kabupaten Sumbawa itu berbeda suku dan bahasanya.”

“Oh seperti itu. Maaf, nama Adik siapa?”

“Saya Salman, Bu.”

“Oh iya, Dik Salman. Saya Yosiana. Panggil saya Mbak Yosi saja.”

“Iya, Mbak Yosi. Terima kasih. Asli Jakarta juga?”

“Bukan, saya dari Semarang, Dik Salman. Saya juga belum lama di sini. Baru satu tahunan.”

“Oh iya….” Hanya itu yang diucapkan oleh Salman. Dia bingung mau bicara apa lagi.

"Baik, Dik Salaman, saya tinggal dulu, mau ke belakang."

"Oh, iya, Mbak, silakan...!"

Salman berada di Jakarta sudah dua minggu. Seingatnya, ia baru mengenal dua orang, yaitu Mbak Yosi itu dan Mpok Maya. Baru cewek semua. Ckckckk.

Tiba-tiba ia menjadi teringat dengan Maya. Bagaimana kabar gadis itu? Sejak berkunjung ke rumah Harun waktu itu, ia belum pernah menghubunginya lagi. Mungkin ia sedang sebuk dengan kuliahnya? Atau bisa juga sudah tak ingat lagi kepada dia dan Harun? Pikirnya. Tapi tak mengapa, toh antara gadis itu dengan mereka berdua tak punya hubungan apa-apa.

Halnya Mbak Yosi, setelah perkenalan sesaat itu, wanita itu selalu menyapanya dengan ramah jika kebetulan bersua atau melihanya lewat pas pergi atau pulang dari masjid komplek. Jujur, Salman agak terobati juga rasa sepinya oleh keberadaan wanita yang memiliki wajah cukup cantik dengan kulit kuning langsat yang terawat itu. Tetapi selama ini ia tak sekalipun melihat wajah suami dari wanita itu. Apakah dia janda?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel