PART 09
Sore hari saat ia duduk di kursi di bawah pohon mangga di halaman depan rumah, lagi-lagi Mbak Yosi kembali menjadi pusat perhatian Salman. Tapi saat itu ibu muda itu sedang sibuk dengan pekerjaan rumahnya, keluar masuk, menjemur cuciannya, sehingga ia tidak menyadari ada Salman pelan-pelan memperhatikannya, mencuri-curi pandang. Sampai akhirnya wanita itu menghilang dari balik pintu rumahnya, dan menutup pintu rumahnya.
Salman menghela napasnya, seolah-olah persembahan pemandangan indah yang dapat ia saksikan di komplek yang lengang itu tak ada lagi. Namun ketika ia menyadari pikirannya yang keliru, dengan cepat ia mengusap wajahnya sembari beristighfar. “Astaghfirullah halazdiim..!”
Karena tak ada lagi sesuatu hal yang bisa dilakukannya, Salman pun masuk ke dalam rumah, mengunci pintunya. Ia langsung menuju ke kamarnya, tiduran. Ia tidak menghidupkan AC kamarnya, tapi lebih memilih membiarkan udara luar melalui jendela yang dia buka. Namun baru saja ia hendak merebahkan tubuhnya di atas kasur, telinganya mendengar suara deru mesin mobil di luar rumah. Mobilnya Harun. Sesaat kemudian terdengar ketukan di pintu bersamaan dengan suara Harun memanggil namanya.
Salman langsung langsung meloncat turun dan keluar untuk membukakan pintu Harun.
"Kamu tidur?" tanya Harun ketika melihat Salman hanya mengenakan sarung. "Sorry ya, ganggu?"
“Nggak tidur kok, hanya tidur-tiduran. Baru saja juga masuk.”
“Pasti tadi kau ngobrol dengan tetangga yang bahenol itu, kan?” goda Harus sambil mesem.
“Nggak ngobrol, aku hanya curi-curi lihat doang tadi pas dia lagi sibuk di depan, menjemur cuciannya,” sahut Salman.
Keduanya pun langsung tertawa.
Harun memberikan tas plastik yang bertulisakan nama sebuah pusat perbelanjaan.
“Apa ini?” tanya Salman sembari mengeluarkan isi tas, yang ternyata adalah selembar celana blue jean’s dan selembar baju kaos yang berkerah. “Astaga, terima kasih banyak Lenga. Duh, aku jadi nggak enak hati. Mana selama ini kamu sudah menjamin kebutuhan aku.”
Harun tersenyum, “Santai saja, Lenga. Kebetulan tadi ada dapat sedikit rejeki.”
“Wah, kau Lenga, baik sekali. Apakah aku mampu membalas kebaikanmu yang keterlaluan seperti ini, Lenga?”
“Kau yang keterlaluan mujinya,” ucap Harun sembari tertawa. “Balasan yang tepat buat aku adalah, kau harus benar-benar bertekad untuk mengubah hidup mu di kota metropolitan yang keras ini, Lenga. Sekiranya itu baik dan halal, lakukan saja. Jangan ragu-ragu, sikat! Hidup di Jakarta ini, ragu-ragu terkadang bisa membunuhmu, Lenga.” Harun mengakhirnya dengan kedipan sebelah matanya.
“Ya, ya, aku paham yang kaumaksudkan, lenga. Terima kasih.”
“Hm...!” Harun menepuk bahu Salman lalu lanjut melangkah ke dalam kamarnya.
Keesokan harinya, pakaian baru itu dipakainya untuk berkunjung ke tempat sempupunya, Jufri, di Kebon Jeruk, dan ke kontrakan Paman Burhan di Petamburan. Ia diantar oleh Rudi, temannya Harun. Tapi ia tak bertemu dengan Jufri. Pintu kontrakannya terkunci.
Kata tetangga kontrakannya, Jufri sudah beberapa hari tak kelihatan. “Mungkin dia lagi ke Bandung, Bang. Ke tempat calonnya?”
Salman hanya manggut-manggut. “Ya sudah, Bu. Saya permisi balik saja. Ntar kalau dia pulang, tolong bilang saja saya datang menjenguknya. Nama saya Salman.”
“Oh iya, Bang, ntar akan saya sampaikan.”
“Terimakasih ya, Bu. Mari.”
“Ya, mari.”
Dari kontrakannya Jufri ia meminta kepada Rudi untuk mengantarnya ke rumah pamannya di daerah Petamburan. Kebetulan hari itu Paman Burhan sedang cuti kerja. Kepada Paman Burhan dan Bibi Kalsum Salman mengatakan bahwa saat ini ia menumpang di rumah temannya di Kampung Melayu, dengan alasan karena lebih dekat dengan perusahaan tempat ia melamar pekerjaan. Atas alasannya itu, Paman Burhan dan Bibi Kalsum pun tidak keberatan.
“Ya tak masalah, Nak. Tapi kamu harus sering-sering kemari, Man. Umpama ada masalah apa-apa, segera beritahu Paman dan Bibimu,” pesan Paman Burhan.
“Iya Paman, pasti.”
Sesampai kembali di rumah, Harun langsung bertanya, “Gimana keadaan Pamanmu sekeluarga?
“Alhamdulillah, keadaan mereka baik. Kebetulan Paman Burhan lagi cuti kerja.”
“Syukurlah. Suatu saat nanti, kita berdua bersilaturahim kepada mereka, ya?”
“Baiklah, Lenga.”
Malam hari Harun mengajak Salman jalan-jalan berkeliling di beberapa daerah di Jakarta Timur, hingga terakhir mampir ke kontrakan salah seorang temannya yang bernama Tomy di daerah Cipinang. Pemuda seusia Harun itu menerima mereka di halaman depan kontrakannya.
“Kok lama lu tibanya?”
"Sorry, Bro. Gua tadi mampir dulu ke beberapa tempat sembari membawa berkeliling teman gue nih. Oh ya kenalkan, namanya Salman. Tadi gua dari kampung.”
Tomy melempar senyum ramah kepada Salman seraya mengulurkan tangannya, dan memperkenalkan namanya. "Gua Tomy."
"Salman."
"Sudah lama di Jakarta?”
“Belum sebulan.”
“Oh, selamat datang ya di Jakarta.”
“Terima kasih...!”
“Tadi sore diantar oleh Rudi ke tempat sepupu dan pamannya Kebon Jeruk, diantar oleh Rudi,” jelas Harun.
“Trus rudinya sekarang di mana?”
“Balik ke kontrakannya. Katanya mau langsung ke Bekasi, ke rumah Omnya.”
“Hm,” sahut Tomy dan tersenyum pada Salman. Maaf, dalam rangka apa ke Jakarta? Kerja?"
"Ya…lebih kurang seperti itu.”
"Mudah-mudahan cepat dapat kerjanya, ya?”
“Amin Alahumma amin.”
“Dulu kuliah?”
"Oh, tidak. Hanya tamatan Aliyah."
“Oh, berarti kita sama...”
“Emangnya lu dulu tamatan madrasah aliyah?” tanya Harun.
“Ah nggak, gue SMA. Maksud gue sederajat, gitu.”
“Oh kukira. Agak kaget juga gue barusan dengarnya,” seloroh Harun.
Ketiganya langsung tertawa.
“Mau mengaku tamatan aliyah secara mati-matian pun gue ini kagak bakalan ada yang percaya, kecuali orang stres. Tampang saja kek bahjing loncat gini.”
Ketawa ketiganya pun langsung pecah
Tomy adalah tipe pemuda yang ramah dan pandai melontarkan kelakaran-kelakaran segar yang membuat pendengarnya tertawa, termasuk Salman. Salman tahu bahwa Tomy berusaha untuk mengakrabinya juga.
Setelah itu mereka bertiga terlibat dengan obrolan yang rada-rada serius tentang berbagai hal. Namun tetap saja sekali-sekali diselingi dengan candaan dan tawa Tomy dan Harun. Tak butuh waktu lama Salman pun bisa menyesuaikan diri dengan candaan-candaan keduanya. Keakraban pun mulai terjalin.
Saat keduanya akan pulang, Tomy menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat yang cukup tebal kepada Harun. Salman tak tahu isinya apa, namun saat sampai di rumah Harun memberinya beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribuan rupiah.
“Uang apa nih, Lenga?”
“Uang Rupiah, gitu,” canda Harun. “Terimalah, mumpung ada.”
“Terima kasih, Lenga. Wah, mantap rezekimu, Lenga. Ini pasti hasil makelaran?”
“Benar. Ada lahan orang yang dijual, cukup luas, trus kami carikan pembelinya. Sebenarnya lumayan besar, tapi karena sudah dibagi-bagi untuk sepuluhan orang, ya tinggal segini bagian maisng-masing.” Harun memasang sebatang rokok kretek filternya dan menyulutnya.
“Alhamdulillah wasyukurillah, Lenga.”
“Tentu, Lenga. Berapa pun rezeki itu wajib disyukuri. Namanya kerja ginian, seperti pemancing, kadang dapat ikan besar dan kadang dapat yang sedangan, dan kadang dapat yang kecil. Tapi kan tetap namanya ikan atau rezeki.”
Salman manggut-manggut. “Tapi pernah nggak dapat yang besar?”
“Alhamdulillah, pernah. Setahun yang lalu, kebetulan makelarin lahan untuk sebuah perkantoran. Tempatnya strategis dan harga lahannya pas tinggi juga. Dan makelarnya hanya berempat orang. Kami dapatkan lebih dari satu milyar. Masing-masing hampir empat ratus juta. Uang itu sebagian saya simpan, sebagian saya belim mobil second hand itu, dan sebagian untuk membeli tanah sawah di kampung.”
“Waw, subhanallah. Kau luar biasa, Lenga.”
“Kerja yang ginian ini kunci utamanya hanya dua, Lenga. Pertama rajin berkeliling, dan punya banyak kenalan dan sahabat. Dari kedua hal itu insya Allah, pintu rezeki itu ada,”
Salman manggut-manggut dan menyerapi setiap ucapai Harun.
* * *
