Pustaka
Bahasa Indonesia

PERJUANGAN CINTA

58.0K · Tamat
Emde Mallaow
55
Bab
176
View
9.0
Rating

Ringkasan

“Sebenarnya, hal utama yang membuat aku tidak bisa bergeming dengan godaannya Tantri semalam adalah bayangan wajah Imah yang tiba-tiba muncul. Aku berusaha untuk tetap menjaga hatiku, menjaga cintaku, tidak akan pernah menghianati cinta dia dengan tidak memberikan ruang hatiku kepada wanita lain,” ucap Salman kemudian, serius. “Imah? Bukankah dia sudah meninggalkanmu dan menikah dengan laki-laki lain?” tanya Harun. “Iya memang. Tetapi ia pergi meninggalkan aku bukan berarti ia meninggalkan hati aku. Dia menikah dengan laki-laki lain bukan berarti dia tidak mencintai aku lagi. Aku yakin, Run, cinta kami tidak akan pernah bergeser sedikit pun. Secara lahiriah dia memang sudah bersama laki-laki lain, tapi batin dan hati kami tidak pernah berpisah. Sampai kapan pun cintaku tetap kokoh untuknya. Cinta kami tetap sekokoh Gunung Sangeang!” Harun memandang di kedalaman hatinya Salman lewat wajahnya. Ia pun manggut-manggut. “Perkara cinta adalah urusan hati. Cinta tidak akan pernah bisa mati, hanya tersimpan rapi. Cinta itu seumpama bibit pohon, dia bisa mengering, tapi tak mati, hanya berdormansi, namun jika disemai dan disirim ia akan berkecambah dan tumbuh. Cinta membuat kita bisa terbunuh, tapi juga membuat kita hidup. Cinta juga mampu membuat kita untuk menjadi apa pun. Kamu pernah ditinggalkan oleh sang cinta, aku juga demikian. Jadi aku bisa merasakan dan tau apa itu cinta. Hanya bedanya, Imah meninggalkan kamu bukan atas kehendaknya sendiri, sementara aku ditinggalkan oleh karena yang dia kejar jauh lebih dari aku dalam segala hal. Jadi, kita mengalami kasus cinta yang sama, tapi dengan penyebab yang berbeda.”

RomansaBillionairePernikahanCLBK

PART 01

TERMINAL Bis Pulogadung, Jakarta Timur, Maret 2000.

Bis P.O Jakarta Indah yang membawanya dari Bima, masuk ke dalam terminal tepat pukul 09.00 WIB. Entah bis sampainya lebih cepat ataukah lebih lambat, Salman tak tahu. Sebab baru sekarang ia datang ke Ibukota.

“Alhamdulillah, sampai juga di Jakarta,” desahnya, seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri.

Tak banyak bagasi yang dibawanya selain dari satu ransel hijau kusam bekas pakai TNI yang berisi pakaian, ijazah, dan surat-surat penting miliknya. Jadi tidak terlalu repot dengan barang bawaan yang banyak seperti para penumpang lainnya.

Saat turun dari bis, udara panas Kota Jakarta langsung menyambutnya. Namun dirasakannya masih lebih panas temperatur Kota Bima. Ya iyalah. Bahkan menurut suatu survey, Kota Bima adalah kota yang menempati peringkat teratas sebagai kota dengan suhu terpanas se-Indonesia Raya.

Beberapa laki-laki menghampirinya dan langsung menawarkan jasa untuk mengantarkannya ke tempat tujuan.

“Taksi, Bang? Ke mana?”

Salman memberi isyarat dengan melambaikan tangan kirinya.

“Atau ngojeg, Bang? Mari...!”

“Tidak, Bang, ada yang menjemput,” jawab Salman, pendek.

Tanpa berkomentar, para penawar jasa angkutan itu pun meninggalkannya. Sejak masih di Bima ia memang sudah janjian dengan seorang sahabatnya yang bernama Harun melalui telepon rumah tetangganya. Harun akan menjemputnya di terminal ini. Harun juga memberinya alamat.

Salman al Farisi, pemuda berusia dua puluh tahun. Ia datang ke Jakarta dalam rangka merantau untuk mengadu nasib, sebagaimana kebanyakan orang yang datang ke ibukota negara ini. Ia memiliki wajah tergolong tampan dengan hidung yang terbilang mancung, dagu sedikit membelah, serta memiliki kulitnya kuning langsat. Perawakannya kekar dengan tinggi hampir mencapai 180 cm dan berat lebih kurang 70 kg.

Sebuah postur yang lebih ideal bagi seorang pemuda yang baru tamatan Madrasah Aliyah. Tubuhnya yang kekar itu berkat kegigihannya dalam berlatih fisik secara mandiri di rumahnya, di samping memang dia mendalami beberapa aliran seni beladiri, termasuk beladiri Muay Thai. Namun yang paling ia dalami adalah seni beladiri Karateka dan Pencak Silat. Ia tercatat sebagai mantan murid sebuah padepokan pencak silat di Kota Bima dan telah menyandang sabuk/selendang kependekaran.

Salman memutuskan untuk keluar dari areal terminal dan menunggu Harun di trotoar di di samping pintu masuk terminal. Sembari menunggu Harun, ia manfaatkan untuk mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru Ibukota. Terlihat demikian banyak gedung-gedung pencakar langit, seperti yang sering dilihatnya dalam televisi. Lalu di mana-mana manusia bergerak dengan tujuan dan berbagai kesibukannya masing-masing. Wajah mereka tak ada yang tak terlihat serius. Wajah ibukota yang sesungguhnya.

Ia langsung teringat dengan nasihat-nasihat yang diberikan oleh beberapa temannya di kampung sebelum ia berangkat ke Jakarta. Dan nasihat-nasihat itu menurut pengalaman mereka masing-masing karena pernah merasakan hidup dan berjuang mempertahankan hidupnya di kota ini.

“Ma ati-ati mori ro rewomu aka Jakarta Lengae. Aka ‘dei wara sara’a, ma taho ro ma iha. Nikina manusia fou ‘diru’u ma ndai menana, peampu ‘diru’u dou. Aina ipi ese ro ainja ipi ‘bawa walimu. Biasa ndedempa. Ma pentire karawi kataho, fou ‘diru’u masa depan ndaimu. Aka ‘dei hi’di dou-dou ma karawi, wati wara hi’di dou-dou ma ‘daju. Ma ‘dajusi, ya made!” nasihat sahabatnya yang bernama Amir. Dia pernah merantau di Jakarta selama dua tahun, dan harus menyerah karena hanya bermodalkan ijazah SMP. (Terjemahan bebas nasihat itu adalah: “Yang hati-hati hidup dan bergaul di Jakarta. Di sana semuanya ada, yang baik maupun yang tak baik. Setiap manusia mengejar untuk kepentingannya sendiri dulu, nanti untuk urusan orang lain. Jangan terlalu tinggi, dan jangan juga terlalu merendah. Yang biasa saja. Yang penting bekerja dengan baik, kejar untuk masa depanmu. Di sana tempatnya orang-orang yang bekerja, tak ada tempat bagi kaum pemalas. Jika malas, mati!”).

Lalu nasihat dari sahabatnya yang lain yang bernama Bang Husni. “Intinare, tergantung sungguh ta ndai mena. Ru’u taho ro ru’u ihare wa’ura wara ‘dei ndai mena. Tahosi pembawaan ndai, de taho walira diru’u, ihasi pembawa’a pasti iha ‘diru’u. Ma paling pentire, aina wi’i sambea.” Bang Husni ini adalah mantan kakak kelasnya waktu di Madrasah Aliyah dan sambil mondok juga. (Arti bebas nasihatnya adalah: “Intinya itu, tergantung sungguh pada diri sendiri. Nasib baik dan nasib buruk itu sudah ada dalam pribadi masing-masing. Baik pembawaan kita, maka baik juga nasib kita, buruk pembawaan kita, maka buruk juga naisb kita. Yang paling penting itu, jangan pernah tinggalkan sholat”).

Salman melapnya keringat yang membasahi wajahnya dengan menggunakan topi beanie hitam yang dipakainya. Saat ia membebaskan wajahnya dari topi beanie-nya, dari arah depan sana seorang pria melambaikan tangan kepadanya. Pria itu bertubuh kekar, mengenakan stelan jean’s hitam.

Ia adalah Harun, sahabat lama yang ditunggunya. Perasaan Salman lega sekali. Ia membalas lambaian tangan Harun sambil tersenyum sumringah.

“Ndende ngena?” tanya Harun (“Lama menunggu?”)

“Wara sa jam ambin. Pala wati raka iu,” jawab Salma (“Sudah satu jam mungkin, tapi tak terasa?”)

“Ala lengae, mboto-mboto kangapu. Tapa ma macet. Biasalah, Jakarta. Hahahaha.” (“Duhai Sahabat, saya minta maaf. Tertahan oleh macet. Bialah, Jakarta. Hahaha”).

“Tak mengapa, Lenga. Aku sudah pahamlah itu, hahaha,” ujar Salma dan tertawa senang.

“Terima kasih, Bela. Tadi aku nyaris tak mengenalmu. Wujudmu sekarang telah berubah seratus delapan puluh derajat. Kekar dan tinggi kau sekarang. Ckckckck.”

“Sama. Kau juga demikian, Lenga.”

Kedua sahabat itu pun tertawa lalu berpelukan erat disertai tertawa senang sebagai tanda pertemuan kembali setelah cukup lama tak bertemu. Dunia seoakan-akan menjadi milik berdua saat itu. Nyaris separo trotoar mereka kuasai, sehingga para pejalan kaki terpaksa berjalan menghindar dengan sedikiti wajah menoleh tak senang.

Harun mengajak Salman untuk ke areal parkir di mana mobil Escudo hitamnya diparkir. Pelan-pelan Salman mengagumi pencapaian Harun di Jakarta. Di kampungnya sana, yang bekerja di luar negeri pun belum ada yang mampu membeli mobil pribadi semewah yang dimiliki oleh Harun ini. Paling banter hanya mobil pick up atau truk. Itu pun bekas pakai. Benar-benar hebat Harun ini!

Harun tidak langsung membawa Salman ke kediamannya, tetapi mengajaknya untuk mampir di sebuah Mall di Kawasan Matraman Raya. Di tempat itu keduanya berbelanja pakaian. Harun membelikan Salman satu stel celana dan jaket jean’s hitam dan beberapa lembar baju kaos berkerah dan tak berkerah.

Begitu mudahnya Harun membayar semua pakaian itu. Padahal harga yang tertera pada label tiap pakaian itu hangatlah mahal bagi Salman. Untuk satu stelah celana dan jaket jean’s melebihi tiket bis malam Bima-Jakarta!

“Pakaian-pakaian ini terlalu mahal buat aku, Lenga,” ucap Salman dengan wajah menyiratkan perasaan tak enaknya.

“Santai saja, Lenga. Ukuran Jakarta itu biasa saja. Kita hidup di Kota Metropolitan ya setidaknya kita harus mengikuti trend Metropolitan,” sahut Harun sambil tersenyum.

“Tapi ya, apa tak ada yang lebih murah lagi?”