PART 02
Harun malah dibuat tertawa. “Jika kelak kausudah berhasil, maka kauharus membeli yang jauh lebih mahal dari ini, Lenga. Tapi untuk ukuran kita, ya cukuplah ini dulu. Ok, sekarang coba dicoba dulu di kamar pas situ.”
“I-iya, Lenga. Terima kasih.”
“Santai saja.”
Tak lama kemudian Salman membuka gorden penutup, dan keluar.
“Gimana? Pas?”
“Pas, Lenga...!”
“Ok, sekarang kita langsung ke kasir.”
Dari kasir, Harun langsung mengajak Salman untuk makan siang di restoran yang ada dalam mall tersebut.
Lagi-lagi jidat Salman dibuat berkeringat oleh harga berbagai makanan dalam daftar menu. Ia pun terpaksa mencopoto topi beanie hitamnya dan menggunakannya untuk melap keringat di wajahnya. Harun dibuat mesam-mesem oleh perilakunya itu.
“Bagaimana keadaan kampung kita sekarang, Lenga?” bertanya harun, kemudian, sembari memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
“Alhamdulillah semuanya baik, Lenga, walau keadaan ya tak banyak berubah seperti dulu, seperti kampungku,” Jawab Salman tanpa melihat wajah lawan bicaranya, karena saat itu pun ia sedang sibuk dengan makanannya. “Tetapi kampungmu jauh lebih banyak perubahannya, karena pemuda desanya yang merantau rata-rata sukses di negeri orang. Ya…macam kaulah.”
Harun tertawa. “Kalau aku belum bisa dikatakan sukses, Lenga. Belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka yang merantau ke luar negeri, seperti yang ke Jepang, Korea, Taiwan, dan lain-lain.”
“Kau sudah punya mobil mewah pun masih juga bilang belum sukses? Lalu sukses itu yang seperti apa? Anak-anak kampungku yang merantau ke luar negeri pun belum ada yang mampu beli mobil semahal milikmu itu. Paling banter baru mobil pick up dan sejenis itulah.”
“Kan penanda kesuksesan itu tidak harus dengan membeli mobil mewah kan, Lenga? Mungkin mereka, ya, lebih memilih untuk menyimpan dulu uang, dipakai beli tanah mungkin, dan lain-lainnya. Lagi pula, mobilku itu hanya mobil second, Lenga. Tapi masih sangat lumayanlah. Jika kelak nasibmu lebih bagus dari aku, tentu kau pun bisa membeli yang jauh lebih mewah dari itu.”
“Aamiin, amin Allahumma amin.”
Sesaat keduanya terdiam dan menikmati makanannya. Kemudian Salman bercerita lagi.
“Aku sebenarnya awalnya ingin mencari peruntungan di salah satu negara yang kausebutkan barusan. Tapi karena banyak kendala, terutama biaya, aku pun akhirnya mengurungkan niat, lalu memilih ke Jakarta ini. Kupikir, nasib baik bisa kita dapatkan di mana pun tempat, yang penting kita gigih untuk berjuang buat meraih perubahan hidup.”
“Benar Lenga, aku setuju!”
Harun al Rasyid sebenarnya adalah mantan kakak kelas Salman waktu di MTs di Kota Bima. Saat Harun duduk di kelas tiga Salman baru duduk di kelas dua. Karena kost di tempat yang sama, jadi mereka akrab. Desa mereka pun bertetangga. Namun sejak tamat MTs, Salman hanya sekali-sekali bertemu dengan sahabatnya yang akrab dipanggil Hero ini, karena mereka melanjutkan ke sekolah yang berbeda. Dia melanjutkan ke Madrasah Aliyah, sementara Harun atau Hero ke SMA. (Hero adalah lia atau panggilan penghormatan bagi orang yang bernama Harun, Haris, Heru, atau Heri, seperti juga misalnya panggilan Leo bagi orang yang bernama Syahlan, Dahlan, Ilyas, Ruslan, dan Ruslin, dan Muslim, atau panggilan Teo bagi orang yang bernama Muhtar).
“Tak terasa waktu berlalu ya, Lenga? Kita tak pernah bertemu sudah hampir lima tahun mungkin?” ucap Salman.
“Benar Lenga. Dulu aku SMA di Bima tak sampai kelas dua, lalu pindah ke SMA di Jakarta ini, karena diajak paman saya. Oh ya, dulu posturmu kecil tinggi kurus, tapi sekarang…hm, hm, kok bisa tinggi kekar begini, ya? Tapi untuk wajahmu tak jauh berubah, masih baby face seperti dulu. Jadi aku tidak begitu pangling pas melihatmu tadi!”
Salman tertawa ringan mendengar ucapan Harun. “Dulu perawakanmu juga kecil ceking, tapi sekarang posturmu juga tegap dan kekar. Nyaris tak kenal aku barusan.”
Harun hanya mesam-mesem. “Dulu, waktu aku pergi, di Bima pas lagi musim ndempa. Terutama itu di wilayah Bima selatan seperti Ngali, Renda, Ncera, Monta, Monta Dalam, dan lain-lain.” [Ndempa bentuk perang tradisional antarkampung dalam masyarakat adat Bima, yang biasanya diadakan seusai musim panen padi].
“Oh, kalau itu sih masih terus terjadi,” sahut Salman. “Hanya saja di beberapa wilayah ndempa sudah ditiadakan. Tradisi lama sudah mulai ditinggalkan sedikit demi sedikit oleh generasi yang sekarang.”
“Iya, benar. Karena anak muda zaman kini kan lebih asyik dengan video game atau play station itu.”
Setelah makan dan membayarnya di kasir, Harun langsung mengajak Salman keluar dari mall itu. Saat keduanya berjalan di parking area mall tersebut, langkah kaki mereka terhentikan oleh percekcokan sengit antara seorang pemuda dan seorang gadis. Mungkin mereka sepasang kekasih, tapi cowoknya berselingkuh dengan gadis yang menunggu dalam mobil yang pintunya dibiarkan terbuka.
Sebenarnya Harun berusaha menarik tangan Salman agar terus berjalan menuju mobilya terparkir, namun karena melihat perilaku si cowok mulai bertindak kasar kepada si cewek, membuat langkah kaki Salman jadi berat.
“Aina lu’u kai rawi dou. Ndai wati ‘bade au masa’alana,” ucap Harun setengah berbisik. (“Jangan mencampuri urusan orang. Kita tak tahu masalahnya apa”).
Salman mengangguk dan melanjutkan langkah, mengikuti Harun. Namun...
Plakk...!! Plakk...!!
“Auw...!!”
Suara dua tamparan keras tangan kekar si cowok spontan membuat Salman menoleh dan menghentikan langkahnya. Ia melihat si cewek yang ditampar oleh si cowok langsung jatuh terjengkang ke belakang sambil memekik kesakitan.
“Gue sudah bilang ma lu, nggak usah berharap gue lagi! Dan lu tak usah lagi mengganggu cewek baru gue!” damprat si coowok.
“Dasar lu cowok bajingan memang. Habis manis sepah dibuang! Lu boleh bersama cewek mana pun yang lu mau, tapi kembalikan dulu semua yang gue kasih ke lu. Termasuk mobil itu! Gue kagak rela mobil gue ditumpangi oleh cewek murahan kayak dia!” lawan si cewek tanpa sedikit pun terlihat takut di wajahnya.
“Apa lu bilang? Mobil lu? Woe, cewek norak, lu lupa kalau BPKB mobil ini atas nama gue?” ejek si cowok sembari mendorong kuat jidat si cewek dengan cukup kuat.
“Benar-benar cowok bajingan yang tak tahu diri lu!” teriak si cewek.
“Apa lu bilang....!” Si cowok bertanya sembari tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi dan akan menampar lagi wajah si cewek.
Namun sebelum tangan kekar berbulunya dibenturkan pada wajah si cewek, si cowok merasakan tangannya begitu berat dan tercengkeram dengan kuat dari arah belakang.
Saat ia menoleh, wajahnya nyaris bersentuhan dengan wajah seorang pria dan berkata kepadanya, “He, bad boy! Kautelah menyalahgunakan body kekarmu buat menyiksa seorang wanita. Itu kesalahan fatal!”
Si cowok sangat kaget dan berang disebut oleh si pemuda asing, yang tak lain adalah Salman, dengan bad boy. “Yeaaah ada Tarsan kampung yang mau jadi pahlawan rupanya! Heh apa urusan lu ikut campur urusan gue hah! Enyah lu!” ucap si cowok dengan geram sembari berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Salman. Tetapi tangannya itu tak lepas, seolah-olah sedang dicengkeram oleh sebuah robot baja. Tak bergeming.
“Apa sih Lu! Lepas nggak tangan gua!”
“Nggak!” bentak Salman. “Kaubilang apa urusanku ikut campur? Heh, dungu! Jelas menjadi urusan laki-laki jika melihat seorang wanita dizalimi oleh laki-laki banci seperti kau! Kau pun tak punya hak untuk menyiksa anak gadis orang seperti ini!” Habis berkata demikian, ia langsung melepaskan cengkeramannya di pergelangan tangan si cowok sembari mendorongnya dengan kuat yang membuat cowok itu nyaris jatuh terjengkang ke belakang.
