Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 03

Mungkin karena tak mau kehilangan muka di depan cewek barunya, cowok itu begitu marah dan mengeluarkan kalimat kasar kepada Salman sembari menyerangnya dengan mengiblatkan sebuah pukulan ke depan.

Dan tanpa ia duga, tapak kaki kanan si pemuda asing dengan sangat cepat, keras, dan beruntun menyambutnya dan mendarat tepat di bagian dada dan lehernya dan membuatnya terlempar ke belakang. Beberapa orang security yang bekerja di tempat itu langsung berdatangan dan melerai pertarungan singkat dan tak seimbang itu.

“Ada apa, Bang?” tanya salah seorang security.

“Abang itu hanya membela si Mpoknya itu yang disiksa oleh si cowok banci itu...!”

Itu yang menjawab santai adalah Harun.

“Ooh...!” ucap si security yang mulanya hendak membantu si cowok zalim untuk bangun. Ia langsung melepaskan tangannya dan berkata tegas, “Tolong Anda segera pergi dari tempat ini, sebelum kami mengontak pos polisi terdekat!”

Cowok zalim itu tak berani membantah dan langsung bangkit. Saat berjalan dan masuk ke dalam mobilnya, ia terus menatap tajam ke arah sembari menggerutu tak jelas. Salman hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng pelan.

“Mbak tak apa-apa...?” tanya Salman kepada cewek yang terzalimi.

“Tak apa-apa, Bang. Terima kasih,” sahut si cewek sembari bangkit berdiri.

“Saya minta maaf, karena ikut campur dengan pertengkaran tadi. Ya, hanya spontan saja, Mbak.”

“Nggak apa-apa, Bang. Dia ternyata memang cowok brengsek!”

“Iya, Mbak. Sebaiknya sekarang Mbak pulang. Atau langsung ke rumah sakit, siapa tau ada yang cedera atau memar,” anjur Salman.

“Iya Bang, sekali lagi terima kasih. Oh ya, nama saya Maya. Maaf, nama Abang siapa...?” Si cewek mengulurkan tangan kanannya.

“Iya, Mbak Maya, sama-sama. Nama saya Salman al Farisi, dan teman saya itu Harun,” sahut Salman sembari mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya.

Harun tiba-tiba menyerahkan kartu namanya kepada Maya sambil berkata, “Jika terjadi apa-apa terhadap Mpok oleh cowok itu tadi, Mpok kontak saja kami di nomor saya itu. Nopol mobil mantan cowoknya Mpok tadi sudah saya catat juga, kok.”

“Oh iya, Bang Harun. Terima kasih.”

“Ya, sama-sama, Mpok.”

***

“Wah, hebat sekali ilmu beladiri kau, Lenga. Sampai terperangan aku lihatnya tadi,” puji Harun ketika keduanya sudah melaju di jalan yang menuju ke arah selatan, antara mobil-mobi lain yang demikian banyak.

“Ya, ketrampilan utama yang kubisa hanya itu, Lenga: Beladiri,” sahut Salman dengan suara tanpa tekanan.

“Ngomong-ngomong, kausudah mencapai sabuk apa?”

“Aku sudah Dan di karateka, sabuk hitam strip putih dua di pencak silat, sedangkan di Muay Thai baru dikelas basic, menengah,” sahut Salman, tanpa bermaksud menyombongkan diri.

“Waw, berarti kau seorang pendekar, Lenga? Tingkat Dan itu apa?”

“Dan itu yang salah satu tingkat tertinggi dalam beladiri Karatedo. Tingkat pendekar juga.”

“Kau seorang pemuda yang luar biasa ternyata, Lenga. Aku kagum sama kau!”

“Hahaha. Jangan berlebihanlah. Tak ada yang luar biasa di dunia ini, Lenga, selain daripada keluarbiasaan Allah.”

“Hm, benar!” tandas Harun. “Ketrampilan yang kaumiliki ini merupakan ketrampilan yang sangat dibutuhkan untuk mengarungi kehidupan yang keras di Kota Jakarta ini, Lenga. Jika kaubisa memanfaatkannya dengan baik, aku sangat yakin kau dapat cepat sukses di sini.”

“Amin Allahumma amin. Tapi bagaimana pun, aku sangat butuh bimbingan kau untuk mengarungi hidup di Jakarta ini Lenga. Sebab tak mungkin aku bisa jalan sendiri tanpa banguan kau.”

“Pastilah itu, Lenga. Kita akan selalu berjuang bersama di sini. Akan kita taklukkan Sang Bunda yang lebih kejam dari Ibu Tiri ini!”

Keduanya pun sama-sama tertawa.

Harun membelokkan kendaraannya ke arah kanan, melewati Stasiun Jatinegara, sebelum melaju ke arah Jl. Otista, lalu membelok ke sebuah gang di Kampung Melayu. Setelah membelok ke kanan dan ke kiri sebentar, sampailah keduanya di sebuah rumah di sebuah komplek perumahan.

Ketika menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah, Harun berucap: “Alhamdulillah, sampai juga kita. Inilah rumahku, Lenga! Ayo, kita turun dan masuk.”

Salman mengamati ekterior rumah. Sebuah cukup luas dengan bentuk minimalis. Walau halamannya tak luas, tetapi tertata sangat rapi dengan menempatkan pot-pot beragam jenis bunga serta tanaman bonsai.

Memasuki rumah, Harun langsung menghidupkan AC. Udara sejuk dan mewangi pun langsung dirasakan oleh Salman. Ia langsung terkenang dengan udara AC bis malam yang membawanya dari Bima ke Jakarta.

“Silakan duduk, Lenga,” ucap Harun lagi sembari membari meletakkan pantatnya di sofa dan menyulut sebatang rokok filter kretek. Rupanya ruangan tamunya yang ber-AC tak menghalanginya untuk menikmati asap ternikmat di dunia itu.

“Iya, Lenga, sama-sama.”

“Silakan rokok, Lenga.”

“Terima kasih, Lenga, tapi saya nggak merokok,” sahut Salman, namun matanya digunakan untuk menyapu seluruh interior rumah.

Rumah itu memiliki 3 kamar tidur, ruang tamu, dan garasi. Suasananya juga sangat nyaman, dan berada di lingkungan komplek yang terasa tenang dan bersahabat. Interior rumah tertata cukup rapi untuk ukuran penghuni jomblo seperti Harun. Itu mengisyaratkan bahwa si pemilik rumah adalah orang yang menyukai keindahan dan juga kebersihan. Ruang tamunya terisi dengan sofa yang cukup mewah, dan pada sudut ruang tamu itu terdapat sebuah akuarium cukup besar yang berisi banyak sekali ikan jenis louhan yang berwarna-warni. Lalu pada salah satu dinding terpasang sebuah lukisan naturalis yang cukup besar dengan bingkai yang kemungkinan juga mahal. Semua itu membuat Salman tak henti-hentinya mengeluarkan decak kagum.

Harun memberikan Salman salah satu dari dua kamar yang masih kosong untuk ditempati. Kamar itu berukuran 3 x 4 meter dengan tempat tidur berkasur busa yang lapang dan nyaman dan sebuah lemari kayu jati besar.

“Kamar ini sudah lengkap, Lenga. Hanya saja, kauharus membersihkan secukupnya, karena memang jarang digunakan. Jika kau bosan menggunakan AC kau bisa ganti dengan udara luar. Jendela kaca itu bisa dibuka dengan didorong bagian bawanya,” ucap Harun.

“Baiklah, Lenga. Syukur Alhamdulillah. Aku mengucapkan besar terima kasih kepadamu, karena sudah mau menampung aku.”

"Ah, itu kewajiban teman sekampung halaman yang sudah lebih dahulu ada di daerah perantauan, Lenga. Di kota megapolitan macam Jakarta ini, di mana karakter hidup masyarakatnya yang sangat individual, nafsi-nafsi, tak ada yang bisa mampu menolong seorang perantau seperti kita ini, selain dua hal, yaitu pertama diri sendiri dan kedua orang sesuku dengan kita. Selain itu…ya, entahlah! Ok, sebentar aku ke warung dulu, mau beli rokok dan minuman. Kalau mau sholat, air wudunya diambil saja di air keran di belakang atau di halaman depan, ya?”

“Ok, Lenga, terima kasih.”

Memang waktu zuhur sudah masuk. Azan sudah berkumandang di toa-toa masjid. Salman melaksanakan sholat pertamanya di Kota Jakarta. Ia khusyuk melaksanakanya. Hatinya begitu lega dan tenteram setelah kewajiban agamanya itu ia laksanakan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel