Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 04

Harun memberikan seperangkat seperai dan sarung bantal pengganti serta selimut kepada Salman. “Seprei dan sarung-sarung bantal yang itu diganti saja dan direndam di tempat cuci di belakang rumah, Lenga, biar besok pagi dicucikan oleh tukang cuci komplek.”

“Siap! Terima kasih, Lenga.”

Seusai membereskan kamarnya, Salman keluar dan duduk-duduk di kursi di bawah pohon mangga di halaman depan rumah. Harun sedang sholat. Angin siang yang sepoi-sepoi langsung menyapu wajahnya.

Seorang ibu-ibu muda pemilik rumah di seberang gang terlihat sedang menjemur cuciannya. Wanita itu cukup cantik dengan tubuhnya yang montok. Hanya saja, tubuh montok itu cuma ditutupi dengan selembar handuk ukuran sedang yang dibelitkannya sebatas ketiak, sehingga bagian bawah tubuhnya kadang terpampang dengan leluasa jika ia sedang jongkok. Pemandangan itu membuat Salman spontan membuang pandangannya ke arah lain. Salman jadi rikuh sendiri.

Rupanya Harun sempat mengamati perilaku Salman itu melalui jendela. Ia pun tersenyum sambil menggeleng-geleng pelan. Namun saat keluar dia tak mau mengomentarinya, namun bertanya menyerahkan handphone. “Kauhubungi dulu keluargamu di kampung, kasih tahu bahwa kausudah sampai di Jakarta.”

"Oh, iya. Tapi cara makainya gimana, nih?”

“Hm. Kauingat nomor telepon rumah tetanggamu nggak?”

“Ingat.” Lalu Salman menyebutkan nomor rumah tetangga sebelah rumahnya.

Begitu tersambung, Harun yang menyerahkannya kepada Salman. “Langsung bicara saja.”

“Ok....!”

“Assalamualaikum Ori. Ini dengan Salman. Mau bicara dengan Ama atau Ina, Ori...”

Harun masuk ke dalam rumahnya, membiarkan Salman untuk bicara dengan orang tuanya. Tapi tak lama, karena Salman memanggilnya.

“Ya, kenapa? Sudah selesai? Kok cepat sekali ngomongnya?”

“Sudah. Yang penting kasih tau saja kalau aku sudah sampai dan sekarang sudah berada di rumahnya Harun. Sebe kirim salam padamu.” (Sebe = istilah gaul untuk menyebut ayah). Sebenarnya Salman ingin bicara lebih lama, tapi tak enak pada Harun, takut pulsanya banyak terkuras. Apalagi menelepon antar pulau itu mahal.

“Oh, waalaikumsalam warahmatullah wa barakatuh,” sahut Harun sembari menarik kursi bangku besi lebih ke dekat pohon jambu agar tidak terkena sinar matahari.

“Gimana menurutmu dengan lingkungan di sini, Lenga?” tanya harun pula sembari menyulut sebatang rokok yang terpasang di bibirnya.

“Nyaman sekali, Lenga. Kulihat lingkungannya nggak semrawut dan tak riuh-rimpah,” sahut Salman. Ekor matanya kembali diarahkannya ke halaman tetangga. Ibu-ibu muda yang dilihatnya tadi kembali keluar dari dalam rumahnya dan membawa seember cucian. Tubuhnya masih terbungkus dengan handuk seperti tadi.

“Benar, Lenga, suasana lingkungan di sini memang relatif tenang,” ujar Harun, pura-pura tidak mengindahkan arah pandangan matanya Salman, namun perasaannya agak geli juga.

"Apakah dengan keberadaan aku di sini tidak merepotkanmu nantinya, Lenga?"

"Aku kan masih bujang seperti kau, Lenga, jadi tak ada yang akan merasa direpotkan di sini. Kaulihat kamarku dua yang kosong. Malah senang aku karena salah satunya sudah terisi. Kau memang tidak merokok sejak dulu?”

“Ya, siapa tahu, nanti aku bisa mengganggu privacy-mu. Aku memang nggak rokok sejak dulu.”

Harun tertawa. "Ah, orang macam kita ini nggak usah mikirin privacy segala, Lenga! Hidup menurut hukum alam saja, mengalir seperti air, atau berhembus bagai udara yang bebas.”

Salman manggut-manggut “Benar, Lenga. Kuharap kaudapat membimbing aku pelan-pelan bagaimana cara hidup di Kota Jakarta ini.”

Harun tertawa ringan. “Seperti aku bilang tadi, biarlah hidup kita mengalir seperti air atau berhembus seperti udara, Lenga. Kita akan diarahkan dengan sendirinya oleh situasi dan kondisi di mana tempat kita berada. “

Harun masuk ke dalam rumah, kemudian keluar lagi dengan membawa dua kaleng minuman ringan. Satu kaleng diberikan kepada Salman.” Minumlah.”

"Terima kasih.” Salman menerima sekaleng minuman dan membukanya. “Aku sempat berpikir, kausudah beristri. Karena pernah tersiar kabar seperti itu.”

Harun kembali tertawa. "Biasalah kabar, selalu mengembang tanpa kendali. Aku belum sukses, masih seperti yang kamu lihat ini. Lagi pula, aku belum pernah menjalin hubungan serius lagi dengan seorang wanita.”

“Kamu masih suka merendah. Sifatmu masih seperti dulu. Sekali pun kau waktu itu adalah salah satu siswa berprestasi, tapi kautetap menampilkan sikap yang merendah dan sederhana.”

“Ya semua itu berkat didikan pengalaman hidup, Lenga. Ohya, ngomong-ngomong, kausendiri sudah punya pacar apa belum?”

“Pernah punya, anak satu kampong denganku. Dia sudah menikah dengan laki-laki lain.”

“Hm, ya, ya, ya, aku paham sekarang. Ceritanya kaupergi meninggalkan kampung halaman akibat kecewa karena cinta, nih, ceritanya?”

“Hahaha, mungkin tidak sesentimentil itu, Lenga. Tapi…”

“Oh tidak, Lenga, aku sama sekali tidak mengatakan begitu,” potong Harun. “Aku paham perasaanmu, juga keputusanmu, sebab aku merasakan hal yang sama, juga keputusan yang sama. Sudah lumrah, lazim, dan semua laki-laki akan merasakan perasaan yang sama. Kita laki-laki, bisa merasa sangat kuat dan perkasa oleh seorang wanita yang kita cintai, namun sekaligus bisa menjadi sangat lemah dan sentimentil oleh seorang wanita yang sama. Aku juga pernah merasakan pengalaman yang sama. Ditinggal nikah.”

“Dia gadis satu desa denganku, juga teman satu sekolah denganku di aliyah,” ucap Salman. ”Sebenarnya kami saling mencinta, dan sudah sama-sama berjanji untuk itu. Namun perbedaan strata sosial dan ekonomi keluarga, menjadikan aku tak mampu bersaing, lalu disingkirkan. Alasan yang klasik. Oleh orang tuanya, dia dinikahkan dengan laki-laki lain yang sudah mapan hidupnya dari segi ekonomi. Dia seorang pengusaha mebel yang terkemuka di daerah kita.”

Salman mengangkat minuman kalengnya, dan Harun menunggu. “Yeah, laki-laki itu jauh lebih beruntung daripada aku,” lanjut Salman. “Karena kekuatan uangnya, sekalipun usianya sudah tidak muda lagi, ia berhasil merampas Imah dari tanganku. Namun Imah, kekasihku itu, beberapa hari sebelum pernikahannya dengan laki-laki pilihan orang tuanya, dia masih sempat bertemu dengan aku. Kami bertemu di Pantai Toro Naru. Ia bersumpah, bahwa cintanya tetap untukku sampai kapan pun. Aku sangat percaya dengan ucapannya, karena aku sangat tahu dia. Pada akhirnya, kami pun sama-sama berjanji dan bersumpah untuk tetap menyimpan cinta antara kami itu sampai kapan pun.”

“Kisah yang luar biasa,” ujar Harun. “Kisahmu tak jauh berbeda dengan kisahku, Lenga. Aku pun tersingkir oleh karena strata sosial dan ekonomi. Hanya bedanya, mantanku yang memilih meninggalkan aku lalu menikah dengan laki-laki yang yang jauh lebih mapan dari aku dalam segala hal. Jadi, cinta kami pupus sejak saat itu. Tapi ngomong-ngomong, jika kalian sama-sama saling mencintai, kenapa kalian tidak menempuh jalan londo iha saja?” (Londo iha = kawin lari, selarian).

“Sebenarnya kami pernah ingin mengambil jalan itu, londo iha. Bahkan dia yang mengusulkannya. Tetapi aku punya pemikiran lain, lalu tidak mengambil langkah adat itu. Londo iha menurutku, tak pas dilakukan oleh kaum terpelajar seperti kita, Lenga. Namun aku juga tak mau memaksakan cinta. Aku kan masih pengangguran, baru tamat aliyah. Tentunya kita tak bisa membahagiakan anak orang hanya dengan cinta saja.”

“Ya, aku paham maksudmu. Prinsip yang bagus, Lenga. Kita harus persiapkan diri dulu secara mapan sebelum melanjut ke jenjang yang itu. Tapi aku yakin, dengan melihat tekad dan optimisme yang kaumiliki, kelak kaubisa menjadi orang yang sukses. Aku yakin itu!”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel