Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

PART 05

“Aaamiin. Jika pun kelak aku sukses, tentu tak lepas dari jasamu juga, Lenga. Aku bisa belajar untuk menjadi pemburu yang mahir di rimba Jakarta ini dari kamu. Itu pasti!”

“Tentu, Lenga,” ucap Harun. “Hidup di Jakarta itu syaratnya hanya: nawaitu yang kuat, mental yang kuat, usaha yang kuat dan tak cepat putus asa, serta selalu optimis!”

“Juga do’a yang kuat!”

“Nah itu! Kamu harus pegang prinsip-prinsip itu.”

Salman kembali mengangkat minuman kalengnya. “Oh ya, kamu kerja di perusahaan apa, Lenga? Kalau perusahaan ada buka lowongan, aku mau lamar.”

“Jujur, aku sudah lama tak bekerja di perusahaan. Aku tak cocok dengan waktu kerjanya, lalu keluar dan kerja serabutan. Kerja apa saja. Ya cukuplah dan biasa buat biaya hidup di Jakarta ini. Yang penting halal.”

“Luar biasa kamu, Lenga. Aku salut. Kaukeluar dari sebuah tempat bekerja yang banyak orang menginginkannya, lalu mencari peluang usaha lain. Itu membutuhkan sebuah keberanian dan optimisme tinggi, tentunya.”

“Benar! Hidup di Jakarta itu harus merani mengambil keputusan, Lenga. Pintu rezeki di sini ada di mana-mana, dan tiap pintu itu memiliki level nilai dan risikonya masing-masing. Tergantung kita yang pintar-pintar mau memilih dan masuk di pintu yang mana. Tapi ingat, tetap teliti, agar tidak salah pilih pintu.”

“Partinya,” ucap Salman. “Jika diperbolehkan, ajak aku untuk bekerja denganmu.”

“Insha Allah, Lenga. Itu pasti,” jawab Harun sembari menepuk pundak Salman. “Kau tak perlu merisaukan itu. Yang penting, kaunikmati dulu suasana Kota Jakarta, sembari mengenalnya lebih dekat. Ok, Lenga, aku mau masuk istrahat dulu.”

“Ok, Lenga, silakan.”

Salman menikmati kesendiriannya sembari memikirkan kembali apa-apa yang diucapkan oleh Harun tadi. Ibu muda yg menjemur pakaiannya tadi keluar lagi di depan rumahnya. Sudah mengenakan daster pendek berwarna hitam kembang-kembang. Ketika wanita itu tiba-tiba kebetulan menoleh ke arahnya, dengan cepat Salman membuang pandangannya ke arah lain sambil berpura-pura bersiul-siul sekenanya.

* * *

Salman sengaja mematikan AC di kamarnya dan menggantiknya dengan udara dari luar. Ia membuka jendela kamarnya lebar-lebar, membiarkan udara masuk dengan bebasnya. Di atas tempat tidur dia bersandar dengan beberapa bantal yang disusun sambil membaca koran dua hari yang lalu yang diambilnya di bawah meja ruang tamu. Ia mengamati tiap kolom dalam halaman Lowongan Kerja. Ada banyak tertera kolom lowongan di situ dari beragam jenis perusahaan dan syarat-syarat yang dibutuhkan. Namun sangat langka lowongan kerja kantoran dengan syarat ijazah SMA/Sederajat. Minimal syaratnya ijazah Diploma. “Mungkin memang sebaiknya tunggu petunjuk dari Harun saja soal kerja, karena dia jauh lebih berpengalaman. Atau sebaiknya aku sama sekali tak usah memikirkan kerja di sebuah perusahaan, tapi ikut bekerja serabutan dengan Harun,” ucap Salman pelan, seolah-olah kepada dirinya sendiri.

Terbukti, dengan bekerja serabutan Harun bisa jauh lebih sukses dari teman-teman dia yang bekerja di perusahaan-perusahaan, bahkan yang bekerja di luar negeri. Ia sudah mampu membeli mobil pribadi dan juga rumah. Menurut Harun, rumah ini adalah rumahnya sendiri yang dibelinya dengan sistem kredit.

“Beberapa bulan ke depan, kredit rumah ini sudah lunas,” cerita Harun malamnya ketika Salman menanyakan tentang rumah Harun. Saat itu keduanya sambil menikmati kopi panas setelah melaksanakan sholat magrib.

“Kauhebat, Lenga,” puji Salman. “Memiliki rumah di Kota Jakarta jelas tidaklah gampang, apalagi rumah sebesar ini. Tapi kaubisa memilikinya. Pamanku saja yang sudah lama merantau di Jakarta ini, dengar-dengar masih ngontrak. Aku angkat topi buat kau, Bela.”

“Alhamdulillah, Lenga. Apa pun bisa kita raih di Jakarta ini asal kita mampu memenuhi syarat yang kita bahas tadi siang itu, yaitu. nawaitu yang kuat, mental yang kuat, usaha yang kuat dan tak cepat putus asa, do’a yang kuat, serta selalu optimis. Man jadda wa jada, wa man shabara zhafira, barang siapa yang sungguh-sungguh akan sukses, dan barang siapa yang sabar maka akan beruntung.”

“Ohya, siapa nama pamanmu itu yang kausebutkan barusan? Beliau tinggal di daerah mana?”

“Namanya Paman Burhan dan istrinya bernama Bibi Kalsum. Alamat yang pernah dia berikan ke aku, beliau tinggalnya di daerah Petamburan. Aku juga punya sepupu, namanya Jufri, dia tinggalnya di Kebon Jeruk.”

“Berdekatan kedua tempat itu,” sahut Harun, “sebaiknya kalau ada waktu kaukunjungilah mereka, Lenga. Nanti biar temanku yang akan mengantarkan kau ke sana.”

“Insha Allah, Lenga. Terima kasih sebelumnya.”

“Menurut yang aku dengar, Paman Burhan hanya tinggal di sebuah rumah kontrakan tipe 21, tentu sangat kecil untuk sebuah keluarga. Beliau memiliki dua orang anak, yang besar baru duduk di kelas dua sekolah dasar, sementara yang kecil masih balita. Itu yang aku lihat waktu mereka pulang ke Bima tahun lalu.”

“Beliau bekerja di mana?”

“Kurang tau juga. Yang pasti ya karyawan swasta. Beliau merantau ke Jakarta ini mungkin hampir sepuluh tahun, tapi ya..kondisi kehidupannya seperti itu.”

“Itulah nasib, Lenga. Semua sudah diatur menurut qodar Allah dan intensitas usaha daa doa kita. Nasib (peruntungan, rezeki), jodoh, dan maut itu kayaknya satu paket, semua rahasia Allah dan rahasia kita. Artinya, yang mampu mengubah ketiga takdir itu ya usaha dan doa manusia sendiri.”

Salman manggut-manggut dalam diam. Harun memang hebat, bekal ilmu dari tsanawiyahnya masih kuat ia pegang, sekalipun ia telah digembleng oleh kehidupan yang keras di Jakarta.

“Pamanmu itu hanya terpaku pada satu pintu rezeki padahal pilihan pintu rezeki itu banyak,” lanjut Harun lagi.

“Bisa jadi begitu,” shaut Salman.

“Makanya, Lenga, semasih kita lajang kita harus lihai melihat peluang. Seperti aku, berani cabut dari perusahaan, lalu bekerja serabutan. Serabutan itu sangat banyak, Lenga, ya misalnya menjadi makelar tanah bangunan, kendaraan, menguruskan suarat-surat kendaraan, surat-surat tanah, dan lain-lain. Sangat banyak, dan semuanya insha Allah halal.”

Salman masih sebagai pendengar yang baik.

“Aku paham, pamanmu itu takut cabut dari perusahaan tempatnya bekerja karena tak mau ambil risiko. Terlebih setelah memiliki keluarga. Takut seperti pepatah: mengharap roti dalang angan, singkong di tangan dibuang. Karena itu, semasih kita lajang, usaha dulu yang maksimal.”

“Terima kasih atas nasihat-nasihat bagusmu ini, Lenga.”

“Hm. Satu hal lagi, Lenga. Hidup itu jangan ragu-ragu. Jangan kepalang basah dengan setiap keputusan dan tindakan. Ragu-ragu bisa membunuhmu!”

“Baik, Lenga...!”

“Ok, aku mau keluar dulu, ada janjian dengan teman. Ntar aku isya’nya di luar saja. Mungkin aku akan balik agak malam. Assalamualaikum.”

“Yang hati-hati di jalan. Waalaikumsalam.”

Salman merenungkan semua yang dikatakan oleh Harun tadi itu. Ia sangat percaya pada sahabatnya itu, karena ia sudah sangat tahu seluk-beluk hidup dan cara hidup di kota metropolitan yang keras ini. Dirinya hanyalah tamatan Aliyah, yang tentu saja hanya bisa untuk melamar sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan. Sementara ia tak memiliki kecakapan dan keterampilan khusus yang diperlukan oleh dunia usaha, seperti misalnya di bidang komputer dan bahasa Inggris. Ketrampilan yang ia miliki hanyalah seni beladiri. Tetapi ia masih belum yakin, ketrampilan yang miliki itu mampu mengubah masa depannya?

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel