PART 06
Namun, seandainya tanpa memiliki ketrampilan itu pun, ia bertekad akan merubah hidupnya, masa depannya, di sini! Ia akan membuktikan pada semua orang di kampung halamannya, bahwa ia adalah seorang laki-laki sejati yang mampu membalikkan cemoohan orang-orang di kampungnya menjadi pujian, terutama cemoohan dari keluarga Siti Fatimah Azzahra, Imah, mantan kekasihnya.
Oleh keluarganya Imah ia sama sekali tak dianggap dikarenakan ia bukan berasal dari keluarga yang berada dari segi ekonomi. Ayahnya hanyalah seorang petani biasa dan ibunya hanyalah seorang ibu rumah biasa juga. Sementara kedua orang tuanya Imah, sama-sama PNS yang juga berhasil membangun usaha dagang. Artinya, antara orang tua mereka memiliki strata sosial ekonomi yang jomplang memang.
Kisah kasih antara dia dengan Imah sangat tulus dan suci. Imah tak melihat perbedaan itu sebagai tembok pemisah atau jurang penghalang, dan ia mencintai demikian juga. Salman percaya dengan maha daya cintanya. Dengan maha daya cintanya itu kelak ia mampu membahagiakan Imah dengan kekuatannya sendiri.
Tetapi tentu berbeda dengan pandangan orang tua, terutama orang tuanya Imah. Mereka tak paham tentang urusan maha daya cinta yang mampu mengubah manusia untuk melakukan apa pun demi seorang yang dicintanya. Yang dipercaya oleh kedua orang tuanya imah adalah sesuatu yang ril, bukan khayalan dan dongeng. Dan yang ril itu materi, bukan macam yang immateril seperti maha daya cinta itu. Bagi kaum materialis macam orang tuanya Imah, maha daya cinta yang sesunggunya itu ya materi, harta! Dan tak ada yang mampu mengalahkan kekuatan materi. Bukankah cinta pun bisa dibeli dengan materi? Abang kaya Abang disayang, Abang miskin Abang didepak!
Dan terbukti, maha daya cintanya Salman kalah oleh maha daya hartanya seorang laki-laki yang bernama Jamil, pengusaha mebel pilihan ayahnya Imah yang kini menjadi suaminya Imah. Ya, di situ ayahnya Imah benar, bahwa maha daya harta mampu mengalahkan maha dayanya cinta! Salman pernah menangis dan jatuh sakit atas penikahan paksa kekasihnya itu dengan laki-laki berusia jauh di atas usianya. Tapi ia sama sekali tak punya daya untuk menghalangi pernikahan itu. Dia tak punya hak. Sementara ayahnya Imah punya hak mutlak untuk menikahkan putri dengan laki-laki mana pun yang diinginkannya.
Sebenarnya Imah pernah mengajak Salman untuk menempuh jalan Wa’a Sama, tetapi Salman menolak dengan alasan bahwa perbuatan itu sama sekali tak cocok dengan orang-orang terpelajar seperti mereka, walaupun tak ada larangan oleh adat. (Wa’a Sama adalah salah satu bentuk dari londo iha atau selarian/kawin lari. Wa’a sama arti harafiahnya adalah “bawa/dilakukan bersama”, di mana selarian ini dilakukan atas dasar inisiatif bersama antara si pemuda dan kekasihnya).
“Sekalipun tak dilarang oleh adat kita, tetapai wa’a sama atau londo iha iha bukan jalan yang diajarkan oleh Rasulullah, jadi kita jangan menempuh jalan itu. Pernikahan itu adalah sunah, suci, jadi jangan dimulai dengan jalan yang tak suci. Jangan, Imah, kita jangan menempuh jalan itu!” ucap Salman kala itu.
Imah memahami pemikiran baik sang kekasih itu dan mengangguk sembari menyembunyikan tangisnya di lengan Salman. Saat itu mereka duduk di pinggir Pantai Toro Naru, di hadapan kokohnya Gunung Sangiang Api.
“Tapi aku berjanji, Imah, hingga kapan pun cinta aku kepada Imah tetap sekokoh Gunung Sangiang itu, sekalipun Imah akan menjadi miliknya laki-laki lain. Jika Allah sudah menakdirkan kita berjodoh, kita akan tetap berjodoh. Allah punya rencana terbaik buat hamba-Nya,” ucap Salman lagi dengan tatapan tetap lurus ke arah depan, ke hamparan lautan dan kokohnya Gunung Sangiang.
“Iya, Kak, Imah juga punya janji yang sama. Laki-laki lain boleh menguasai raganya Imah, tetapi ia sama sekali tak akan pernah mampu menyentuh hati, jiwa, dan cintanya Imah. Semasih Sangiang Api tak lenyap dari tempatnya, maka cinta Imah kepada Kak Salman tak akan lenyap di hati Imah. Ya, cinta Imah pun akan senantiasa kokoh, sekokoh Gunung Sangiang.”
“Terima kasih, Sayang...!” ucap Salman. Ia memasukkan jari jemari tangannya ke sela-sela jemari tangan kirinya Imah lalu saling menggenggamnya.
Imah menjawab dengan anggukan dan membalas genggaman jemari tangan Salman dengan kuat.
Salman tersenyum sembari memejamkan kedua matanya. Rindunya sontak mengusik kembali jiwanya kepada wanita itu. “Sedang apa dia sekarang?” gumamnya, seolah-olah kepada dirinya sendiri. “Semoga dia baik-baik selalu. Amin Allahumma amin.”
Memori di benaknya pun kembali bertamasya ke masa silam, masa-masa awal perjalanan cintanya dengan Imah.
Dulu, ia dan Imah sekolah di sekolah yang sama, yaitu di Madrasah Aliyah, satu angkatan tetapi beda jurusan. Gadis itu adalah salah satu bunga di sekolahnya. Mungkin sudah adatnya seorang gadis yang cantik dan menjadi pusat perhatian para murid laki-laki, Imah suka memperlihatkan sifat galaknya kepadanya, jika ia menggodanya.
Pernah suatu hari, ketika berada di perpustakaan sekolah, ia sengaja memalangkan sebelah kakinya di lorong yang akan dilewati oleh Imah. Maka tak ayal, kaki Imah terantuk dan nyaris jatuh. Dengan cepat ia menangkap tubuh gadis itu sehingga tidak jadi jatuh. Imah bukannya senang. Gadis itu sangat marah. Terlebih saat Imah jatuh ia bersama beberapa teman gank-nya tertawa senang dengan kenakalan itu.
“Kurang ajar kau ya, usilin aku terus!” ucap Imah marah dan langsung memukul punggungnya bertubi-tubi.
Ia hanya menanggapi dengan tertawa kecil kemarahan Imah itu. Seperti yang Imah bilang, ia memang suka mengusilinya. Di mana pun ia bertemu dengan Imah, sebisa mungkin ia akan mengusilinya. Tak afdol rasanya jika pertemuan dan pertemuan itu tanpa pengusilan.
Jika ia melihat Imah sedang asyik membaca tulisan-tulisan di mading sekolah, dengan tanpa disadari oleh Imah, ia datang dan berdiri di sampingnya dan pura-pura ikut menyimak tulisan di mading, namun tau-tau tubuh Imah sudah terdorong ke samping. Saat Imah sudah dibuat jatuh, ia pun meninggalkannya begitu saja sambil tertawa senang. Imah akan segera bangkit dan mengejarnya sembari melemparinya dengan sepatunya.
Pernah juga ia mengusili Imah dengan menempelkan selembar kertas bertuliskan sebuah kalimat pendek di punggung baju seragamnya dengan berpura-pura menepuk punggunyanya.
Seluruh siswa yang membaca tulisan itu menjadi tertawa atau berteriak-teriak kegirangan. Imah merasa heran. Namun setelah Imah menyadari bahwa ia sudah meengusilinya dengan dengan sebuah tulisan yang ditempelkan di punggung baju seragamnya, maka murkanya pun naik hingga ke ubun-ubun. Saat kertas itu dibacanya, Imah langsung menangis karena merasa malu. Isi tulisannya berbunyi: “Siap dikawini dan bertelor!”
Karena tulisan itu dinilai melecehkan harga dirinya, Imah pun lalu melaporkannya ke guru BP. Walhasil, Salman dihukum setrap di halaman dalam sekolah dengan disuruh mengormati tiang bendera. Gantian Imah dan murid-murid lain yang tertawa dan menyorakinya.
Tidak sebatas melaporkannya kepada guru BP, Imah rupanya ingin membalas perlakuannya. Dalam suatu kesempatan Imah membalasnya dengan perbuatan yang sama. Tindakan balasan Imah dilakukannya beberapa hari kemudian. Gadis itu tiba-tib mengagetkannya dengan sebuah tepukan di punggungnya, dan berlari menjauhinya dengan memeletkan lidahnya. Ia membalasnya dengan melototkan matanya, pura-pura marah.
