PART 07
Tanpa disadari olehnya, Imah barusan telah menempeli punggungnya dengan secarik kertas yang bertuliskan: “Si Gila Dari Gua Wera”. [Gua Wera adalah sebuah gua yang berada di Kecamatan Wera. Orang Bima menyebutnya dengan Karombo Wera yang berarti “Gua Wera”. Gua ini termasuk destinasi wisata alam yang banyak dikunjungi]. Tulisan itu pun membuat geger. Para siswa dibuat tertawa setelah membaca tulisan itu.
Salman tersenyum dengan mengingat peristiwa itu.
Akan tetapi, bibit cinta ia dengan Imah mulai tumbuh ketika suatu waktu mereka—ia, Imah, dan teman-teman Remaja Pecinta Alam (RPA)-- mengisi liburan sekolah mereka mengadakan camping dan pendakian di Gunung Sangiang Api. Jumlah anak yang ikut acara itu waktu itu sekitar sepuluh orang, cowok dan cewek.
Gunung Sangiang Api merupakan gunung berapi sekaligus sebuah pulau yang terletak di sebelah timur Pulau Sumbawa. Gunung api aktif ini memiliki ketinggian 1.949 mdpl. Pada fase pendakian itu, mereka tak menemukan masalah hingga mereka hampir pada pertengahan pendakian. Cuacanya mendadak berubah drastis dan memburuk. Mereka digempur oleh hujan deras dan udara yang amat dingin yang terasa ekstrem. Mereka berusaha turun secepatnya. Mungkin karena kurang hati-hati yang disertai kelelahan fisik, kaki Imah tersandung oleh sebuah akar kecil yang melintang dan membuat keseimbangan tubuhnya hilang. Andaikata tidak ditahan oleh sepasang betis Salman yang kokoh di depannya, mungkin tubuhnya sudah ngoprol ke bawah. Tapi bagian kaki kanan Imah terkilir yang membuatnya meringis kesakitan dan tak mampu mengangkat tubuhnya.
Salman segera mengambil keputusan. Ia langsung menggendong tubuh Imah dengan menggunakan kain selimutnya. Pada mulanya Imah merasa malu jika digendong seperti itu oleh Salman, akan tetapi situasi kondisinya yang darurat, maka ia pun tak kuasa menolak untuk digendong oleh Si Gila Dari Goa Wera seperti itu, hingga sampai di bawah pos pertama.
Selanjutnya bisa ditebak, di hati Salman dan Imah pelan namun pasti tumbuh bibit-bibit cinta. Mungkin jika dikisahkan, maka judul yang pas untuk kisah cinta mereka adalah: “Musibah Membawa Asmara”.
Salman tersenyum dan menggeleng-geleng pelan mengenang peristiwa itu. Wajah Imah seolah tercetak nyata di manik matanya. Namanya ia sebut berkali-kali, bahkan sampai ia terlelap. Ia tertidur di sofa hingga azan dari toa mesjid komplek subuh membangunkannya. Ternyata Harun belum pulang. Subuh itu ia sholat berjemaah di mesjid komplek.
Harun baru pulang ketika Salman sedang menjemur cucian di halaman belakang. Salman bukan saja mencuci pakaiannya sendiri, tapi pakaian Harun juga. Sebenarnya Harun pernah melarangnya karena tak enak hati, tapi Salman tak mengindahkannya. Padahal selama ini sudah ada tukang cuci komplek yang akan mencucikannya.
“Biar aku ada kesibukan, Lenga, daripada hanya duduk bingung sendirian di halaman depan sambil mengamati bodi semok ibu-ibu di depan rumah. Wkwkwkwk.”
Kalimat terakhir Salman membuat Harun langsung tertawa terbahak-bahak.
“Dia cantik dan semok, kan?” goda Harun pula.
“Wah, kalau aku duduk di halaman depan dan lihat dia, terasa sekali pahalaku terkikis. Gila itu orang. Hahahaha.”
Keduanya pun kembali tertawa.
Harun kemudian duduk di ruang tamu, menunggu Salman menyelesaikan pekerjaannya. Sebatang rokok disulutnya lalu diisapnya dalam-dalam dan asapnya dihembusnya sambil memejamkan kedua matanya. Pikiran Harun menerawang ke kampung halamannya, di Tanah Wera sana. Hampir empat tahun ia meninggalkan kampung halamannya itu, dan hampir tiga tahun dia berjuang sendiri di rimba Jakarta yang keras ini. Karena sejak ia tamat SMA ia memutuskan keluar dari rumah pamannya dan berjuang membangun kehidupannya sendiri. Membangun kehidupan di Jakarta yang keras, yang lama kelamaan mengubah dan membentuk wataknya menjadi keras pula.
"Kausudah makan?” bertanya Salman kepada Harun begitu ia muncul di ruang tamu.
“Tadi, aku sudah mampir di warung. Kamu mau ke mana?”
“Mau ke warung.”
“Oh, ini aku bawakan makanan, tadi aku belikan sekalian. Makanlah dulu, ada kabar yang ingi aku sampaikan padamu,” ucap Harun, seraya memberikan makanan bungkus yang diwadahi tas kresek hitam kepada Salman.
“Oh, terima kasih kalau begitu. Kabar tentang apa itu?”
“Ntar kukasih tau, makan dululah. Kebetulan aku mau mandi dulu.”
“Ok...!”
Sekitar lima belas menit kemudian Harus sudah muncul kembali di ruang tamu dengan mengenakan celana pendek dan kaos biru leher bundar. Setelah duduk di sofa dan menyulut sebatang rokok kretek filternya, ia berkata, “Tadi malam dan tadi jam delapan Maya telepon. Menanyakan kau dan nomor ponselmu. Aku bilang kau tak punya ponsel dan baru datang dari kampung.”
“Lalu...?” yanya Salman.
“Dia ingin bersilaturahim ke sini katanya siang ini. Mungkin bakda zuhur.”
“Trus...?”
“Ya aku bilang, ya silakan kalau mau berkunjung ke gubukku. Yang paling penting dia ingin mengucapkan terima kasih lagi sama kau.”
“Kan sudah kemarin?”
“Ya nggak tau. Mungkin yang kemarin belum afdol ddalam perasaan dia.”
Salman mengangguk pelan. “Mang dia tinggal di Jakarta mana?”
“Di sebuah komplek di daerah Rawamangun.”
“Jakarta mana itu?”
“Dekat sini juga. Kayaknya dia dari keluarga kaya tuh.”
“Komplek tempat tinggalnya adalah komplek elit. Kemarin juga dia bilang jika mobil cowok yang menzaliminya itu dia yang beli. Kan tak mungkin anak pedagang warung kios yang bisa membelikan cowoknya mobil sedan mewah kalau bukan anak dari seorang jutawan?”
“Kecuali warung kiosnya bertebaran di mana-mana, ya?” canda Salman, yang langsung disambut dengan tawa oleh Harun.
Seperti yang dijanjikannya dengan Harun, Maya datang setelah zuhur. Gadis itu datang dengan menyetir sendiri sedan MMW keluarga terbarunya. Penampilannya begitu modis dengan mengenakan rok pendek ketat berwarna merah dengan baju lengan panjang kotak-kotak. Penampilan yang sexy dan cantik bagi pandangan kebanyakan laki-laki, dan lumrah bagi orang kota besar macam Jakarta, namun justru tidak nyaman bagi Salman. Padahal saat itu ia masih mengenakan celana panjang cingkrak dan baju koko karena baru menyelesaikan sholat yang dilanjutkan dengan wiridnya. Pemuda pendatang baru di kota metropolitan Jakarta itu hanya berani menatap wajah tamu cantiknya itu pada wajahnya saja.
“Silakan Mpok Maya.” Harun mempersilakan Maya duduk setelah menerima uluran gadis itu. Salman hanya mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya, karena dia masih memiliki wudhu.
“Iya, Bang Harun. Terima kasih.”
Harun tak menyahuti dan segera masuk ke dalam, dan sesaat
kemudian keluar lagi dengan membawa minuman kaleng dingin dan bertanya, “Nggak macet jalannya, Mpok Maya?”
“Lumayan nggak, Bang, karena sudah masuk jam kantor,” sahut Maya, lalu balik bertanya, “Hari ini Abang berdua libur?”
“Wah, kalau pekerja serabutan seperti saya nggak mengenal hari lubur dan hari kerja, Mpok Maya. Kapan pun bisa kerja dan bisa tak kerja, hehehe. Silakan, Mpok, diminum.”
“Iya, Bang, terima kasih.” Lalu Maya melihat kepada Salman yang dari tadi hanya tersenyum dan mengangguk saja. “Kalau Bang Salman baru datang dari Bima, ya?”
“Iya, benar, Mpok Maya. Pas ketemu dari Mpok Maya kemarin, ya itu baru dari Terminal Bis, trus diajak mampir dulu di tempat itu kemarin.”
