Bab 9 Candu
Bab 9 Candu
Kejadian di acara gathering jurusan teknik mesin membuat Dio begitu khawatir. Tetapi ia merasa Reina akan baik-baik saja. Perasaan itu pun diperkuat dengan datangnya pesan singkat yang Reina berikan kepadanya sehari setelah itu.
Dio mencoba untuk menelepon adik kembarnya, namun tidak diangkat. Lalu, pesan singkat kembali dikirimkan oleh Reina. ‘Aku sedang dengan teman-temanku, nanti akan aku hubungi kembali,’ tulis Reina.
Dio benar-benar lega mendengar kabar itu, ia pun tidak lagi mengkhawatirkan Reina seperti sebelumnya. Dio tahu Reina sudah tumbuh menjadi wanita yang kuat dan berani, menghadapi Riza adalah hal yang mudah.
Tapi, Reina dan Riza menjadi buah bibir di jurusan teknik mesin. Dio menjadi sasaran teman-temannya untuk mendapatkan informasi. Terdengar kabar bahwa Riza tidak terlihat sejak acara itu selesai.
“Dia tidak masuk kampus?” Dio kaget mendengar berita itu. Tapi, jika ada hubungannya dengan Reina, pasti Reina juga akan tidak ada kabar.
“Memangnya wanita yang bersama kamu kemarin tidak ada penjelasan apa-apa? Atau dia juga tidak ada kabar juga?” tanya Bima.
“Tidak, dia masih mengabariku, baru saja,” jawab Dio.
“Mungkin saja lelaki itu memiliki masalahnya sendiri.” Bima tampak tidak mau banyak berspekulasi.
Dio merasa aneh, ia juga penasaran apa yang sebenarnya terjadi kepada Reina dan Riza kemarin. Tapi, Dio tak ingin memaksa Reina untuk bicara terlebih dahulu, yang terpenting Reina sudah memberinya kabar. Jika sudah lengang nanti dia akan mengunjungi Reina dan menanyakan langsung.
*
Reina berhasil mendapatkan HP baru dari Riza untuk menghubungi Dio. Ia menuruti kegilaan lelaki busuk itu untuk menghirup sabu yang sudah disiapkan. Dengan sedikit menerima paksaan Reina terpaksa melakukannya.
Riza tidak sadar apa yang sudah ia lakukan kepada Reina. Ia juga tidak menyadari dampak apa yang akan diterimanya setelah ini. Di pikirannya hanyalah bagaimana bersenang-senang bersama Reina.
“Surga bukan?”
Dihirupan yang kedua kalinya ini, Reina kembali berhalusinasi. Kali ini dosis yang ia terima cukup besar sehingga membuat Reina hampir kehilangan kesadarannya. Reina pun melihat sesuatu yang tak mungkin ia lihat lagi.
Wajah ayahnya tampak begitu jelas berdiri di hadapannya dengan raut wajah datar tanpa senyuman. Reina terdiam melihat ayahnya, wajah yang awalnya berbayang semakin jelas terlihat, tetapi Reina tidak bisa mengangkat tubuhnya lagi.
“Pa—papa,” gumamnya. “i-itu pa—pa.” Sambil menunjuk ke arah depan.
Riza yang asyik menghirup sabu di bagian lain, dan tidak memedulikan Reina. Ia melihat jika Reina sudah berada dititik lemahnya. Kali ini, Riza tidak lagi melakukan kekerasan kepada Reina karena sadar jika sudah banyak bekas di tubuh kekasihnya itu yang dibuatnya.
Di tengah-tengah khayalannya, HP Reina kembali berbunyi. Tasya dan Fini mencoba mengirimkan pesan kepadanya, namun tidak mendapatkan balasan sudah dari kemarin malam. Sayangnya, Reina masih belum bisa untuk menanggapi pesan itu.
Tasya kemudian menelepon Reina, Riza yang melihatnya hanya mengabaikan saja. Ia melihat Reina terbaring lemas setelah menghirup sabu dengan dosis lebih tinggi dari sebelumnya. Tapi, Riza tidak berbuat apa-apa, ia justru berbaring di samping Reina dan memeluk tubuh kekasihnya itu.
Sekarang, Riza sudah tampak melunak ketika sudah mendapatkan penawar atas kecemasan yang ia alami. Sabu menjadi obat yang paling manjur ketika ia cemas berlebihan. Semua obat yang ia minum tak ada yang bisa meredamnya sama sekali.
Tapi, dengan sabu juga ia bisa berbuat tidak manusiawi terhadap Reina. Ketakutannya ditinggalkan oleh Reina membuat pikirannya menjadi pendek. Ia ingin memberikan tanda jika Reina adalah miliknya.
Gangguan cemas yang dimiliki Riza yang berdambak pada psikisnya sudah lama ia alami. Reina tahu itu, tapi untuk sabu baru ini diketahui oleh Reina, dan dia juga harus menanggung untuk menikmati barang haram itu.
*
“Reina tidak ada kabar juga,” ujar Tasya kepada Fini. Mereka menunggu Tasya di parkiran dekat gerbang masuk yang biasa Reina lalui. Tak biasanya Reina terlambat sampai selama ini, jika sudah begini, artinya Reina tidak masuk kampus.
Tasya dan Fini begitu putus asa, 30 menit lagi kelas sudah dimulai dan hari ini juga ada kuis. Fini pun pasrah, ia mengajak Tasya untuk masuk saja ke dalam kelas.
Tasya memandangi kursi yang biasa Reina duduki, ia menjadi khawatir dengan keadaan teman baiknya itu. Biasanya mereka akan duduk bersama dan mengerjakan kuis bersama-sama juga. Reina tidak akan melewatkan belajar untuk kuis, ia selalu menjadi dewi penolong jika ada soal yang tidak diketahuinya.
Fini yang juga sama khawatirnya dengan Tasya pun melihat melihat Tasya. Raut sedih mereka tidak bisa disembunyikan sama sekali. Dosen yang mengetahui mereka bertiga selalu bersama pun menanyakan keberadaan Reina.
“Aa, em, Re—ina, s-sakit, Bu,” ujar Tasya.
“Sakit, ya? Nanti minta cari saya untuk tugas pengganti, ya.”
“Ba—baik, Bu, akan saya sampaikan nanti.” Tasya harus berbohong demi menyeleamatkan temannya. Ia tahu jika ini tidak baik, tapi bisa menghambat agar Reina tidak mendapatkan nilai jelek.
Kuis pun dimulai, Tasya melihat Fini yang sudah membaca soal duluan. Ia memberikan isyarat dengan bibirnya jika soal yang diberikan gampang. Tasya pun langsung melihat soalnya, ia memperhatikan dulu semuanya.
Benar saja, hari ini dosen mereka sedang berbaik hati memberikan soal yang bisa dikendalikan oleh Tasya dan Fini. Tasya pun terpacu untuk segera menyelesaikan soalnya karena ingin pergi ke kosan Reina untuk memastikan keadaan temannya itu.
Dalam waktu 20 menit, Tasya selesai mengerjakan tugas tersebut. Ia pun memberi isyarat kepada Fini, jika ia akan menunggu di luar. Fini pun mengangguk dan segera menyelesaikan kuisnya dengan segera.
Di luar kelas, Tasya kembali mencoba untuk menghubungi Reina. Lagi-lagi, Reina masih tidak bisa dihubungi dan pesannya juga tidak dibalas sama sekali. “Kamu kenapa sebenarnya, Na. Kasih kabar jika tidak terjadi sesuatu.”
Fini akhirnya keluar setelah menyelesaikan kuis, ia pun menghampiri Tasya. “Gimana sudah ada kabar?”
“Masih belum ada. Kita ke kosannya saja, bagaimana?”
“Ayo, aku benar-benar khawatir dengannya.” Fini dengan segera menyetujui ajakan Tasya.
Sebelum berangkat, Tasya berinisiatif untuk membelikan buah. Jika memang Reina sakit, buah itu akan sangat berguna untuknya.
*
Tasya dan Fini sampai ke kosan Reina. Mereka disambut oleh Sofi yang sedang duduk menggunting kuku di depan kosnya. Tasya pun menyapa dengan sedikit takut.
“Siang, Kak.” Tasya menyapa dengan memberikan senyuman kepada Sofi.
Ketika Tasya dan Fini melangkah menuju tangga naik ke atas, Sofi menghadangnya. “Dia tidak ada di kamarnya.”
Tasya dan Fini pun menghentikan langkahnya, mereka membalikan badan dan bertanya lebih banyak kepada Sofi. “A-apakah dia pergi, Kak?”
“Sudah tidak pulang dari semalam.” Sofi yang terlihat tidak ramah hanya merespons dengan datar tanpa ada penjelasan lainnya.
Tasya yang memegang satu keranjang buah pun menitipkan buah itu untuk Reina ketika dia pulang nanti. Namun, kembali Sofi memberikan respons yang tidak bersahabat kepada mereka. Sofi menyuruh untuk meletakan saja di depan kamarnya, tidak akan ada yang mengambilnya. Jika Reina pulang Sofi berjanji akan menyampaikan pesan juga.
Tasya dan Fini pun naik ke atas, mereka melihat depan kamar Reina yang begitu rapi. Tasya seperti enggan untuk beranjak dari sana dan ingin menunggu saja. Namun, Fini yang masih ada urusan lain harus segera pulang.
“Kita tinggalkan surat saja bagaimana?” ujar Fini.
“Boleh saja, tapi akan sampai kepadanya tidak, ya?” Tasya mulai meragukan cara itu.
“Selipkan saja di bawah pintu.” Fini berusaha mencari cara agar bisa meninggalkan pesan untuk Reina.
Fini pun mengambil kertas dan juga pena, lalu ia menuliskan pesan. ‘Reina, kami ke kosanmu hari ini tetapi kamu tidak ada. Segera hubungi kami karena kami sangat mengkhawatirkan kamu. Salam Tasya dan Fini.’
Fini lalu memasukan kertas tersebut melewati cela bawah pintu kamar kos Reina. Mereka pun meninggalkan tempat itu dengan hati yang sedih dan masih menyimpan kekhawatiran yang mendalam.
*